Rabu, 09 Desember 2015

Cerpen Anak - Cika Ingin Terbang



Cika Ingin Terbang
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Cika, sarapan, yuk! Makanannya sudah siap!” seru Mama dari luar kamar Cika.
Cika hanya menoleh ke arah pintu lalu kembali memandangi jendela yang dipenuhi gumpalan embun.
“Cika...?” panggil Mama lagi. Tapi Cika tak menjawab. Ia tetap memandangi jendela kamarnya.
Ceklek. Tiba-tiba pintu terbuka. Mama masuk ke kamar Cika dan langsung mengusap punggung putri tercintanya.
“Cika, Mama panggil-panggil, kok, kamu gak jawab, sih?” tanya Mama lembut.
Cika hanya menekuk wajahnya lalu memanyunkan bibirnya.
“Lho? Anak Mama kenapa? Kok cemberut kayak gini?” tanya Mama mengusap wajah Cika.
Cika hanya menggelengkan kepala tanpa menatap wajah mamanya.
“Ya sudah. Kalau Cika gak mau makan, sarapannya Mama kasih ke tetangga sebelah, ya?” ujar Mama menggoda.
“E.. eh,” sergah Cika. “Jangan, Ma! Cika juga laper...,” rengeknya manja.
Mama hanya tersenyum dengan ulah Cika. “Kalau begitu, ayo dimakan sarapannya. Keburu dingin, lho, nak!” ujar Mama.
Cika kembali menggeleng. Kali ini wajahnya semakin cemberut.
“Lho... Kenapa lagi, sayang?” tanya Mama khawatir.
“Cika gak mau sekolah, Ma,” kata Cika lantang. Matanya tetap memandang jendela.
Mama terkejut. “Gak mau sekolah? Kenapa, nak?”
“Cika gak suka sama sekolahnya. Gak ada perosotan sama ayunan. Guru-gurunya juga jahat.” Cika beralasan.
Mama hanya bisa terdiam. Tak biasanya Cika bersikap seperti ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Cika murung. Kalau masalah ayunan, Mama sudah membuatkan mainan itu di belakang rumah. Dan Cika sering bermain di sana dengan ceria. Tapi kalau masalah perosotan... kenapa Cika jadi ingin bermain perosotan?
“Ya sudah. Nanti Mama dan Papa akan buatkan perosotan untuk Cika. Sekarang Cika makan dulu, ya?” bujuk Mama.
Tadinya Cika hanya diam. Tapi karena perutnya tak bisa diajak kompromi, akhirnya Cika pun menyetujui ajakan mamanya untuk sarapan.
***
“Cika, tendang bolanya ke sini!” teriak Rio yang sedang bermain bola di tengah lapangan.
Cika hanya duduk di pinggir lapangan dengan wajah murung. Gadis kecil itu tak berniat untuk memenuhi panggilan Rio. Bola sepak yang menggelinding ke arahnya, Cika biarkan begitu saja.
“Cika! Tendang bolanya ke sini, dong!” seru Rio lagi sambil melambaikan tangannya.
Cika hanya diam. Kepalanya semakin tertunduk.
Tak lama, Rio berlari menghampiri Cika dengan napas tersengal.
“Cika, kamu kenapa, sih? Aku minta tolong tendangin bola, kok, gak disahut-sahut?” tanya Rio polos.
Mata Cika tiba-tiba berair. Gadis itu menangis.
Rio yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Setelah itu, ia mengambil bola dan kembali bermain di lapangan bersama anak-anak lainnya. Sementara Cika masih tertunduk dalam tangisnya.
***
Malam sudah hampir larut. Tapi Cika tidak mau makan juga. Hal itu membuat Mama khawatir. Pasalnya, sikap Cika akhir-akhir ini sangat tak biasa. Putri kecilnya jadi lebih sering murung dan mengurung diri di kamar.
“Cika...” Mama menghampiri Cika yang sedang berbaring di atas kasurnya.
“Makan, yuk, nak! Dari tadi sore kamu belum makan. Mama khawatir sama kamu,” ungkap Mama lembut.
“Cika gak mau makan, Ma,” ungkap Cika. “Cika pengen bisa terbang!”
Mama mengangkat sebelah alisnya. “Hm? Kenapa kamu pengen terbang, nak?” tanya Mamanya.
Mata Cika kembali menguap. Ia langsung memeluk mamanya.
“Cika malu, Ma,” ujarnya terisak.
“Malu kenapa, sayang? Ayo, dong, cerita sama Mama.” Mama mengusap-usap pucuk kepala Cika.
“Cika malu kalau sekolah. Cika gak bisa lari. Cika gak bisa nendang. Kalau main perosotan, Cika juga gak bisa naik ke anak tangganya, Ma. Sedangkan temen-temen Cika bisa ngelakuin itu semua...” Cika menangis dalam pelukan Mama.
“Tapi kenapa Cika gak bisa ngelakuin itu? Waktu pelajaran olahraga, Cika cuma bisa nunggu di pinggir lapangan. Sedangkan temen-temen Cika... mereka asik main bola, main lompat tali, main voli... Kenapa Cika gak bisa ngelakuin itu semua, Ma? Kenapa...?”
Tangisan Cika terdengar semakin kencang. Dan hal itu membuat hati mamanya terluka. Mama mulai meneteskan air mata, lalu mendekap Cika kuat-kuat.
“Ini salah Mama, sayang. Maafkan Mama...,” lirih Mama di telinga Cika.
Ya, Cika memang tidak bisa berjalan dengan normal. Saat bayi, Cika pernah terjatuh dari tempat tidur. Dan hal itu membuat kaki kirinya patah. Berbagai perawatan dilakukan untuk Cika. Tapi alhasil, kaki kirinya tak bisa berfungsi dengan baik. Dan hal itulah yang membuat Cika harus menggunakan tongkat ke mana-mana. Termasuk... ke sekolahnya.
Mama tahu, bahwa Cika saat ini sedang menapaki masa remaja. Masa-masa di mana putri kecilnya sudah mulai tumbuh dan mampu merasakan perbedaan. Termasuk perbedaan antara kakinya dan kaki teman-temannya. Ya, Mama mengerti itu. Mama tahu bagaimana perasaan Cika.
“Cika gak boleh nangis, ya,” hibur Mama. “Kenapa Cika gak bisa ngelakuin itu semua?” tanya Mama menatap mata putrinya.
“Karena Allah sayang sama Cika. Allah gak mau Cika kecapekan kalau Cika lari-lari. Allah juga gak mau Cika kesakitan, makanya Cika gak bisa nendang bola. Dan Allah takut Cika jatuh, makanya Allah gak ngizinin Cika buat naik perosotan.” Mama menarik napas panjang. Terpaksa, ia harus membohongi putri kecilnya.
“Kalau gitu, kenapa Allah gak ngizinin Cika buat terbang aja, Ma? Dengan begitu, kan, Cika gak akan capek, jatuh, atau pun sakit,” ujar Cika dengan mimik polosnya.
Mama hanya tersenyum. “Allah juga takut Cika kenapa-napa kalau Cika bisa terbang. Coba bayangin, kalau Cika bisa terbang, Cika pasti bakal ninggalin Mama sama Papa di rumah. Terus kalau Cika terbang ke udara, Cika bakal kepanasan dan kehujanan. Terus Cika juga bakal masuk angin. Memangnya Cika mau seperti itu?”
Cika menggeleng cepat. “Gak mau, Ma. Nanti Cika sakit, dong!” ujar Cika, air matanya mulai surut.
Mama mengusap pipi Cika dengan kedua telapak tangannya. “Maka dari itu, Allah menciptakan Cika seperti ini. Karena Allah lebih tahu apa yang Cika butuhkan.”
Cika mengangguk lalu menyunggingkan seutas senyum.
“Sekarang makan dulu, ya. Perut Cika udah bunyi, tuh!” goda Mama sembari menggelitiki perut Cika.
“Ahaha... Iya, Ma, iya. Cika bakal makan...”
“Oh iya, Mama baru inget!” Mama mengacungkan telunjuknya.
“Apa Ma?”
“Cika bisa terbang, kok,” ujar Mama ceria.
“Hmm...? Caranya?” kening Cika mengerut.
“Caranya, Cika harus belajar yang giat supaya jadi orang pintar. Dengan begitu, Cika bisa terbang untuk menggapai cita-cita Cika dan membuat Mama sama Papa bangga.”
“Ah... Mama.” Cika memasang raut cemberut. Tapi tak lama, ia kembali tersenyum, tertawa bersama mamanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo