Rabu, 09 Desember 2015

LAZUARDI PEMIKAT HATI



LAZUARDI PEMIKAT HATI
Oleh: Annisa Febriyati Sari

Tok..tok..tok...
Sebuah ketukan bertubi, berhasil membuat ricuh alam peristirahatan. Memasang-surutkan lautan kedamaian yang baru saja terbendung. Alih-alih, mata pun tak bisa menolak untuk terbuka. Memaksanya untuk terbangun dari pejaman keindahan lautan mimpi.
Dengan langkah terseok dan mata yang masih setengah terpejam, seorang pria tua renta berjalan ke arah pintu. Engsel pintu yang sudah tak layak pegang itu, ia genggam kuat-kuat. Takut-takut, kakinya yang rapuh tak dapat lagi menopang beban tubuhnya yang sekarang hanya tinggal rangkaian tulang. Dengan susah payah, ia membuka pintu yang berbahankan kayu usang. Deritan pintu itu sangat memekakkan telinga. Bak deritan derita¾begitulah bunyinya.
Setengah pintu telah terbuka. Nampak dari balik pintu, seorang lelaki menyembulkan kepala berubannya. Dengan senyum hangat, ia menyodorkan sebuah bungkusan hitam.
“Mbah, ini dari Lasmi,” ujar lelaki itu, ramah.
Pria tua renta itu membenarkan kopiahnya. Dengan tangan yang bergetar, ia meraih bungkusan itu. Semerbak bau bungkusan tersebut berhasil melukiskan seutas senyuman di bibir keriputnya.
“Terimakasih, Le,” jawabnya dengan suara khas kakek-kakek.
“Sama-sama, Mbah. Maaf saya baru ngasih sekarang. Tadi saya harus ke puskesmas dulu,” kata lelaki itu.
Mata senja sang tua renta, menatap sayu ke arah lelaki beruban yang masih bertubuh tegap. Pikirannya melayang, entah ke sudut mana. Yang jelas, pikirannya tak terfokus dengan apa yang ada di hadapannya.
Perlahan, pria yang dipanggil Mbah itu mundur. Membukakan pintu lebih lebar, sehingga tampaklah seisi rumahnya sekarang. Tak ada perabotan. Yang ada, hanyalah sebuah bale-bale dengan meja kecil di pinggirnya. Tak lupa, sebuah cerek kekuningan dan mug dari aluminium selalu setia menghiasi meja tersebut.
“Ayo, Le, singgahlah sejenak,” ujar Mbah.
Ia duduk di bale-bale sembari meregangkan tulang betisnya. Bungkusan dari  lelaki tadi, ia buka dan ia hidangkan untuk dinikmati bersama. Tapi lelaki tersebut malah terpaku. Ia enggan untuk masuk. Tatapannya tak luput dari keadaan rumah sang Mbah. Tanpa perabotan, langit beratapkan asbes, juga pijakan kaki beralaskan tanah, bisakah dia hidup seperti ini? Terlintas dalam benak lelaki itu, jika hujan turun dengan lebat, apakah langit-langit ini bocor? Kalaupun bocor, berarti rembesan air hujan akan membasahi lantai rumah Mbah yang bermodalkan tanah?
“Le, kemarilah! Ini bukan sekalinya kau ke rumah, Mbah, kan?” ujar Mbah.
Lelaki itu pun hanya tersenyum malu. Ia menghampiri Mbah dan ikut duduk di bale-bale. Bungkusan hitam yang tadi ia bawa, kini telah terhidang di hadapannya. Aneka macam gorengan buatan Lasmi, berhasil menggugah selera makannya. Terdengar suara kerubukan kecil dari perut lelaki tersebut. Dengan malu-malu kucing, ia berancang-ancang untuk meminta camilan hangat itu kepada Mbah.
“Mbah...,” serunya ragu.
“Makanlah! Mbah dengar suara perutmu,” kata Mbah, lalu mencomot gorengan tadi.
Sang lelaki hanya tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang sudah ternodai oleh kafein. Ia pun mencomot salah satu gorengan dan mulai bersenda gurau dengan Mbah. Bagaikan bapak dan anak, kedua pria itu terlihat dekat dengan ikatan kekeluargaan yang begitu kental. Nasihat-nasihat terus mengalir dari mulut Mbah, membuat lelaki di hadapannya manggut-manggut pertanda mengerti.
“Jadi, kau ke puskesmas untuk mengantar anakmu, Le?” tanya Mbah, sambil terus mengunyah gorengannya.
“Iya, Mbah. Anakku mendadak demam tadi subuh. Untungnya, dompetku sedang berisi. Jadi, aku bisa membawa anakku ke puskesmas,”  papar lelaki tersebut.
“Lalu, dengan siapa anakmu di rumah? Kamu meninggalkannya sendirian?” tanya Mbah lagi, dengan nada sedikit khawatir.
“Putriku sedang terlelap. Makanya aku berani ngopi di warung Lasmi dan berkunjung ke rumah Mbah,” jawabnya.
Mbah menggelengkan kepalanya, lalu berdecak beberapa kali. “Bapak macam apa kau ini? Kau tega meninggalkan anakmu hanya untuk melihat paras Lasmi? Sungguh keterlaluan...,”
“Bukan seperti itu, Mbah. Aku hanya... ya, aku memang ingin melihat Lasmi. Tapi bukan berarti aku tega mencampakkan anakku,”
“Dengarkan aku, wahai Ahmad Lesmana. Jika kau benar-benar mencintai Lasmi, maka pinanglah ia. Jangan kau biarkan Lasmi menggantungkan hatinya!”
Lelaki yang dipanggil ‘Le’ itu termenung sejenak. Pikirannya kalut dengan semua problematika hidup yang mau tidak mau, harus ia jalani. Perasaannya sesak saat mendengar perkataan Mbah. Bagaimana mungkin ia bisa meminang Lasmi? Sedangkan ia hanyalah seorang duda lapuk yang tak memiliki pekerjaan tetap. Dan Lasmi? Pantaskah lelaki beruban itu bersanding dengan seorang kembang desa? Sangat tidak mungkin! Bahkan, Lasmi pun tak akan mau melirik lelaki yang sudah berambut putih. Pun, gadis itu tak akan mau mengurus budak yang bukan hasil buah cintanya.
“Kenapa kau, Le? Bicaralah! Biarkan hatimu lega dengan mengungkapkan beban yang ditanggungnya,”
“Aku... aku memang mencintai Lasmi, Mbah. Aku selalu berharap, bahwa Lasmi akan melirik ke arahku, sehingga hubunganku dengannya akan semakin dekat. Aku ingin membawakan bidadari surga untuk putri kecilku. Setelah sekian tahun anakku hidup tanpa ibu, dan melihat keadaannya yang sekarang sakit-sakitan, hasratku untuk menghadiahkan seorang ibu untuknya semakin menjadi saja. Aku ingin melihat anakku hidup bahagia dengan kedua orangtua yang menyayanginya,” tak sadar, ceruk mata lelaki itu mulai menumpahkan bulir deritanya.
“Kau merasa malu karena usia dan statusmu? Jika kau memang cinta, cobalah ungkapkan itu. Kau tahu, Le? Keajaiban Tuhan, akan selalu menyertai manusia. Hanya saja, manusia selalu tak sadar akan keajaiban yang Dia turunkan.” papar Mbah, membuat Le merasa gusar.
“Tapi, Mbah, harapanku untuk mendapatkan Lasmi hanya berkisar satu persen. Lagipula, bagaimana mungkin aku bisa meminangnya? Sedangkan daku hanyalah seorang buruh tani, terkadang kuli, dan terkadang kenek angkot. Penghasilanku tak cukup untuk membuat acara walimah yang mewah. Lasmi pasti akan menderita jika hidup denganku,” ungkap Le, sembari menengadahkan kantung matanya yang sejak tadi digenangi air.
“Heh, berapa usiamu?” tanya Mbah, sedikit menyolot.
“Tiga puluh enam, Mbah,”
“Hampir empat puluh tahun,” ujar Mbah sambil mengusap janggut putihnya, “Biar kutebak. Umur Lasmi, pasti berkisar dua puluh tahunan,”
“Lebih tepatnya, Lasmi berumur dua puluh tujuh tahun, Mbah,” kata Le, dengan suara baritonnya.
“Jika perbedaan umur itu yang menjadi masalahmu, lantas bagaimana denganku? Umurmu dan Lasmi tak seberapa, bila dibandingkan dengan umurku dan calon istriku dulu,”
“Calon istri?” mata Le membulat, “Mbah tak pernah menceritakan apa pun tentang istri Mbah. Bahkan, semenjak kepindahan Mbah ke desa ini, tak sekalipun aku melihat wanita yang mendampingi Mbah,” ungkap Le dengan jujur.
Mbah hanya tersenyum masam, lalu mencomot gorengan terakhir. “Aku memang tidak pernah membawanya bersamaku,” kata Mbah. Tatapannya datar.
“Lho? Kenapa Mbah?” Le semakin penasaran  atas ucapan Mbah.
“Karena aku tak pernah memilikinya,” Mbah menarik napas panjang, “Walau untuk sehari saja, Tuhan tak pernah mengizinkanku untuk merajut untaian tali kasih dengannya. Hingga seiring berputarnya waktu, jalinan kasih itu merekah dengan sendirinya, tanpa aku harus mencari-cari perhatian sang pemikat hati. Dia juga seorang kembang desa, sama seperti Lasmi. Cantik, semampai, tapi usilnya luar biasa. Sampai-sampai, aku pernah dijaili habis-habisan olehnya. Sungguh, kenangan yang luar biasa,” ungkap Mbah sembari menatap langit-langit yang dihiasi oleh sarang laba-laba.
Le menautkan dahinya. Logikanya tak dapat menerima pernyataan Mbah yang mengatakan tentang kenangan luar biasanya di masa lalu. Padahal, Le menganggap bahwa pria berumur tujuh puluhan yang ada di hadapannya itu sudah pikun. Bahkan, pikiran Le mengira bahwa Mbah sudah jatuh ke alam depresinya.
Dulu, saat mengantarkan gorengan ke rumah Mbah, tak terlintas sedikit pun di pikiran Le, bahwa Mbah akan berlaku seramah ini. Tak pernah sekali pun ia bercengkrama dan berbagi cerita hidup dengan orang¾yang dulu¾hanya membukakan beberapa jengkal pintu rumah di saat ia berkunjung. Rumah Mbah selalu tertutup rapat. Bak rumah kosong, begitulah kelihatannya. Apalagi letak rumah Mbah yang dikelilingi oleh rindangan pohon pisang, tentu saja membuat kesan angker bagi rumah itu kala malam tiba.
“Mbah, memangnya, siapa nama perempuan itu?” tanya Le, mencoba untuk menguji ingatan Mbah.
“Namanya? Aku tak pernah tahu nama aslinya. Tapi anehnya, dia tahu namaku. Padahal, kami belum pernah saling menanyakan nama. Pun, itu adalah kali pertamanya aku singgah di desa Cimerah untuk melakukan latihan militer. Di sanalah awal mula pertemuanku, dengan gadis cantik pemikat hati, ” ujar Mbah, sambil tersenyum.
***
“Kang Adi...!” seorang gadis nan cantik rupawan, berjalan dengan tergopoh di sebuah jalan setapak. Nampak pada tangannya sebuah rantang putih yang menebarkan bau masakan sedap. Kebaya warna biru tuanya senantiasa menambah pesona gadis ini. Pun, selendang lazuardi yang ia pakai sebagai penutup rambut, membuat auranya semakin terpancar.
Gadis itu berhenti di pinggir hamparan lapangan bola.
“Satu...dua..satu..dua..satu,” terdengar deru suara para tentara yang tengah melakukan latihan.
Para tentara yang berbadan tegap itu berlari mengelilingi lapangan bola. Entah dari kapan, tapi hingga senja menampakkan semburat orange-nya, mereka tetap berlari mengikuti instruksi dari sang komandan. Banjir keringat pun tak dapat dihindari. Para tentara itu terlihat lelah, namun semangat juang mereka terlalu besar untuk menuruti rasa lelah itu.
“Kang Adi...!!”
Lagi, gadis pembawa rantang itu kembali menyeru.
Sontak, saat mendengar seruan itu para tentara melambatkan langkah mereka. Salah seorang tentara pun keluar dari barisan dan menghampiri komandannya yang berdiri tegap di tengah lapangan.
“Lapor, komandan!” ujarnya seraya hormat.
Sang komandan hanya menanggapinya dengan wajah masam.
“Siapa wanita itu?” tanya komandan kemudian.
“Saya tak tahu, komandan. Maka dari itu, bolehkah saya memastikan apakah dia memanggil saya atau tidak?” tanya tentara tersebut.
“Pergilah!” jawab komandan, “Hanya lima menit,” lanjutnya.
Sang tentara segera berlari ke pinggir lapangan untuk menghampiri gadis itu. Sementara komandan mengistirahatkan pasukannya untuk sejenak.
Tinggal beberapa langkah lagi sang tentara menghampiri gadis tadi, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Gadis dengan rantang dan selendang lazuardi itu membuatnya terpana. Hembus angin sore meniup lembut helaian rambut gadis itu. Tentu saja, hal itu semakin membuat sang tentara terkesima.
“Kang Adi, ini buat akang!” ujar gadis itu, sembari menyodorkan rantang.
“Oh.., terima kasih,” jawab sang tentara yang dipanggil Adi, “Kamu...,”
“Adiii.....!!!!” tiba-tiba jerit sang komandan datang melanda, memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya.
Segera, Adi berlari menghampiri komandan sambil mendekap rantang dari gadis berselendang lazuardi tadi.
“Siap, komandan!” ujarnya.
“Kau diam-diam menggaet gadis desa, heh?” tanya komandan, sangar.
Sesaat, lidah Adi tak bisa berkomentar.
“Tidak, komandan. Saya tidak tahu siapa gadis itu,” jawab Adi tegas.
Sang komandan hanya menggaruk tengkuknya, sementara tentara lain yang tengah beristirahat malah tertawa karena teman mereka¾Adi¾tengah diinterogasi.
“Kutanya kau sekali lagi!” ujar komandan, geram, “Siapa gadis itu?” bentak beliau.
“Saya tidak tahu, komandan,” jawab Adi, “Tapi, dia memberikan ini,” Adi menyodorkan rantang tadi kepada komandan.
Sejenak, komandan terdiam. Ia menerka-nerka makanan apakah yang ada di dalam rantang sehingga semerbak baunya sampai menusuk indera penciuman.
Melihat gelagat komandan yang mulai tergoda akan rantang tersebut, Adi seakan menemukan sebuah celah! Ya, celah untuk bisa lolos dari interogasi atasannya.
“Maaf, komandan. Jika komandan ingin, marilah makan bersama. Saya lihat komandan terlalu lelah karena terus melatih kami dari esok hingga petang. Maka dari itu, istirahatlah sejenak, komandan!” ujar Adi, mencoba meluluhkan hati komandannya.
“Kau!” gertak komandan, membuat Adi terkejut dan menimbulkan gelak tawa teman-temannya, “Kita ini adalah tentara! Kita adalah pejuang! Apa maksudmu menyuruhku untuk membuang-buang waktu? Kita harus terus berlatih supaya bisa mempertahankan bangsa ini!” papar komandan, tegas.
Adi berusaha keras menelan salivanya.
Tak kehabisan akal, pria yang masih mendekap rantang itu kembali mencoba menggelitik hati komandan.
“Ya, kita adalah pahlawan, komandan! Kita adalah pejuang! Tapi, supaya kita bisa mempertahankan bangsa ini, kita juga memerlukan energi. Dan cara mendapatkan energi adalah dengan makanan...,” ujar Adi sembari menunjukkan deretan giginya.
Ingin marah, tapi buru-buru komandan meredam rasa itu. Benar kata Adi, ia memerlukan energi dan makanan. Apalagi, bau makanan di dalam rantang sedari tadi menusuk-nusuk hidungnya. Jadilah hati komandan luluh, dan membebaskan Adi dari interogasi mautnya.
“Bagaimana, komandan? Mari, kita makan!” ujar Adi lagi.
“Baiklah, baiklah... Tapi lain kali tak akan kubiarkan kau lepas, Adi!” ancam komandan.
Adi hanya tersenyum. Lalu mereka duduk sila pada tumpukkan rumput hijau yang terhampar di lapangan tersebut. Sementara komandan dan Adi asyik melahap makanan, teman-teman Adi yang lain hanya menatap masam ke arahnya. Dan Adi membalas tatapan masam mereka dengan sebuah senyum meledek.
Esoknya, seperti biasa para tentara bangun pagi dari perkemahan yang mereka dirikan di sebuah lahan. Dengan deru peluit yang nyaring, sang komandan memandu mereka untuk membersihkan diri di sebuah sungai.
Saat sampai di sungai, para tentara itu langsung menghujamkan diri ke dalam air. Bak anak kecil, sebagian dari mereka bermain ciprat-cipratan.
“Heh, Adi!” seru seorang teman, “Kau benar-benar menggaet gadis desa, kah?” tanyanya.
Adi yang sedang berendam di dalam air langsung membulatkan matanya.
“Apa yang kau bicarakan? Aku sama sekali tak tahu tentang gadis itu!” jawab Adi.
“Tenanglah kau... Aku takkan merebut gebetanmu itu! Hahaha...” gelak tawa di dalam sungai kembali menyeruak. Membuat sang komandan berkacak pinggang. Untungnya, pagi itu beliau tak marah.
Matahari telah tegak di atas kepala. Dan para tentara kini berjajar rapi di lapangan sepakbola. Setelah puas melepas penat di sungai, maka kini mereka harus ditempa kembali dengan berbagai ujian dari sang komandan. Ya, ujian yang akan membuktikan apakah mereka layak menjadi pahlawan atau tidak.
“Kali ini, kalian akan berjalan keliling kampung. Jika kalian menemukan bendera merah, maka ikutilah jalan itu. Tapi jika kalian menemukan pita merah, maka kalian harus mencari bendera merah agar kalian mendapat jalan yang benar! Mengerti?” ungkap komandan dengan tegas.
“Siap, mengerti!” jawab para tentara serempak.
Setelah dibagi kelompok, maka tentara itu mulai berjalan untuk menjelajahi seisi kampung. Kebetulan, Adi mendapat kelompok pertama bersama dua tentara lainnya.
Kelompok pertama mulai mencari bendera merah, dan melewari trek-trek yang telah disiapkan oleh komandan. Dari mulai masuk perkebunan, mengambil klu yang ada di atas pohon, hingga berjalan melewati makam yang hampir seluruhnya tertutupi oleh tanaman. Hingga akhirnya, Adi dan kelompoknya harus tiarap di hamparan sawah yang baru saja dipanen.
Di tengah terik matahari itu, mereka tiarap pada sawah yang berlumpur. Keringat kini membanjiri lagi. Tapi karena rasa juang yang berkobar, semangat mereka pun tak aus untuk menaklukan ujian-ujian dari sang komandan. Sampai akhirnya....
“Kang Adi...!”
Adi yang sedang tiarap langsung mendongakkan kepalanya. Matanya langsung terpaku saat mendapati sosok gadis yang kemarin memberinya makanan. Dengan cepat, Adi langsung berdiri saat gadis itu berlari menghampiri dirinya.
“Adi! Tiarap lah!” seru temannya.
Tak peduli akan seruan atau pun lumpur yang melekat di sekujur tubuhnya, Adi tetap terpaku. Matanya mengunci sosok indah dengan selendang lazuardi yang melayang-layang tertiup angin.
Hanya beberapa langkah lagi sosok itu akan berdiri di hadapannya, tiba-tiba saja...
“Adi awaaasss!!!!”
Bang! Bang!
***
“Setelah kejadian itu, semuanya suram. Aku merasa bahwa hidupku hancur,” ungkap Mbah terisak, “Aku sempat marah kepada Tuhan, karena Dia tidak memberi kesempatan kepadaku untuk bercengkrama dengan gadis itu,”
“Lalu, apa yang terjadi dengan gadis itu setelah ditembak, Mbah?” tanya Le, yang hanyut dalam cerita Mbah.
“Dia..., tertembak di sini,” dengan jari telunjuk yang bergetar, Mbah menunjuk letak jantungnya, “Maka dari itu, dia tak bisa selamat. Sedangkan aku, tertembak di sini,” Mbah menunjuk lengan kanannya bagian atas.
Tak habis rasa penasaran Le, maka pria itu terus melontarkan pertanyaan.
“Tentara Jepang memang kejam. Kalau saja kala itu mereka tak datang, mungkin, gadis yang Mbah cintai sudah berada di sisi Mbah hingga saat ini,” ungkap Le, seakan mengerti perasaan Mbah.
“Ya, kau benar Le,” Mbah meraba janggutnya, “Tapi Tuhan memang adil. Ketika Dia tak memberi apa yang kita inginkan, Dia pasti akan menggantikannya dengan yang lain. Begitupun dengan gadis itu. Tuhan telah merenggutnya dariku. Tapi ajaibnya, Tuhan mengizinkanku untuk kabur dari siksaan tentara Jepang. Hidup, benar-benar adil,”
“Ya, Mbah benar. Dan aku rasa, tak patut jika kita harus mengeluh atas apa yang telah Tuhan berikan,” sambung Le, seraya menunduk.
“Kau benar, Le. Dan kau tak patut untuk mengeluhkan keadaanmu. Dan Lasmi, cobalah untuk mendapatkan hatinya. Siapa tahu, ada keajaiban Tuhan saat kau sedang mencoba,” nasihat Mbah.
Beberapa kali Le mengangguk. Ia telah mendapatkan beribu pelajaran hidup dari seorang tua renta yang ada di hadapannya. Sekilas, kepalanya kembali menampakkan wajah Lasmi. Tapi buru-buru ia tepis pikiran itu, mengingat bahwa ia masih berbicara dengan Mbah.
“Dan kau tahu, Le? Aku sangat mencintai selendang lazuardinya. Kala itu, selendangnya bersimbah darah karena luka tembakan. Tapi, pada detik-detik terakhirnya, ia sempat memberi amanat padaku agar aku menyimpan selendang itu. Tak ayal, aku mencucinya dan merawatnya setiap waktu, sebagai ungkapan rasa kasihku yang tak bisa aku curahkan padanya,”
“Lalu, apa Mbah masih menyimpan selendang itu?” tanya Le.
Mbah kemudian menunjuk jendela kecil yang tertutup kain yang tak lagi biru. Ya, Mbah masih menyimpan selendang lazuardi itu.
“Aku sengaja memasangnya seperti itu. Supaya aku terus mengingatnya,” kata Mbah.
Le menarik napas panjang. Ia benar-benar salut dengan Mbah. Ternyata, semangat Mbah masih berkobar. Pria tua renta itu memajang selendang lazuardi agar ia tetap ingat akan sejarah perjuangannya di masa lampau.
“Dan yang paling membuatku kaget adalah, saat aku berkunjung ke makam gadis itu. Ternyata, di batu nisannya tertulis ‘Lazuardi binti Ahmad’. Dan setelah kuhitung, perbedaan umur kami ternyata cukup jauh. Yaitu, enam belas tahun,” lanjut Mbah sembari menatap lekat selendang yang tak lagi berwarna lazuardi.
Le menatap haru sosok di hadapannya. Kini, di penghujung tahun 2007, Le telah mendapatkan berbagai motivasi dari Mbah. Semangatnya seakan kembali membara.
Satu hal yang ia kagumi dari Mbah, pria tua ini tak pernah mengeluh. Dan, pria tua ini selalu yakin bahwa, “Tuhan itu Maha Ajaib dan Tuhan itu Maha Adil.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo