Rabu, 23 Desember 2015

Under An Umbrella



Under An Umbrella
Written by: Annisa Febriyati Sari
 
(Cr pict: google.co.id)
Apa ini bulan Desember? Hhh ... pasti akan ada sebuah kata yang terlintas di pikiran kita kala mendengar nama bulan itu.  Malam natal? Hm ... aku rasa bukan. Kalau begitu ... malam tahun baru? Oh, tentu saja tidak.
Ya, kata-kata itu memang sering dibicarakan orang kala menjelang bulan Desember. Apalagi Desember akhir. Namun aku berbeda. Aku bukanlah mereka yang selalu memikirkan ‘bagaimana malam natal nanti?’ atau mungkin ‘akan ada acara apa di malam tahun baru nanti?’.
Aku ... adalah gadis biasa yang tak peduli dengan apa-apa. Banyak yang mengatakan bahwa aku pendiam, cuek, bahkan social phobia! Oh, bloody hell about it. Aku sama sekali tidak takut untuk bergaul dengan manusia mana pun. Dan pendiam? Dari mana julukan itu berasal? Mereka hanya tidak tahu saja betapa gilanya aku jika aku berkumpul dengan sahabat. Dan apalagi itu? Cuek? Hm ... aku rasa judgement mereka kali ini benar. Aku memang cuek, bahkan mungkin lebih parah dari itu. Tapi tabiat cuek itu hanya aku tunjukkan kepada orang asing. Jika di hadapan teman-temanku, mungkin predikat itu sudah digantikan dengan hal gila lainnya.
Ya ... I love my life. Di saat yang lain sedang bersenda gurau mengenai ‘seorang pangeran berkuda putih’, maka aku akan duduk di pojok perpustakaan dengan earphone yang menempel di kedua telinga. Jika yang lain sibuk membicarakan hari valentine, maka aku akan sibuk menjual cokelat berbentuk hati kepada mereka. Lumayan ... nambah-nambahin uang jajan! Jika yang lain pulang sekolah bersama pacar mereka, maka aku akan pulang dengan berjalan kaki lalu mampir ke kedai ramen sambil memanfaatkan wifi gratis. Biasa, aku seorang youtuber, jadi kalian bisa bayangkan bukan betapa hampanya hidupku tanpa media yang satu itu?
Dan oh, aku hampir lupa. Jika yang lain memikirkan malam natal dan malam tahun baru, maka kali ini aku memikirkan sesuatu yang lain. Tidak, aku tidak berpikiran untuk menjual terompet dan kembang api. Namun yang tengah mengganggu otakku saat ini adalah ... hujan dan ... payung.
\(^-^)/
Semua ini berawal dari sore yang mendung dan harus berakhir dengan serbuan hujan. Semua siswa SMA 15 Semarang terpaksa harus menghabiskan sore itu di bawah atap sekolah. Sungguh malang memang. Jam yang seharusnya kita gunakan untuk pulang dan beristirahat, kini malah terbuang sia-sia karena hujan yang begitu lebat. Sialnya lagi, mereka tak membawa payung atau pun jas hujan agar bisa pulang.
Ya, itu adalah sebuah kesialan bagi mereka. Namun tidak bagiku. Di musim hujan seperti ini, ibuku selalu mewanti-wanti agar aku membawa jaket dan payung. Jika aku lupa membawa kedua benda itu, maka ibu akan datang ke sekolah dan menitipkan barang tersebut ke Pak Satpam. Terlihat manja? Memang! Namun aku beruntung memiliki ibu yang super overprotective. Karena berkat beliau, kini aku bisa mengembangkan payungku dan melenggang bebas di bawah naungan payung. Hhh ... mungkin makan ramen di saat seperti ini akan sangat enak!
Aku berpamitan kepada kedua sahabatku, Lia dan Novi. Tadinya aku ingin berbagi payung dengan mereka, namun melihat kedatangan ‘Pangeran Berkudah Putih’ membuat niat baikku itu urung. Ya, pasti mereka berdua akan pulang dengan pasangan masing-masing. Berboncengan dengan motor putih, lalu menerjang hujan begitu saja. Sungguh menggelikan.
Aku terus melangkahkan kaki ke pinggir lapangan seraya bersenandung kecil; mengikuti irama hujan. Beberapa pasang mata mulai tertuju ke arahku. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Namun sebuah teriakkan “AWAAASSS ...!!!!” berhasil membuat langkahku terhenti. Dan ketika aku menoleh ke sumber suara, tiba-tiba saja sebuah benda keras sudah menghantam wajahku, membuat payung yang kugenggam lepas serta membuat rinaian hujan di hadapanku hilang begitu saja ....
