Rabu, 14 Desember 2016

An Enemy - Cerpen



An Enemy
Cr: google
“Dasar asin!”
“Dasar lekong!”
“Asin ...!”
 Le¾
Stop!” sergah seseorang. “Kalian ini kenapa, sih? Dari tadi kerjaannya adu mulut terus! Kapan bisa selesainya, coba?” gerutu Mita seraya melempar tatapan tajam ke arahku dan ke arah ... lekong di sampingku.
Aku memajukan bibirku seraya melipat tangan di depan dada. Ya, kami sedang berada di rumah Mita untuk mengerjakan tugas kelompok Bahasa Indonesia. Dan aku sangat tidak beruntung kali ini. Mengapa? Karena kini aku harus berada dalam kelompok yang sama dengan musuh bebuyutanku.
Lekong! Yup, begitulah aku memanggilnya. Kalian tahu apa arti dari kata tersebut, kan? Dalam kultur daerahku, lekong sering diartikan sebagai anak laki-laki yang memiliki sifat seperti perempuan. Dan kau tahu kenapa aku memanggil anak laki-laki di sampingku dengan sebutan itu? Ya ... karena dia sering bergaul dengan anak-anak gadis. Oh, jangan lupakan juga penampilan ‘rapi’nya setiap datang ke sekolah. Dia benar-benar penerus bangsa yang terlalu ‘disiplin’.
“Habis, ini anak ngajak perang mulu!”
Nah, kan! Yang mulai duluan siapa, yang nyalahin siapa! Aku mendelik ke arah Ahmad yang sedang membenarkan letak kacamatanya. Dia benar-benar seorang culun yang tidak tahu malu! Menyalahkan seseorang atas kesalahannya sendiri? Hell, please!
“Apaan, sih, orang dia yang ngeledek duluan!” belaku tak mau kalah. Mengingat Ahmad adalah musuh bebuyutanku dari TK, tentu saja perang yang sudah berlangsung selama hampir sepuluh tahun ini tidak boleh dimenangkan olehnya.
“Makanya kalau ngerjain tugas itu yang bener! Otak lo disimpen di mana, sih?” seloroh Ahmad bak anak gadis yang sedang kedatangan bulan. Me-nye-bal-kan.
Aku hanya merengut menanggapi perkataannya. Sekilas aku melirik Mita—ia hanya menggelengkan kepala beberapa kali seraya tersenyum kecut.
“Sumpah, ya! Gue kira hidup gue bakal barokah karena gue sekelompok sama anak-anak jenius kayak kalian. Tapi nyatanya apa? Kejeniusan kalian itu kelewatan tahu, gak?” Mita mulai melemparkan amarahnya lagi.
Aku pun kembali memajukan bibirku seraya meraih laptop yang sedari tadi menganggur di antara kami. “Iya, iya ... gue kerjain, gue kerjain ...,” gurauku seraya melanjutkan karya tulis kami yang sempat tertunda.
Kulihat Ahmad sedikit terkekeh saat menyaksikan ‘kekalahanku’ atas amarah Mita. Ya ... apa boleh buat. Kali ini aku harus melupakan sejenak status ‘musuh bebuyutan’ kami. Hanya di depan Mita. Ya ... hanya di depan gadis itu. Selebihnya, aku tidak boleh kalah lagi dari anak laki-laki menyebalkan seperti Ahmad. Tidak boleh! Sampai kapan pun tidak boleh!
***
Jam tanganku menunjukkan pukul lima sore. Aku bisa sedikit menghela napas lega setelah menyelesaikan tugas kelompok kami. Hasilnya, perfect! Bahkan Mita tak melemparkan sorotan tajam lagi setelah membaca ulang hasil kerja keras kami.
Aku pun meraih tas punggung yang tergeletak di teras, mengenakan sepatu, lalu berpamitan kepada Mita untuk pulang. Dan oh, aku melupakan seseorang yang—menurutku—selalu meniru gayaku.
Ahmad! Argh ... kenapa rumahku harus satu arah dengannya? Ralat. Kenapa rumahku harus bersebelahan dengan rumahnya?
“Sin, besok ada PR Kimia, kan?” tanyanya seraya menyamakan langkah denganku.
“Ada,” jawabku cuek.
“Pasti lo gak bisa ngerjain soal nomor delapan! Iya, kan?”
Aku tersentak. Bagaimana ia bisa tahu?
“Hahaha ....” Tiba-tiba Ahmad menggelak tawanya—yang menurutku terdengar menyebalkan.
“Apaan, sih, lo!” bentakku.
“Haha ... lucu aja! Masa ranking satu gak bisa ngerjain soal yang begituan!” ujar Ahmad. Aku tahu, itu adalah sebuah sindiran.
Ya ... harus aku akui, untuk semester ini aku mendapatkan peringkat pertama di kelas. Tapi entah untuk semester selanjutnya. Karena kau tahu kenapa? Ahmad! Dialah satu-satunya ancaman terbesarku dalam meniti karir pendidikkan. Sejak sekolah dasar dulu, posisi peringkat kami selalu berubah-ubah. Terkadang aku mendudukki peringkat pertama, tapi tak lama kemudian posisi itu akan direbut oleh anak laki-laki berkacamata di sampingku ini. Sungguh, perang yang tak akan ada habisnya!
“Lo ngeledek gue?” Aku melemparkan tatapan tajam ke arah Ahmad.
“Ih ... serem ...! Haha!” ujar Ahmad seraya mengambil langkah seribu.
Stop laughing, Ahmad!” bentakku. “Stop there! I will kill you!” Aku pun mengejar anak culun—menyebalkan—itu. Awas saja, aku akan menjadi mimpi buruk bagimu, Ahmad ....
***
Bukalah lembaran baru. Begitulah ucapan orang-orang saat menemukan sebuah kehidupan baru yang lebih cerah di depan mata mereka. Mungkin, aku juga harus mengucapkan kata-kata itu.
Ujian sekolah menengah pertama telah berakhir, dan libur panjang pun telah kulewati dengan suka hati. Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri di sebuah bangunan SMA favorit yang ada di kawasan Banjaran, Bandung.
Masa orientasi telah berlalu ... teman lama pun telah berlalu. Kini yang ada di depanku hanyalah segudang rumus yang akan mengantarkanku menuju kehidupan yang lebih baik; yang selalu aku impikan. Tak ada waktu untuk mengkhawatirkan apa pun. Begitulah prinsipku saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Aku harus belajar. Aku harus berjuang lebih keras lagi. Karena apa? Karena musuh bebuyutanku ... masuk ke sekolah ini. Apakah itu mengejutkan? Tentu saja tidak. Karena yang mengejutkan adalah ... dia berada di kelas yang sama denganku.
Hari-hari kulewati tanpa terlepas dari buku bacaan. Teman-temanku bilang, aku terlalu rajin. Tapi ini untuk masa depanku. Untuk membuktikan bahwa aku bisa mempertahankan posisiku agar tetap menjadi nomor satu. Ambisius? Mungkin. Tapi sekali lagi, ini demi mengalahkan si anak culun berkacamata itu.
Anyway, aku menemukan sebuah keganjilan saat menginjak bangku SMA. Ahmad. Laki-laki itu tak pernah menggangguku lagi. Ia tak pernah mengataiku ‘asin’ lagi. Ia juga tak peduli jika nilai ulangannya lebih rendah satu angka dariku. Bahkan, kami tak pernah pulang bersama lagi. Padahal aku sangat merindukan momen itu. Saat-saat di mana kami beradu argumen di dalam bus, saat di mana kami saling melempar ejekan tiap bertemu di sekolah, saat di mana kami selalu berlomba untuk menjadi ranking satu. Semua itu lenyap dalam seketika. Apakah ia sudah mengaku kalah? Oh ... ayolah! Bahkan perang belum berakhir!
“Mad, gue mau ngomong sama lo!” ujarku seraya menghampiri bangkunya. Aku sudah tak bisa menahan ribuan pertanyaan yang semakin menumpuk di dalam otak ini.
Ahmad melemparkan tatapan bingung ke arahku. Dasar bodoh. Tak bisakah dia berbicara sedikit saja?
“Kenapa lo jadi kayak gini?” tanyaku to the point. Aku tidak mau membuang-buang waktu dengan basa-basi yang biasa dilakukan oleh orang kebanyakan.
“Maksud lo?” tanya Ahmad. Suara itu berubah menjadi lebih berat dan ... terdengar dewasa?
“Kenapa lo jadi kayak gini, sih? Dulu kita selalu berlomba-lomba buat dapet peringkat pertama. Dulu kita sering ngelempar ejekan satu sama lain. Tapi semenjak masuk SMA, kenapa lo jadi kayak gini?” tanyaku bertubi. Ada sebuah lengkungan heran yang tercipta di dahi Ahmad. “Lo berlagak seakan lo gak kenal sama gue. Kenapa?” Kini nada bicaraku mulai meninggi, membuat beberapa anak yang ada di dalam kelas langsung tenggelam dalam bisikkan-bisikkan.
Ahmad bangkit dari duduknya tanpa melihat ke arahku. “Ikut gue,” ucapnya dingin.
Keningku mengerut. Sangat tidak bisa dipercaya! Kenapa Ahmad bersikap seperti itu?
Aku terus mengikuti langkah lebar Ahmad. Sedikit lelah memang. Tapi rasa penasaran membuatku lupa akan status kami—sebagai musuh—sejenak. Sampai akhirnya, lelaki di depanku menghentikan langkahnya di halaman belakang gedung sekolah.
“Ngapain sih, kita ke sini?” tanyaku sembari mengatur ritme pernapasan.
“Maafin gue, Nis.”
“Hah? Maksud lo?” Alisku bertaut. Kini sepasang mata Ahmad tertuju ke arahku. Tepat ke arahku.
“Gue tahu, gak seharusnya gue ngerasain hal ini. Terutama sama orang jenius kayak lo. Tapi gue juga baru menyadari hal itu.”
“Lo ngomong apaan, sih! Gue gak ngerti, tahu!” ujarku ketus seraya melipat kedua tangan di depan dada.
“Dulu ... selama gue gangguin lo, selama gue jadi musuh lo, entah kenapa gue selalu pengen ngejailin elo, Nis. Gue gak tahu kenapa. Tapi perasaan itu selalu ada. Gue pengen terus ada di deket lo.” Terdengar sebuah helaan lembut dari bibir Ahmad. “Lama-lama, perasaan itu semakin kuat. Gue gak bisa tidur, gue gak bisa belajar, gue gak bisa ngapa-ngapain selain mikirin gimana caranya supaya gue bisa deket terus sama lo. Dan lo tahu apa yang gue dapet?”
Aku menggeleng.
“Gue ... suka sama lo.”
“Apa?” Suaraku tercekat. “Haha, lo jangan bercanda, Mad! Gak lucu, tahu!” ujarku seraya tertawa garing.
“Inilah alasannya kenapa gue ngejauhin elo. Gue gak mau prestasi lo nurun hanya karena hal bodoh ini,” lanjut Ahmad dengan nada serius. “Sekarang, lo udah tahu semuanya, kan? So, can we just go on and forget this stupid conversation?” Sepasang manik kecokelatan di balik kacamata itu menatap lembut ke arahku. Dan dalam detik berikutnya, tubuh ini sudah berada dalam dekapan seseorang. Ralat. Tubuh ini ... mendekap seseorang.
Please, just be my enemy. Jangan jaga jarak dari gue, Mad. Gue gak suka,” lirihku dalam dekapannya. “Lo cuma perlu ngeledek dan bersaing sama gue lagi! Jangan pernah menjauh! Lo satu-satunya orang yang bisa ngertiin gue!”
Kurasakan anggukan kepala Ahmad di pundakku.
Yes. I will be your sweet enemy. Lets study hard and get the top place. I love you ... Asin ....”
Bug!
“Aw ... kenapa lo nonjok perut gue?” ringis Ahmad seraya memegangi perutnya.
“Nama gue Nisa! N-i-s-a! Bukan A-s-i-n! Ngerti? Dasar lekong! Haha ....” Aku berlari meninggalkan Ahmad seraya tertawa puas. Kulihat ia juga berusaha mengejarku seraya mengeluarkan umpatan-umpatan khas perempuannya. Ah ... aku merindukan hal itu. Hidup memang penuh dengan kejutan. Well, berjanjilah untuk tetap menjadi musuhku, Mad. Sampai lulus nanti ....

 FIN

Cerpen ini adalah salah satu cerpen yang tergabung dalam buku antologi Romantic Story yang diterbitin sama AE Publishing taun kemarin. Thankyou for coming^^ Please leave some critics below gomawo!^^ *bow*
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo