Cika
Ingin Terbang
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Cika,
sarapan, yuk! Makanannya sudah siap!” seru Mama dari luar kamar Cika.
Cika
hanya menoleh ke arah pintu lalu kembali memandangi jendela yang dipenuhi
gumpalan embun.
“Cika...?”
panggil Mama lagi. Tapi Cika tak menjawab. Ia tetap memandangi jendela
kamarnya.
Ceklek.
Tiba-tiba pintu terbuka. Mama masuk ke kamar Cika dan langsung mengusap
punggung putri tercintanya.
“Cika,
Mama panggil-panggil, kok, kamu gak jawab, sih?” tanya Mama lembut.
Cika
hanya menekuk wajahnya lalu memanyunkan bibirnya.
“Lho?
Anak Mama kenapa? Kok cemberut kayak gini?” tanya Mama mengusap wajah Cika.
Cika
hanya menggelengkan kepala tanpa menatap wajah mamanya.
“Ya
sudah. Kalau Cika gak mau makan, sarapannya Mama kasih ke tetangga sebelah,
ya?” ujar Mama menggoda.
“E..
eh,” sergah Cika. “Jangan, Ma! Cika juga laper...,” rengeknya manja.
Mama
hanya tersenyum dengan ulah Cika. “Kalau begitu, ayo dimakan sarapannya. Keburu
dingin, lho, nak!” ujar Mama.
Cika
kembali menggeleng. Kali ini wajahnya semakin cemberut.
“Lho...
Kenapa lagi, sayang?” tanya Mama khawatir.
“Cika
gak mau sekolah, Ma,” kata Cika lantang. Matanya tetap memandang jendela.
Mama
terkejut. “Gak mau sekolah? Kenapa, nak?”
“Cika
gak suka sama sekolahnya. Gak ada perosotan sama ayunan. Guru-gurunya juga
jahat.” Cika beralasan.
Mama
hanya bisa terdiam. Tak biasanya Cika bersikap seperti ini. Pasti ada sesuatu
yang membuat Cika murung. Kalau masalah ayunan, Mama sudah membuatkan mainan
itu di belakang rumah. Dan Cika sering bermain di sana dengan ceria. Tapi kalau
masalah perosotan... kenapa Cika jadi ingin bermain perosotan?
“Ya
sudah. Nanti Mama dan Papa akan buatkan perosotan untuk Cika. Sekarang Cika
makan dulu, ya?” bujuk Mama.
Tadinya
Cika hanya diam. Tapi karena perutnya tak bisa diajak kompromi, akhirnya Cika
pun menyetujui ajakan mamanya untuk sarapan.
***
“Cika,
tendang bolanya ke sini!” teriak Rio yang sedang bermain bola di tengah
lapangan.
Cika
hanya duduk di pinggir lapangan dengan wajah murung. Gadis kecil itu tak
berniat untuk memenuhi panggilan Rio. Bola sepak yang menggelinding ke arahnya,
Cika biarkan begitu saja.
“Cika!
Tendang bolanya ke sini, dong!” seru Rio lagi sambil melambaikan tangannya.
Cika
hanya diam. Kepalanya semakin tertunduk.
Tak
lama, Rio berlari menghampiri Cika dengan napas tersengal.
“Cika,
kamu kenapa, sih? Aku minta tolong tendangin bola, kok, gak disahut-sahut?”
tanya Rio polos.
Mata
Cika tiba-tiba berair. Gadis itu menangis.
Rio
yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Setelah itu, ia
mengambil bola dan kembali bermain di lapangan bersama anak-anak lainnya.
Sementara Cika masih tertunduk dalam tangisnya.
***
Malam
sudah hampir larut. Tapi Cika tidak mau makan juga. Hal itu membuat Mama
khawatir. Pasalnya, sikap Cika akhir-akhir ini sangat tak biasa. Putri kecilnya
jadi lebih sering murung dan mengurung diri di kamar.
“Cika...”
Mama menghampiri Cika yang sedang berbaring di atas kasurnya.
“Makan,
yuk, nak! Dari tadi sore kamu belum makan. Mama khawatir sama kamu,” ungkap
Mama lembut.
“Cika
gak mau makan, Ma,” ungkap Cika. “Cika pengen bisa terbang!”
Mama
mengangkat sebelah alisnya. “Hm? Kenapa kamu pengen terbang, nak?” tanya
Mamanya.
Mata
Cika kembali menguap. Ia langsung memeluk mamanya.
“Cika
malu, Ma,” ujarnya terisak.
“Malu
kenapa, sayang? Ayo, dong, cerita sama Mama.” Mama mengusap-usap pucuk kepala
Cika.
“Cika
malu kalau sekolah. Cika gak bisa lari. Cika gak bisa nendang. Kalau main
perosotan, Cika juga gak bisa naik ke anak tangganya, Ma. Sedangkan temen-temen
Cika bisa ngelakuin itu semua...” Cika menangis dalam pelukan Mama.
“Tapi
kenapa Cika gak bisa ngelakuin itu? Waktu pelajaran olahraga, Cika cuma bisa
nunggu di pinggir lapangan. Sedangkan temen-temen Cika... mereka asik main
bola, main lompat tali, main voli... Kenapa Cika gak bisa ngelakuin itu semua,
Ma? Kenapa...?”
Tangisan
Cika terdengar semakin kencang. Dan hal itu membuat hati mamanya terluka. Mama
mulai meneteskan air mata, lalu mendekap Cika kuat-kuat.
“Ini
salah Mama, sayang. Maafkan Mama...,” lirih Mama di telinga Cika.
Ya,
Cika memang tidak bisa berjalan dengan normal. Saat bayi, Cika pernah terjatuh
dari tempat tidur. Dan hal itu membuat kaki kirinya patah. Berbagai perawatan
dilakukan untuk Cika. Tapi alhasil, kaki kirinya tak bisa berfungsi dengan
baik. Dan hal itulah yang membuat Cika harus menggunakan tongkat ke mana-mana.
Termasuk... ke sekolahnya.
Mama
tahu, bahwa Cika saat ini sedang menapaki masa remaja. Masa-masa di mana putri
kecilnya sudah mulai tumbuh dan mampu merasakan perbedaan. Termasuk perbedaan
antara kakinya dan kaki teman-temannya. Ya, Mama mengerti itu. Mama tahu
bagaimana perasaan Cika.
“Cika
gak boleh nangis, ya,” hibur Mama. “Kenapa Cika gak bisa ngelakuin itu semua?”
tanya Mama menatap mata putrinya.
“Karena
Allah sayang sama Cika. Allah gak mau Cika kecapekan kalau Cika lari-lari.
Allah juga gak mau Cika kesakitan, makanya Cika gak bisa nendang bola. Dan
Allah takut Cika jatuh, makanya Allah gak ngizinin Cika buat naik perosotan.”
Mama menarik napas panjang. Terpaksa, ia harus membohongi putri kecilnya.
“Kalau
gitu, kenapa Allah gak ngizinin Cika buat terbang aja, Ma? Dengan begitu, kan,
Cika gak akan capek, jatuh, atau pun sakit,” ujar Cika dengan mimik polosnya.
Mama
hanya tersenyum. “Allah juga takut Cika kenapa-napa kalau Cika bisa terbang.
Coba bayangin, kalau Cika bisa terbang, Cika pasti bakal ninggalin Mama sama
Papa di rumah. Terus kalau Cika terbang ke udara, Cika bakal kepanasan dan
kehujanan. Terus Cika juga bakal masuk angin. Memangnya Cika mau seperti itu?”
Cika
menggeleng cepat. “Gak mau, Ma. Nanti Cika sakit, dong!” ujar Cika, air matanya
mulai surut.
Mama
mengusap pipi Cika dengan kedua telapak tangannya. “Maka dari itu, Allah
menciptakan Cika seperti ini. Karena Allah lebih tahu apa yang Cika butuhkan.”
Cika
mengangguk lalu menyunggingkan seutas senyum.
“Sekarang
makan dulu, ya. Perut Cika udah bunyi, tuh!” goda Mama sembari menggelitiki
perut Cika.
“Ahaha...
Iya, Ma, iya. Cika bakal makan...”
“Oh
iya, Mama baru inget!” Mama mengacungkan telunjuknya.
“Apa
Ma?”
“Cika
bisa terbang, kok,” ujar Mama ceria.
“Hmm...?
Caranya?” kening Cika mengerut.
“Caranya,
Cika harus belajar yang giat supaya jadi orang pintar. Dengan begitu, Cika bisa
terbang untuk menggapai cita-cita Cika dan membuat Mama sama Papa bangga.”
“Ah...
Mama.” Cika memasang raut cemberut. Tapi tak lama, ia kembali tersenyum,
tertawa bersama mamanya.
0 komentar:
Posting Komentar