***
“Silva ... Sil ..., lo udah sadar?”
Sebuah suara cempreng berhasil membuat kedua kelopak mataku terbuka sempurna. Samar-samar, aku melihat dua sosok manusia berambut panjang yang tengah memasang wajah khawatir. Benar, itu Lia dan Novi. Sepasang mata mereka terlihat berkaca-kaca kala itu.
Aku sedikit mengerang karena rasa ngilu yang menghinggapi pipi kananku. “Lo ... ngapain ada di sini?” tanyaku pada mereka berdua.
“Hah ... syukurlah elo udah sadar, Sil! Gue bener-bener khawatir! Oh my god, gue kira tadi lo udah mati soalnya tubuh lo dingin banget!” semprot Novi sok panik.
“Hush! Sembarangan lo kalau ngomong!” sergah Lia. Gadis berambut blue black itu beralih menatapku. “Lo gak kenapa-napa kan, Sil? Elo sih gak nurut, gue bilang nanti ya nanti pulangnya! Dasar nekat! Liat, sekarang jadinya gini kan? Mana muka lo bengkak sebelah, lagi. Untung aja idung lo gak patah, kalau patah mungkin lo gak ....”
“Lo berdua kenapa, sih?” selaku sewot. Sumpah, rasa pening yang menggerogoti kepalaku belum hilang. Dan sekarang mereka malah mengoceh tak karuan di hadapanku. Benar-benar memuakkan.
“Itu lho,” Novi mulai duduk di samping ranjang yang kutiduri, “tadi lo kan mau pulang tuh. Pas lo ngelewatin lapangan basket, entah gimana bola basketnya bisa meleset dan akhirnya nemplok ke wajah lo. Emang lo gak inget, Sil?”
Aku menggeleng linglung. Beberapa saat aku terdiam, dan oh! Benar juga! Aku tidak ingat jika pada saat itu beberapa siswa laki-laki tengah hujan-hujanan di lapangan seraya memainkan bola basket. Dan seseorang yang berteriak ....
“Oh iya, yang teriak ‘awas’ siapa? Gue cuma inget itu doang,” jawabku dengan suara serak.
“Oh ... anak itu tuh yang bikin muka lo ciuman ama bola. Gue sebel deh sama dia! Dia kira dia itu keren apa? Iya sih, dia keren. Tapi kalau dia udah lemparin bola ke sahabat gue, gue jamin tuh mukanya bakal babak belur!” semprot Novi seraya melipat tangan di depan dada.
Aku dan Lia hanya bisa terkekeh geli. Ekspresi Novi di saat-saat seperti ini memang begitu lucu. Yah ... walaupun mereka memiliki Pangeran Berkuda Putih, tapi mereka tak pernah lupa dengan sahabat mereka.
“Eh by the way, ini di rumah siapa?” tanyaku bingung.
Intens, Novi langsung mendelik ke arah Lia.
“Hehe. Rumah pacar gue,” jawab Lia sembari menunjukkan deretan giginya.
***
Rasa pusing yang menjalari kepalaku karena insiden tadi sore membuatku tertidur pulas selama lima jam. Alhasil, tengah malam seperti ini aku harus menjadi makhluk nokturnal. Ibu sempat mengomel saat aku pulang dengan keadaan basah. Namun karena mataku terasa begitu berat, aku malah tak mengacuhkan omelannya. Hhh ... aku sedikit merasa bersalah.
Karena tak tahu harus melakukan apa di tengah malam begini, aku pun membuka laptopku lalu melakukan rutinitasku sehari-hari, yaitu masuk ke folder video lalu menonton MV Kpop sepuasnya. Tapi entahlah, kali ini rutinitas itu berubah menjadi membosankan. Dan entah dorongan dari mana, tiba-tiba saja aku berinisiatif untuk membuka akun media sosialku.
“Yeah, it’s been along time,” gumamku saat monitor laptop menunjukkan tampilan facebook.
Di sana tertera sepuluh pesan, lima puluh tiga pemberitahuan dan delapan belas permintaan pertemanan. Sudah berapa lama aku menganggurkan akun ini?
Penasaran, aku pun langsung mengklik ikon message. Dan saat itu juga langsung tertera sepuluh pesan. Oh tunggu! Sepuluh pesan ... dari pengirim yang sama?
“Irfan Maulana?” tanyaku saat membaca usernamenya. Siapa dia?
Dengan sabar, aku membuka satu per satu pesan itu. Dan kau tahu apa yang kudapat?
Kakak ...! Ini Kak Silva, kan? Ini Kak Silva Nurhalisah, kan? Kak, I’m really sorry about that accident. Aku gatau kalau kakak lagi jalan di pinggir lapangan. Aku juga gatau kenapa bola itu tiba-tiba bisa kena ke wajah kakak. I’m really sorry, ok? Please forgive me T----T
Aku menaikkan sebelah alis mata saat membaca pesan pertama darinya. “Oh, ini toh anak yang bikin gue dapet ciuman mesra dari bola? Keterlaluan,” gumamku geram.
Kulihat lagi pesan-pesan yang dikirimkan oleh anak itu. Dan semua isinya hampir sama, yaitu permohonan maaf. Bahkan anak itu sampai memuji-muji agar ia bisa mendapat kata maaf dariku. Hhh... dia pikir aku ini dewi dengan hati yang baik?
Dan oh! Apa ini?
Kak ... jika kakak gak mau maafin aku, jika kakak tiba-tiba benci sama aku, bisakah kakak merubah perasaan itu semua? Karena aku kira ... insiden sore tadi merupakan takdir untuk mempertemukan kita^^
“Haha. Apa-apaan nih anak?” Aku tertawa garing saat membaca pesan terakhirnya. Sungguh, apa permintaan maafnya itu tidak tulus? Kenapa tiba-tiba dia bercanda seperti ini?
Dan kenapa pula kata takdir itu terus mendengung di telingaku?
***
“Hey, hey, hey! Great news, great news!” pekik Novi seraya menghambur ke arahku dan Lia. Untung saja di kelas tidak terlalu ramai.
“Kalem dikit napa, Nov,” ujarku.
Mataku membulat dengan sempurna kala Novi langsung menekan-nekan pipiku dengan kedua telapak tangannya.
“Aww ...! Lo kenapa, sih?” jeritku lalu menghempaskan tangannya.
“Uh ... gue greget deh sama elo! Lo itu beruntung banget, Sil!”
“Apaan sih lu, Nov. Kalau ngomong yang jelas, coba.” Kini giliran Lia yang mengoceh.
Novi pun berdeham kecil lalu mulai bercerita dengan riangnya. “Gini ya, menurut informasi yang gue dapet dari kelas sebelah, jadi cowok yang kemaren nempol lo pake bola itu namanya Irfan Maulana, anak X-IPA-1. Dia cakep, tajir, humoris lagi! Oh iya, iya, dia itu ngambil ekskul basket di sekolah. Kalau di luar sekolah, dia ikutan ekskul Taekwondo. Hobi dia main futsal sama main games kalau lagi liburan. Dan yang jelas nih ... dia itu setia banget kalau udah urusan sama cewek!”
“Aaaaaa ... so sweet!” Tiba-tiba saja Novi dan Lia langsung berteriak seperti itu. Aku yang mendengar teriakkan mereka langsung menutup telinga. Mereka benar-benar tak terkendali saat membicarakan ‘cowok keren’ di sekolah.
Tapi, mendengar kalimat dia itu setia banget kalau udah urusan sama cewek, entah kenapa seakan ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Membuat jantungku berdegup lebih cepat dan membuat napasku tertahan untuk sesaat. Aku jadi ingat dengan pesan yang dikirim Irfan kemarin.
“... aku kira ... insiden sore tadi merupakan takdir untuk mempertemukan kita ...”
***
Argh, sungguh sial. Sore kali ini hujan kembali menerjang sekolahku. Dan seperti biasa, Novi serta Lia pasti akan segera pulang bersama pangeran-pangeran mereka. Benar-benar tuan puteri yang beruntung.
Aku melangkahkan kaki ke luar kelas kemudian membuka payung. Melihat payung ini membuatku mengingat kembali akan kejadian kemarin. Untung saja payungnya tidak rusak. Kalau rusak, mungkin hari ini aku tidak akan bisa pulang ke rumah.
Hujan sore ini tak terlalu deras seperti kemarin. Syukurlah, hal itu membuatku percaya diri untuk langsung pulang. Earphone yang masih menempel di kedua telinga pun kini mulai mengalunkan sebuah melodi indah. Melodi yang berhasil membuatku bersenandung tanpa harus menghiraukan keadaan sekitar. Life is too beauty!
Selama perjalanan menuju ke gerbang sekolah, lagi-lagi berpasang-pasang mata menyorot ke arahku. Apalagi kali ini? Mungkinkah mereka melihatku karena akan ada bola yang menimpaku lagi? Oh tidak, aku harus cepat-cepat melewati lapangan. Dan yap, usaha langkah seribu itu berhasil membawaku keluar dari gerbang sekolah. Kini aku bisa menikmati musik dari earphone-ku tanpa gangguan. Namun tunggu. Seseorang menepuk bahuku! Dan saat aku menoleh ke belakang, seorang siswa laki-laki tengah melambaikan tangan ke arahku seraya tersenyum lebar. Manis.
“Hai, Kak!” sapa siswa itu setelah aku melepas earphone.
Dengan wajah bingung, aku hanya menatap tajam ke arahnya.
“Jadi ... kakak mau maafin aku, kan?”
Deg. Tiba-tiba aku menjadi gugup. Kenapa dia meminta maaf? Mungkinkah dia ... laki-laki yang bernama Irfan itu?
“Engh ... kamu ...”
“Kemarin aku udah inbox kakak berkali-kali, tapi sama kakak gak dibales. Jadi ... aku masih ngerasa bersalah atas kejadian kemarin. Maafin aku ya, Kak. Please ....” Anak itu memasang wajah memelasnya di hadapanku. Oh God, apa yang sedang terjadi saat ini? Kenapa hatiku berbisik bahwa tingkah anak itu ‘lucu’?
Karena tak tahu harus menjawab apa, akhirnya aku hanya mengangguk. Hal itu membuat lelaki di hadapanku langsung menunjukkan senyuman lebarnya. Oh Tuhan, apakah kau bermaksud untuk mencabut nyawaku sekarang? Kenapa jantungku berdetak begitu cepat?
“Emh ... kalau gitu, sebagai permohonan maaf aku, aku bakalan traktir kakak ramen pedas. Gimana? Kakak suka ke kedai ramen di ujung jalan sana, kan?” tanya anak itu seraya menunjuk ke utara.
Aku kembali mengangguk. Bahkan dia tahu kalau aku sering berkunjung ke sana. Apakah dia stalker?
“Sini, Kak, biar aku yang pegang payungnya.” Lelaki bernama Irfan itu mengambil alih payungku lalu mulai memayungi kami berdua. Ya, meskipun dia anak kelas sepuluh, namun dia lebih tinggi dariku. Dan entah kenapa, saat berada di bawah naungan payung seperti ini ... aku malah merasa bahwa kami berdua memang sudah ditakdirkan untuk bertemu.
***
Kini aku tahu bagaimana perasaan seorang putri yang berhasil menemukan Pangeran Berkuda Putih. Rasa nyaman, gelisah, deg-degan, semuanya bercampur menjadi satu. Apakah ini yang biasa orang-orang sebut sebagai cinta?
Malam ini aku kembali tak bisa tidur. Ya... sudah hampir dua minggu aku mengidap insomnia. Bukan ... bukan karena aku meminum kopi. Tapi karena aku tidak bisa lepas dari layar laptopku. Lebih tepatnya, aku tidak bisa log out begitu saja dari akun media sosialku.
Benar, sudah hampir dua minggu ini aku selalu bertukar cerita dengan Irfan. Anak itu ternyata sangat baik. Dia selalu bertanya apakah aku sudah makan atau belum, bahkan dia selalu mengucapkan good night atau good morning kepadaku. Dan ya ... semua itu ia lakukan lewat akun facebook. Jujur, aku jadi sedikit merasa ... istimewa. Apakah ia adalah Pangeran Berkuda Putih yang selalu aku harapkan?
Hari-hariku menjadi lebih berwarna. Meskipun kami tidak pernah berbicara langsung di sekolah, tapi pembicaraan di dunia maya rasanya sudah cukup untuk membuat jantungku berdegup tak normal.
Irfan. Laki-laki itu berhasil mencuri hatiku. Ia berhasil membuatku candu akan dunia maya, dunia yang selama ini hanya kutengok sesekali saja. Lelaki multitalenta itu benar-benar merebut semua fokusku. Sungguh, jika keadaannya seperti ini, hal itu membuatku semakin ingin memilikinya.
“Well, I think  I can’t smile without you Irfan, thankyou~^^”
Aku mengakhiri acara chattingan kita malam ini. Semoga, aku bisa memimpikan senyum manismu seperti malam-malam kemarin.
\(^-^)/
Irfan. Nama itu masih begitu membekas di dalam ingatan. Lelaki yang dulu membuat wajahku bengkak karena bola, lelaki yang dulu selalu menyapaku di dunia maya, kini tengah berjalan memasukki kedai ramen langgananku. Sialan. Jantung ini terus berdegup saat sosoknya berdiri di depan pelayan kedai untuk memesan.
Untuk sesaat, aku berhasil menatap setiap lekuk wajahnya. Namun, itu hanya sesaat. Tatapan rindu yang aku sorotkan harus berakhir karena sebuah kejutan. Sama sekali tidak menyenangkan. Irfan ... laki-laki itu tidak sendirian. Dia datang ke kedai ramen ... bersama seorang gadis.
Aku langsung mengalihkan pandangan ke jendela, menatap tiap aliran air hujan yang  menelusuri kaca. Apakah ini sebuah drama? Kenapa hatiku terasa ngilu saat aku melihatnya bersama gadis lain? Tatapan mereka, cara bicara mereka, tawa mereka ... jelas itu bukan hanya sekedar teman.
Irfan ... apakah kita tak bisa seperti itu juga?
Hhh! Apa yang sedang aku pikirkan? Dan kenapa rasa ramen ini menjadi hambar?
Aku langsung meraih barang-barangku dan langsung menghambur keluar dari kedai. Aku tidak dapat berlama-lama melihat pertunjukkan romantis itu. Itu membuatku terluka.
Payung yang tengah mengembang, kini hanya akan menaungi satu kepala. Tidak akan ada lagi dua insan yang berjalan berdampingan di bawah payung ini. Tidak ada! Tidak akan ada lagi anak laki-laki yang selalu menyapaku di dunia maya. Tidak ada!
Semua berubah begitu cepat. Pangeran berkuda putih yang selalu aku harapkan, semua itu hanyalah bayangan! Bahkan Rapunzel yang terkurung di dalam menara dapat menemukan cintanya. Sedangkan aku? Putri macam apakah yang tak kunjung mendapatkan pangerannya?
Mungkin, aku harus melepas payung ini. Aku harus melepas segala kenangan yang telah tertoreh. Biarkan air hujan ini membasahi. Biarkan air hujan ini terus jatuh sehingga lukaku dapat mengalir jauh ke tempat yang tak akan bisa aku pijaki.
Sejenak, aku termenung. Kata-kata anak itu begitu melekat di dalam ingatanku.
“... aku kira ... insiden sore tadi merupakan takdir untuk mempertemukan kita ...”
Irfan benar. Insiden sore hari dengan hujan lebat itu memang sebuah takdir untuk mempertemukan kita, bukan untuk membuat kita bersama......
FIN
\(^-^)/
Huaaaaaaa akhirnya cerpen ini selesai juga. How is it? Udah lama gue ga nulis cerpen romance, dan hasilnya ya seperti ini... By the way, cerpen ini adalah request dari teteh gue, Silva^^. Makasih banget buat inspirasi yang begitu berharga sehingga gue bisa bikin cerita ini, teh. I hope you’ll like it^^. Well, please give some criticism and comment below! Thankyou~~
Baca juga cerpen: Hari PenyucianCika Ingin TerbangLazuardi Pemikat Hati

HILANG


Hilang
Oleh: Annisa Febriyati Sari
https://mobilepoem.files.wordpress.com/2012/01/jejak.jpg
 (Cr pict: https://mobilepoem.wordpress.com/)
Mataku terpejam
Jiwaku membungkam
Kakiku keram
Aku... tenggelam
Aku di sini
Berpijak pada siluet kelam
Suram... Kejam...
Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar...
Takbirku menggema... Menjerit dalam jiwa
Meratapi setiap rasa... Saat ditinggal... olehnya
Masih kuingat senyum itu...
Senyum hangat yang selalu menghiasi bibirmu
Masih terekam jelas suara itu...
Suaramu, saat menghibur kepiluanku
Tak apa.. jika kau tak tersenyum lagi
Tak apa.. jika kau tak hiburku lagi
Tapi, di saat kau pergi... Masihkah aku bisa berkata ‘Tak apa’?
Kenangan... begitukah caramu menyebutnya?
Kenangan... begitukah caramu memanggilnya?
Jika ya, bisakah kau beritahu aku arti dari kenangan ini?
Jika bukan, bisakah kau ajari aku... tuk hilangkan kenangan ini?
Kenangan... haruskah aku menyebutnya seperti itu?
Sedang mengenangmu, begitu menyakitkan bagiku
Kenangan... haruskah aku menyebutnya seperti itu?
Sedang mengenangmu, menambah kepiluanku
Kini kau menghilang... Meninggalkan kabut kelam
Menenggelamkanku dalam pertanyaan
Mengapa, Ayah... engkau harus menghilang?
Garut, 11 Maret 2015

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo