Selasa, 08 Maret 2016

Cerpen - Apology

hai hai~ gue comeback dari hiatus nih... ripuh banget deh pokoknya jadi kelas tiga, sampai-sampai waktu nulis gue terkikis. dan beginilah jadinya.. tadinya cerpen ini gue bikin buat salah satu lomba di bulan januari. Tapi stuck. karena berbayar, makanya gue males. hehe
but guys, gue ngerasa bad banget akhir-akhir ini dan gue ngerasa kualitas tulisan gue menurun drastis...

well, kayaknya cuma ini yang bisa gue suguhin-buat saat ini. ada yang baca atau engga, it isn't problem ya~^^
keep fighting^^
BTW, gue lagi galau :3

happy reading~~

Apology?
Oleh: Annisa Febriyati Sari
01 Januari 2016, pukul 00:01
“Ka, sorry ya, kita gak bisa ngerayain malam tahun baru ini bareng-bareng. Habisnya Mama sendirian di rumah. Lagian di sini hujan pula ....”
“Ka, I miss u ....”
“Cie ... yang lagi bakar-bakaran ayam sama anak-anak, sampai lupa sama pacar sendiri.”
“Ka? Kamu masih marah sama aku? Sorry ....”
“Raka, nanti pagi aku mau berangkat. Kamu gak mau pamitan sama aku? Entar kangen, lho! Atau kamu masih marah gara-gara kejadian itu? Kalau iya, aku minta maaf. Bener-bener minta maaf ....”
“Kalau kamu gak mau pamitan, aku dateng ke rumah kamu aja, ya, sekarang?”
***
30 Desember 2015, pukul 17:43
Bergemuruh. Mungkin seperti itulah hal yang tengah pemuda itu rasakan. Jantungnya berdegup tak karuan. Napasnya memburu, tak beritme. Perlahan tapi pasti, jemari tangan kanannya mulai terkepal. Suara gemeretak terdengar saat rahangnya beradu. Panas, kesal, muak, semuanya terkombinasi dengan sempurna. Dan inilah saatnya, saat yang tepat untuk melepaskan semuanya, mengempaskan beribu amarah yang selama ini ia tutup rapat-rapat.
Ia mengambil langkah lebar, mengayunkan kaki dengan cepat, tak peduli jika butiran kristal bening itu telah membasahi kepalanya. Dingin, memang. Namun hal itu tidak berlaku untuknya. Untuk hatinya.
“Raka!” pekik seorang gadis ketika sebuah jemari berhasil menarik pergelangan tangannya.
Canggung. Suasana berubah dalam seketika. Tawa yang sedari tadi menghiasi bibir gadis itu kini telah pudar, bergantikan dengan jeritan histeris saat pemuda tersebut melayangkan tinjunya ke arah pemuda lain yang ada di hadapannya.
“Raka!” pekik gadis itu lagi. “Kamu apa-apaan, sih!”
Meskipun samar, namun suara itu cukup menyayat untuk bergema di dalam gendang telinganya. Pemuda itu mundur selangkah, mencoba memikirkan kembali tindakan yang telah ia lakukan. Seorang pemuda yang bisa dibilang—lebih tampan darinya—kini tengah mengerang sambil mengusap-usap pipi kanannya yang nyeri. Ya, bogem itu berhasil lepas landas di tempat yang sempurna. Namun, puaskah ia dengan itu semua? Sedangkan pertunjukkan di hadapannya kini semakin menjadi saja. Sakit, pemuda itu melangkah lebar meninggalkan halte. Menggeram di tengah hujan, membentur apa pun yang menghadang, demi menuangkan pilu yang tertancap, seperti paku.
“Raka ...!”
Namun langkahnya terhenti. Teriakkan gadis itu berhasil membuat tubuhnya membeku. Kenapa? Kenapa selalu seperti ini? Bahkan dalam keadaan marah pun gadis itu dapat dengan mudah mengucapkan namanya. Tetapi, mengapa ia tidak? Mengapa hatinya seakan keras untuk menerima kenyataan bahwa gadis itu ... bersedia menatap laki-laki lain?
Raka mematung saat sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Ia tidak bisa menerima hal ini. Tuhan memang kejam. Bagaimana mungkin Dia bisa menciptakan makhluk yang mampu meluluhkan hati siapa saja? Bahkan hati yang tengah marah, Kau ciptakan ia untuk kembali meluluhkannya. Kejam.
“Raka, dengerin aku dulu! Ini gak seperti yang kamu pikirin, Ka! Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia!”
Meski suara hujan berhasil meredam perkataan gadis itu, namun telinga Raka cukup tajam untuk menangkap semuanya. Tangis gadis itu, permohonannya, penjelasannya, semua berhasil ia dapatkan. Namun gejolak dalam diri membuat sisi gelapnya memancar. Ia mengempaskan gadis itu, membentaknya, lalu berlari begitu saja. Pecundang.
***
27 Desember 2015
“Raka, kamu tahu apa harapan aku di tahun depan?”
Raka menggeleng pelan, ia hanya tersenyum sambil mengusap lembut surai gadis itu. Gadis kepunyaannya.
“Aku hanya ingin kita menjadi semakin dekat. Seperti air hujan ini. Selalu turun secara bersamaan. Meskipun nantinya kita akan berakhir di lautan dan kembali menguap untuk menjadi hujan, namun kita tetaplah air. Tahu dari mana kita berasal, dan tahu ke mana kita harus kembali.” Gadis itu menarik napas sejenak lalu mengulurkan tangannya melewati dinding balkon. Perlahan, tangisan dari mata Sang Zeus itu berhasil merambahi pergelangan tangannya. Ya, sore ini sedang turun hujan. Meskipun ia tahu nantinya tidak akan ada pelangi, namun ia tetap bahagia. Karena di sampingnya tengah berdiri seorang pelangi ... biasan yang lebih indah.
“Jadi ... aku ingin hubungan kita seperti hujan. Meskipun terkadang mengalir ke tempat yang berbeda, namun kita tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus diperbaiki, dan ke mana kita harus kembali. Asal kau tahu, Raka. Andaikan aku terseret oleh samudera, percayalah, hanya kau satu-satunya orang yang membuatku ingin segera kembali ke daratan.”
***
29 Desember 2015
“Raka, lo gak pulang bareng cewek lo? Lo putus, ya?”
“Tadi gue lihat dia jalan sama si Andit, cowok fotografer itu!”
“Lo masih percaya sama cewek kayak dia? Dia cuma ngemanfaatin elo, Ka! Cewek cantik kayak dia mana mau sama cowok kayak lo. Emang sih, lo kaya. Tapi sayangnya ... lo gak bisa ngajak dia bicara.”
***
01 Januari 2016, pukul 04:57
“Gue nyesel soal kejadian waktu itu. Tinju lo ninggalin bekas di pipi gue dan hal itu udah gue  maafin. Sayangnya, gue gak bisa nahan ini, Ka. Lo pengecut. Seharusnya lo beresin masalah ini secara baik-baik. Kita gak ada hubungan apa-apa. Dia cuma tertarik sama hasil jepretan gue. Dia cuma minta gue buat jadi fotografer di acara kalian berdua. Acara yang udah dia siapin dari jauh-jauh hari. Happy Anniv!
Sekali lagi, ia hanya bisa mematung. Sebuah pesan singkat dari Andit berhasil membuat darahnya berdesir. Bukan, bukan desiran yang biasa dirasakan orang saat jatuh cinta. Desiran kali ini sangat berbeda. Diiringi dengan letupan jantung yang semakin menjadi, laki-laki itu kembali membuka ponselnya. Sederet pesan berhasil membuat kedua kelopak matanya membulat.
“Anna.” Hatinya berbisik. Nyeri.
Semenjak kejadian di halte bus tempo hari, hubungan mereka bahkan jauh lebih renggang daripada air. Mungkin benar. Raka egois. Ia hanya mengedepankan emosi daripada akal sehat. Namun hal itu bukannya tak beralasan, ia hanya cemburu! Dan hal itu tak bisa ia ungkapkan karena ... ia bisu.
Kini pemuda itu tergolek lemas di atas lantai. Cairan hangat tiba-tiba berlomba membasahi kedua belah pipinya. Sebuah pesan yang baru sampai beberapa detik lalu berhasil menyumbat saluran penapasannya. Sesak. Pedih. Pengap. Semuanya terasa palsu. Segelintir rasa bersalah yang dulu selalu ia tepis, kini menghujam begitu saja.
“Anna,” batin pemuda itu. “Maaf ....”
From: Andit
Ruang melati, nomor 112. Barusan Anna titip pesan ke gue. Katanya, kalau lo rindu sama dia lo tengadahin tangan lo pas hujan turun. Pasti rasa kangen lo bakal terobati. Dia juga bilang, dia berangkat dulu ....”
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo