Selasa, 05 April 2016

FF NAYEON TWICE X JUNGKOOK BTS



YOU LOVE ME, YOU LOVE ME NOT
©©©

Author: afPhantom92
Genre: Hurt-Romance(?) yang jelas bukan NC wkwk
Maincast: Jeon Jungkook BTS; Im Nayeon Twice
Othercast: Mina Twice, Find with your self
Happy reading juseyo~~^^
©©©
Sudah malam, jaljayo urineun Nayeon nuna. See you tomorrow~^^
Tak dapat dipungkiri, seulas senyum berhasil terukir di bibirku. Sebuah pesan ‘ucapan selamat malam’ yang terkirim beberapa menit yang lalu berhasil membuat jantungku menari gembira. Sempurna, pekikku dalam hati.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela yang belum tertutup gorden. Seketika semilir angin malam terasa berembus pelan menerpa kulitku. Hhh dingin memang. Namun ... kenapa rasanya malam ini langit begitu indah?
Dan kenapa malam ini ... perasaan itu semakin mengakar saja?
Jeon Jungkook. Ya, hanya dua kata itu yang kini tengah mengiang di kepalaku. Seakan-akan semua yang kulakukan hanya untuk dia, seolah semua benda hidup menjelma dia, serta seperti bumi hanya menceritakan tentang dia. Serakah? Mungkin saja. Ruang kosong di antara rangkaian tulang rusuk ini mulai menuntut lebih. Menuntut akan kehangatan, menuntut akan isi, menuntut akan kehadiran seseorang—lagi.
Namun, apakah semua itu akan terjadi? Mengingat dia; yang dingin, aku; yang over, apakah semuanya akan berjalan happy ending layaknya dongeng Cinderella yang sering ibu ceritakan saat aku kecil? Atau mungkin ... akan ada pangeran yang membangunkanku kala aku tertidur seperti Snow White?
Haha. Aku mengulum senyum. Konyol sekali jika aku berpikir untuk memiliki kasta yang sama dengan puteri cantik dalam buku cerita. Namun ... bolehkah aku terus berpikir—dan berharap¾bahwa kau juga mempunyai perasaan yang sama—untukku?
***
“Nayeon-ah ...!”
Aku mengangkat kepalaku dari atas meja seraya menguap kecil saat sebuah seruan terdengar. Hoamm ... sekali lagi aku menguap. Dengan malas, kutatap siluet cantik itu.
“Waeyo Mina-chan?” tanyaku serak. Sesekali kuusap kedua mata agar dapat melihat lebih jelas.
Tanpa babibu, tiba-tiba saja Mina-chan sudah memelukku erat. Tentu saja hal itu membuat kinerja otakku yang masih berada dalam fase ‘tidak sadar’ langsung melompat menuju fase dengan seutas pertanyaan biadab ‘apakah Momo-chan seorang LGBT?’ Oh tidak!!!
Segera aku menghempaskan pelukannya seraya menelanjanginya dengan sorotan tajam bercampur takut. Apa-apaan Mina-chan ini? Apakah karena kaum pelangi sedang laris manis di pasaran maka dia juga berminat untuk melengkapi warna itu? Oh tidak, Mina-chan~ Kau terlalu cantik untuk menjadi bagian dari mereka.
“Waeyo? Kenapa kau memelukku seperti itu, eoh?” tanyaku was-was. Aku masih belum sadar sepenuhnya dari tidur singkatku barusan. Dan melihat ekspresi Mina-chan yang kini tengah merengut, aku tahu dia sedang tidak terjebak dalam Rainbow Zone. Melainkan ada sesuatu yang ia ketahui ... dan entah mengapa hal itu membuat perasaanku tersakiti.
“Nayeon-ah ...,” ujarnya pelan lalu duduk di samping bangkuku. “Aku tidak ingin memberitahumu dengan cara seperti ini, tapi ... aku juga tidak mungkin menyembunyikannya darimu. Jadi ...”
Perkataannya menggantung. Beberapa gejolak kecil di dalam sana tiba-tiba saja muncul, siap berdebum saat menerima kemungkinan terburuk sekali pun. Namun, mengapa aku tidak ingin menerimanya? Mengapa aku malah berharap bahwa sosok gadis yang ada di hadapanku sekarang hanyalah potongan dari puzzle mimpiku yang belum sempurna?
Namun semua itu kandas ketika rasa penasaraan malah mengungguli semuanya. Membuatku bertanya, meskipun aku tahu itu akan berujung duka. “Mina-chan,” ucapku pelan, “apa yang ingin kau katakan?” lanjutku, sangat hati-hati.
Sekilas gadis itu menatap ke arahku kemudian berangsur mengikuti bayangan yang terlintas di depan jendela kelas. Dan saat pandanganku ikut beralih, maka saat itu pulalah gejolak itu berhasil berdebum. Menciptakan reaksi dan letupan dahsyat yang menyesakkan ... hanya di dalam sana; di ruang kosong itu.
Sekali lagi kurasakan dua buah lengan melingkari leherku. Mina-chan, beginikah caramu menghibur seorang teman? Memeluknya dan ikut menangis bersamanya?
“Mianhe, Nayeon-ah. Seharusnya aku tidak mengenalkanmu padanya, seharusnya aku membiarkanmu menunggu saja. Aku bodoh, maafkan aku ... hiks.”
Bergeming. Aku hanya bisa termenung dengan kejadian yang kurang dari enam puluh detik tadi. Saat di mana kedua siluet itu melintas, saat di mana keduanya tersenyum satu sama lain, saat di mana jemari itu saling berkaitan. Saat-saat yang aku berharap ... jemariku lah yang mengait di sana.
Rasa perih yang sempat tertutup kini bahkan terbuka lebih lebar. Ya, aku kembali tersayat. Setelah sekian lama luka ini kutenggelamkan, kenapa dengan mudah kau malah mengapungkannya? Tak ada harganya kah usahaku selama ini? Hanya dengan enam puluh detik yang aku tidak tahu keakuratannya, semua sirna. Mimpi-mimpi itu, khayalan pangeran dan puteri dongeng itu ... ucapan selamat malam itu ... apakah semuanya hanya palsu belaka? Bahkan mawar merah yang hampir layu itu selalu kuusahakan untuk tetap tegak. Karena apa? Ya! Karena aku takut semua ini akan terjadi. Aku takut jika bunga itu layu ... maka kau akan ikut pergi.
“Mina-chan ...” suaraku terdengar parau kala menyebut namanya. “Bolehkah besok aku bolos sekolah?” Dan kala kalimat itu usai terucap, usai pula pertahananku. Remuk. Tangis itu pecah begitu saja.
***
Aku menatap nanar bunga mawar dengan kelopak yang mulai berjatuhan. Jeon Jungkook, inikah akhir dari harapanku yang bahkan belum menapaki level satu? Lagi, air mata ini meluncur begitu saja. Setelah menangis ria dengan Mina-chan di kampus tadi, entah kenapa nyeri itu masih terasa. Tak mudah bagi gadis sepertiku untuk melupakan semuanya. Kau ingat? Ya, aku hanyalah seorang gadis yang selalu berlebihan dalam hal apa pun. Dan kau lihat? Inilah aku sekarang. Hanya karena menyimpan sebuah harapan pada seorang hoobae, hatiku remuk begitu saja. Cih, kenapa harus seperti ini? Bukankah aku pernah mengalami hal serupa—dengan luka yang lebih menyakitkan? Lalu mengapa aku rapuh hanya dengan satu sayatan saja?
Bergegas aku menutup wajah dengan telapak tangan, membiarkan tangis itu menggema lagi di antara heningnya malam. Masih terpatri jelas di dalam ingatanku kala Jeon Jungkook berjalan mesra dengan hoobae-ku yang lain. Ya ... Tzuyu-chan! Dulu Mina pernah mengenalkanku pada gadis imut itu. Namun sekarang, mampukah aku untuk membencinya? Membenci Tzuyu-chan? Membenci gadis baik seperti dia?
Tidak, Nayeon-ssi! Kau terlalu naif jika harus menjadikan Tzuyu sebagai alasan atas kebencian di dalam hatimu. Tidak dan jangan lagi! Mungkin ... ya, mungkin aku yang terlalu berharap. Bukankah Jungkook termasuk orang beruntung karena bisa mendapatkan Tzuyu? Akankah dia beruntung juga jika bisa bersanding bersamaku? Hahaha ... bodoh! Kenapa kau terus mengemis agar dunia ini memihak kepadamu, Nayeon-ah! Sadarlah! Semuanya sudah jelas! Dia bukan milikku ... ya! Jungkook bukan milikku ....
Tak sampai lima menit jeritan kalbu itu menggema, tangisku tiba-tiba saja berhenti. Sebuah deritan dari ponsel berhasil membuat semuanya kembali normal dalam seketika. Namun saat isi ponsel tersebut berbicara, aku tidak yakin apakah aku masih ingin hidup esok hari. Jungkook-sii ... kenapa?
“Annyeong, nuna! Kenapa kau tidak membalas pesanku, eoh?”
Dengarlah suara itu, betapa rindu ini memekat kala dia berucap.
“Oh iya, tadi di kampus aku tidak melihatmu. Kau ke mana saja, nuna?”
Bagaimana mungkin kau bisa melihatku, sementara pandanganmu hanya tertuju pada gadis itu?
“Nuna ... aku punya berita yang sangat membahagiakan! Bagaimana kalau malam ini kita jalan-jalan? Aku akan meneraktirmu eskrim! Hehe ...”
Persetan. Bolehkah aku berkabung untuk berita itu?
“Nuna, kenapa kau tidak menjawab? Kau baik-baik saja, kan?”
Tidak, Jungkook-ssi. Aku tidak baik-baik saja. Aku sangat tidak baik-baik saja!
“Nuna?”
Sebisa mungkin aku menetralisirnya, sekuat mungkin aku menahannya, demi melontarkan sebuah kalimat, “Ne, Jungkook. Waeyo?”
“Syukurlah kau baik-baik saja. Tadinya kukira kau sedang sakit, nun.”
Aku memang sedang sakit, di dalam sana.
“Waeyo? Kenapa kau mengajakku jalan-jalan selarut ini?” tanyaku pelan, berusaha ceria ... seperti biasa.
“Aku punya berita besar, nun. Aku ingin merayakan kebahagiaan ini bersamamu. Sepuluh menit dari sekarang, oke? Aku akan menunggu di kedai eskrim langganan kita. Annyeong~”
Plip! Sambungan terputus. Aku menjauhkan alat komunikasi tersebut dari telinga. Bahkan air mata bekas tadi saja belum surut. Dan kau berencana untuk menambahnya?
Sekali lagi kutatap mawar merah yang hampir layu. Mawar itu ... hal pertama yang kau berikan padaku, apakah tak berarti apa pun?
***
“You love me, you love me not, you love me, you love me not, you love me ... you love me not, you love me ....”
Sudah hampir dua puluh menit aku terduduk di bangku halte ini. Kalimat tak berguna yang sedari tadi terucap nyatanya mampu membuat pendirianku melemah. Lagi dan lagi, kupetik kelopak kering kemerahan itu hanya demi sesuatu yang sudah pasti. Mengapa? Mengapa aku seperti ini? Berharap sebuah keajaiban untuk memutarbalikan keadaan. Mengapa? Mengapa aku sebodoh ini? Menunggu ia datang ... berharap memiliki pandangannya secara utuh; hanya untukku.
“You love me not, you love me ...” Terus seperti itu, dan saat jariku sampai di kelopak terakhir ... “you love me not.”
Selesai. Semuanya sudah jelas sekarang. Lalu apa yang masih kuharapkan? Kenapa mata ini perih? Kenapa bibir ini mengeluarkan isakkan? Kenapa ruang itu menjadi sesak? Padahal tak ada benda apa pun di dalamnya. Pedih! Ini menyakitkan!
“Nuna!”
Seseorang menyeru. Segera kuhapus air mata yang membasahi pipi. Dan saat aku menoleh, tidak salah lagi.
“Jeon Jungkook?” ucapku parau.
Tidak! Jangan menghampiriku! Tetaplah di posisimu, Jungkook-ah. Jangan membuat semuanya menjadi lebih sulit. Jangan keegoisanku kembali menjelma. Tidak dan jangan! Kumohon!
“Nuna, waeyo?”
Lihatlah bagaimana perlakuanmu. Kenapa kau menangkup pipiku? Kenapa kau melemparkan tatapan khawatir itu padaku? Kenapa?
“Nuna, kenapa kau menangis, eoh? Apakah ada orang yang mengganggumu?”
Bodoh! Jangan tanyakan apa pun! Kau malah membuat tangis ini semakin menjadi, Jungkook-ah. Bodoh!
“Nuna¾
“Jungkook-ah ... bisakah kau hentikan perhatian itu?” Meski terdengar rendahan, meski terdengar menyakitkan, izinkan aku untuk mengakhiri semuanya. Izinkan aku untuk mengubur mimpi ini, Jungkook-ah.
“Nuna ... wae? Apa yang terjadi denganmu? Bukankah kita berencana untuk makan eskrim?”
“Cih ...” entahlah, sebuah cibiran meluncur begitu saja. “Itu hanya rencanamu, Jungkook-ah. Kau selalu bertindak semaumu. Kau selalu mengekangku, menyebabkanku mau tidak mau harus menuruti segala sesuatu yang kau inginkan!” Meledak! Gejolak itu berdebum untuk yang kesekian kalinya. “Bahkan kau memaksaku untuk menerima bunga mawar itu! Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini padaku, Jungkook-ah? Kenapa kau menyemai perasaan itu tanpa ada niatan untuk menuainya?” Tercekat. Tangisku kembali pecah. Bahkan setelah mengungkapkan semuanya, rasa sakit itu tetap aja menancap.
“Nuna ... apa maksudmu? Kenapa kau ...?”
Sejenak aku larut dalam tangis. Tapi aku tahu, aku harus segera mengakhirinya. Kuatur napas ini demi meredam amarah yang terurai.
“Jungkook-ah ... pergilah,” ujarku pelan. “Jangan menemuiku lagi.”
“Nuna, kenapa kau¾
“Ini bukan sebuah permintaan,” selaku cepat, “ini sebuah perintah. Jadi tolong, menghilanglah. Berbahagialah bersamanya.” Sekuat mungkin aku mengucapkan kalimat bodoh itu, kalimat yang sebenarnya sangat tak ingin aku lontarkan. Namun, ini demi kebaikan semua. Atau mungkin ... demi kebaikanku saja?
“Jadi, kau sudah mengetahui semuanya?” tanyanya pelan.
Tentu saja, bodoh! Karena hal itulah yang menyebabkanku menjadi seperti ini!
“Pergilah, Jungkook-ah, kumohon! Jangan pedulikan aku lagi. Biarkan aku sendiri ...” Tak kuasa, bendungan air mata itu kembali tumpah. Tetapi kali ini lebih tenang.
“Nuna ...”
Aku bangkit dari duduk seraya menghapus air mata. Untuk terakhir kalinya aku menatap setiap inci wajah itu. Hidungnya, matanya, bibirnya, serta gigi kelinci yang sangat kusuka ... semua akan kuhapus begitu saja.
Seraya tersenyum getir, kulangkahkan kakiku untuk menjauhi halte. Ya, aku tidak yakin apakah aku ingin hidup untuk esok hari. Aku tidak yakin apakah aku masih memiliki kapasitas udara untuk esok hari. Aku tidak yakin! Bahkan yang lebih membuatku tidak yakin adalah ketika tangan seseorang menarikku lalu membawaku ke dalam pelukannya, membiarkan air mata itu tumpah di sana; seluruhnya. Satu hal yang aku yakin, ini bukan Jeon Jungkook. Seseorang yang merelakan dadanya untuk kutangisi ... bukanlah Jeon Jungkook.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~FIN~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Oh God ... akhirnya FF ini selesai juga^^)/
By the way, besok gue masih ada ujian inggris sama fisika. Tapi karena tangan gue gatel, terus guenya lagi baper(apa hubungannya?), jadi gini deh hasilnya>,< wkwk.. Alasan gue kenapa gue ngambil cast JungNay atau KookNay alias Nayeon sama Jungkook itu karena mereka bias gue. Tapi di sini gue sengaja gak nunjukkin Jungkook banget. Why? Karena gue punya seseorang lagi yang gue kira bakal cocok kalau dicoupelin sama Nayeon. Wkwk. Oh iya, gue juga masih bingung kalau pake nick buat author :v mening Phantom, afPhantom92, atau mening nama asli aja kayak di cerpen-cerpen? Muehehe~
Intinya semoga malam kalian menyenangkan ya~ jangan lupa put a comment below © kritik dan saran readers sangat saya butuhkan© Night~^^
Tag: FF Nayeon Twice, FF Jungkook BTS, FF Twice, FF BTS, FF Bangtan Boys, FF JungNay, FF KookNay, FF hurt-romance KookNay, FF hurt-romance JungNay

Jumat, 01 April 2016

CERPEN - LITTLE LOVE FOR LITTLE SISTER



Holla guys, udah lama gue ga chitchat di blog ini. Serasa apa yaaaa? Anyway, gue punya persembahan untuk middle night ini. Yes, cerita fiksi aka cerpen aka flash fiction atau apalah kalian menyebutnya. Yang jelas, tadinya cerpen ini gue bikin buat ngikut salah satu lomba. Dikirim? Udah~~ Cuman pas beberapa hari kemudian gue buka email, ternyata ada kesalahan subjek dan naskah gue ga diterima u,u *syedih yaaa
Tapi gapapalah, itung-itung buat ngisi blog/?
Ya sudah, check it out saja :* Jangan lupa kritik dan saraannya untuk cerpen aka cerita fiksi aka flash fiction yang menurut gue hurt-romance ini yawww~
kritikan kalian sangat saya butuhkan <3
Author : Phantom
Title                 : Little Love for Little Sister
Genre              : Hurt-romance
Main Cast        : Joo Eun Hye(Ibu); Joo Kwangsoo; Joo Jisoo; Kim Nana
***
(http://3.bp.blogspot.com)
Saat tawa tak lagi indah, saat tangis tak lagi jadi penawar ... akankah kasih itu tetap datang?
Menunggu ...
Namun, semua itu aus tergerus waktu.
***
Oppa[1], kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, hm? Aku mohon, Oppa, malam ini temani aku makan ya? Ya, ya, ya?”
“Ish ....” Aku mendengus kecil saat mendengar rajukan gadis itu. Sejak pulang sekolah tadi, tidak, sejak jam istirahat tadi ia terus saja membuntutiku seraya menunjukkan aegyo[2]. Hhh ... seperti fans fanatik saja. Ups, dia menabrak tong sampah!
“Aw! Kenapa keranjang sampahnya ada di sini, sih? Apa dia tidak punya mata, hah?”
Lihatlah, sekarang dia malah terlibat sebuah perdebatan dengan tong sampah. Ya, hanya tong sampah.
“Nana-ssi ....”
Gadis itu menoleh, terlihat sebuah semburat keceriaan saat aku—untuk pertama kalinya—memanggil namanya.
Oppa memanggilku? Ya ampun, kenapa Tuhan baik sekali hari ini?” tanyanya seraya menangkup kedua pipi, konyol. “Apa Oppa? Apa yang kau inginkan, hm? Kita makan malam bersama ya malam ini? Oppa mau, kan?”
Aku menunduk sebentar seraya menghela napas. “Nana-ssi,” ujarku, “hentikan.”
Gadis bernama Nana itu terdiam. Sangat terlihat jelas sebuah tanda tanya yang terpancar dari raut wajahnya. “Hen-hentikan apa, Oppa?”
“Menyerahlah. Berhentilah melakukan semua ini, berhentilah menggangguku,” ujarku dingin, sangat dingin. “Ini hanya akan membuatmu terluka,” lanjutku tajam.
Hening. Suasana ceria yang tadi ia tunjukkan, kini berubah menjadi suara angin musim gugur yang berdesir lembut. Ya, lembut ... tapi dapat menusuk siapa pun yang terlena dengan pesonanya.
Op-oppa ... kau kenapa?”
Berusaha tegar? Cih, aku benar-benar membencinya. Sudah cukup aku menyakiti diriku dengan kebohongan ini dan jangan lagi! Kenapa dia harus menunjukkan senyum getir di saat hatinya terluka? Bodoh.
“Pulanglah.” Dingin. Kulangkahkan kaki melewati lapangan basket sekolah tanpa menoleh lagi ke arahnya. Sudah satu tahun lebih gadis itu mengeluarkan aegyo-nya hanya untukku. Namun semua itu akan berakhir hari ini, detik di mana sebuah isakkan terdengar begitu halus menerpa telingaku. Nana-ssi ... maaf.
***
“Ibu, hentikan ...! Ibu, aku mohon hentikan! Ayah ... tolong aku! Ini sakit, Ayah! Aku mohon! Tidak! Tidaaaaak ...!”
Deg. Tubuhku mengejang. Getaran hebat yang merambat berhasil membangun beberapa aliran keringat di pelipisku. Sial, desisku dalam hati. Mimpi buruk ini datang lagi. Ya, sebuah mimpi buruk yang selalu menghantuiku beberapa tahun ini. Mimpi yang kuharap tak pernah jadi kenyataan, namun kenyataanlah yang telah membuat bunga tidur ini tercipta.
Kuraih jam wekker di atas nakas. Pukul 11:02 malam. Hhh ... untung saja aku bangun. Jika aku tetap terlelap, mungkin aku akan kehilangan kerja part-time yang baru aku dapatkan dua hari yang lalu. Aku sengaja memilih bekerja sebagai di sebuah tempat hiburan. Bukan, bukannya aku ingin melihat wanita berkaki jenjang yang pandai menggoda, tetapi aku hanya memanfaatkan tawaran yang diberikan oleh pihak bar tersebut. Bekerja dari tengah malam sampai pagi namun bisa mendapat bayaran seperti karyawan-karyawan kantoran. Menakjubkan? Tentu saja. Namun hal itu tidak cukup untuk mengisi ruang hampa di dalam sini, di dalam hatiku.
Prang ...!
Suara barang pecah berhasil membuatku tersentak. Segera aku beranjak dari ranjang lalu meraih jaket yang biasa aku gunakan untuk bekerja di bar. Sebuah teriakan dari ruangan lain berhasil melenyapkan kantukku. Terimakasih, sudah membuat mimpi buruk ini terus menghantui.
Pintu terbuka, kulangkahkan kaki untuk menuju pintu keluar, melewati seonggok tubuh mungil di sudut ruang tamu dengan darah segar yang melumuri jemari kecilnya.
 “Ayah ... hiks ... sa-hiks, sakit ....”
Berhentilah kecil, berhentilah menggumamkan hal-hal yang tidak berguna. Itu tidak akan menolongmu. Jangan membuatku melangkah mundur seraya menoleh untuk ulurkan tangan. Aku tidak bisa. Aku ... aku ....
“Apa kau tidak tahu bagaimana cara membersihkan yang benar? Kenapa pecahan kaca ini masih berserakan? Lihat! Kau lihat apa yang terjadi dengan jariku? Dasar bodoh! Tidak berguna! Gadis kotor ...!”
Hentikan! Aku mohon hentikan! Kenapa wanita itu meneriakki si kecil? Kenapa wanita itu mendorong kepala si kecil? Apakah ia tidak melihat aliran darah yang keluar dari jemari mungilnya? Cih, kenapa? Kenapa pula aku harus peduli dengan drama menyedihkan yang terus berputar di dalam sini? Bukankah hal ini sesuatu yang sudah biasa? Sesuatu yang telah menjadi mimpi burukku juga?
“Hey, Kwangsoo! Mau ke mana, hah? Apa kau tahu Ibu kehabisan soju? Kenapa kau membiarkan mesin pendingin itu penuh dengan makanan kaleng busukmu?” Sebuah cercaan berhasil membuatku berhenti untuk menarik daun pintu. Apa tadi yang ia katakan? Ibu?
“Belilah minuman itu dengan uangmu sendiri.”
Brak! Sebisa mungkin, semampu mungkin aku ingin menyikapi semuanya dengan datar, dengan tenang. Namun salah. Hal itu malah membuat luka yang terpatri kini semakin menganga. Sebuah gebrakan berhasil aku lontarkan saat menutup pintu rumah. Meski bangunan itu telah tertutup, teriakan wanita penyihir, tangisan si kecil, tak bisakah teredam untuk sedetik saja?
***
Kerlap-kerlip lampu, debuman musik bervolume keras, obrolan-obrolan nakal yang terucap, sungguh ... menjijikan. Aku membuka tutup botol sampanye yang baru lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Seorang wanita tua¾dengan pakaian yang sama sekali tidak menarik¾terus saja mengedipkan matanya ke arahku. Dan kau tahu apa yang aku lakukan? Ya, aku tersenyum. Sebuah kebohongan paling sulit yang pernah aku lakukan.
Tak berapa lama kemudian, wanita itu pergi ke lantai dansa bersama seorang pria yang bahkan rambut di kepalanya pun sudah berguguran. Sebuah pikiran terlintas, betapa bodohnya kehidupan manusia. Menghabiskan uang demi mencari kesenangan. Menurutku ... itu hanya sebuah pelampiasan belaka. Bodoh.
“Bolehkah ... aku memesan?”
Suara gadis yang tak begitu jelas—karena teredam oleh musik—berhasil membuat wajahku beralih, tak lupa ... senyum palsu itu. Tak sampai satu detik senyum itu terpancar, kini sebuah gejolak di dalam rongga dada berhasil membuat semuanya sirna.
“Nana?”
“Hai, Oppa!” Lihatlah bagaimana caranya tersenyum, melambaikan tangan lalu menggaruk pelan tengkuknya. “Bolehkah aku memesan?”
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Tanyaku tajam. Sungguh, aku benar-benar kesal dengan kehadirannya, apalagi di tempat seperti ini. Apa dia tidak berpikir bahwa dia dapat menjadi sebuah objek pelampiasan oleh mereka yang bermandikan harta?
“Keluar!” bentakku seraya menarik keras pergelangan tangannya.
“Tidak, Oppa!” tolaknya. “Kenapa kau kasar sekali? Tak bisakah kau perlakukan aku seperti pelanggan yang lain?”
Getir. Kalimat itu berhasil membuatku sejenak terpaku. Namun keegoisan yang tertanam membuatku terus menarik paksa dirinya untuk keluar dari tempat ini.
Oppa, hentikan! Lepaskan tanganku!” sergahnya seraya merengek pelan.
Aku hempaskan tubuhnya saat mencapai pintu keluar bar sehingga ia terjatuh ke jalan. Lagi, perasaan getir itu muncul. Kilasan pahit masa lalu kini berlomba-lomba untuk menyesakki ruang kepalaku. Ekspresi dan jeritannya saat terjatuh ... kenapa membuatku merasa terluka?
Sebuah cairan bening terjatuh dari pelupuk matanya. Tidak! Hentikan itu semua, kumohon!
“Pergilah!” usirku pelan. “Jangan datangi tempat bodoh seperti ini!”
“Bodoh?” suara kecil yang terdengar gemetar berhasil membuat seperempat es di dalam hatiku meleleh. “Kau yang membodohi dirimu sendiri, Oppa! Kenapa kau bekerja di tempat seperti ini hanya untuk melampiaskan kebencianmu?”
Deg. Nana-ssi ... tahukah kau bahwa es di dalam sini hampir saja melaut?
“Ini semua bukan urusanmu! Pergilah!”
Aku beranjak dari tempat itu dengan langkah lebar, membiarkannya terduduk¾menangisi manusia bodoh sepertiku. Saat makian kecil itu terlontar, rasa acuh tak acuh hampir membuatku menoleh. Tidak, hal itu tidak akan terjadi. Aku tidak pernah memintanya untuk datang ke sini, bukan? Aku tidak pernah memohon sebuah kepedulian darinya.
Dengan hati yang bergemuruh, kulangkahkan kaki dengan lebih cepat. Namun sebuah keributan di ujung jalan sana membuat rasa penasaranku muncul ke permukaan. Kerumunan orang, beberapa polisi, bahkan sebuah ambulan hadir di sana.
Naluri, kini tubuhku sudah berada di antara kerumunan tersebut. Mencoba mendesak, melihat, demi mendapatkan fakta bahwa ...
“Joo Jisoo?” Tersentak, segera kuraih gadis kecil yang tergeletak di antara kerumunan. Aliran darah menganak sungai di pelipis kanannya. Gadis itu terlelap, namun bibir mungilnya terus bergetar. Gadis itu, gadis mungil itu ... Joo Jisoo! Joo Jisoo adikku!
“Kwangsoo ... Op-ppa. Ma-af. Ji-soo, ma-af.” Terbata, gadis itu berusaha memohon maaf. Tidak Jisoo-ya, aku akan memaafkanmu jika kau tidak seperti ini. Aku mohon Jisoo-ya. Bangunlah ... bukalah matamu!
Sebuah tangan tiba-tiba saja mengusap pundakku pelan. Saat aku menoleh ... “Nana-ssi?” Sial, aku menangis di hadapan Jisoo dan di hadapan gadis itu.
***
Saat tawa tak lagi indah, saat tangis tak lagi jadi penawar ... nyatanya kasih itu tak pernah datang. Di sinilah aku menunggu, mendekam di balik jeruji besi seraya menyesali semua hal yang telah terjadi. Mengukuhkan keyakinan akan hilangnya rasa pahit yang akan tergerus oleh waktu.
Jisoo-ya, apa kau merasa baik-baik saja di sana? Tak ada yang memukulmu lagi, tak ada yang menyiramkan air panas lagi, tak ada yang meneriakimu untuk membereskan pecahan kaca lagi. Semuanya telah berakhir, Jisoo-ya. Setidaknya, inilah yang bisa Oppa lakukan untukmu—menyingkirkan wanita itu dan membuatmu tersenyum di atas sana. Maafkan kakakmu ... Jisoo-ya. Maafkan aku.
~~~
Baca juga cerpen: Under An Umbrella; Apology

[1] Sebutan untuk kakak laki-laki
[2] Tindakan lucu
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo