LAZUARDI
PEMIKAT HATI
Oleh: Annisa Febriyati Sari
Tok..tok..tok...
Sebuah
ketukan bertubi, berhasil membuat ricuh alam peristirahatan. Memasang-surutkan
lautan kedamaian yang baru saja terbendung. Alih-alih, mata pun tak bisa
menolak untuk terbuka. Memaksanya untuk terbangun dari pejaman keindahan lautan
mimpi.
Dengan
langkah terseok dan mata yang masih setengah terpejam, seorang pria tua renta
berjalan ke arah pintu. Engsel pintu yang sudah tak layak pegang itu, ia
genggam kuat-kuat. Takut-takut, kakinya yang rapuh tak dapat lagi menopang
beban tubuhnya yang sekarang hanya tinggal rangkaian tulang. Dengan susah
payah, ia membuka pintu yang berbahankan kayu usang. Deritan pintu itu sangat
memekakkan telinga. Bak deritan derita¾begitulah
bunyinya.
Setengah
pintu telah terbuka. Nampak dari balik pintu, seorang lelaki menyembulkan
kepala berubannya. Dengan senyum hangat, ia menyodorkan sebuah bungkusan hitam.
“Mbah, ini
dari Lasmi,” ujar lelaki itu, ramah.
Pria tua
renta itu membenarkan kopiahnya. Dengan tangan yang bergetar, ia meraih
bungkusan itu. Semerbak bau bungkusan tersebut berhasil melukiskan seutas
senyuman di bibir keriputnya.
“Terimakasih,
Le,” jawabnya dengan suara khas kakek-kakek.
“Sama-sama,
Mbah. Maaf saya baru ngasih sekarang. Tadi saya harus ke puskesmas dulu,” kata
lelaki itu.
Mata senja
sang tua renta, menatap sayu ke arah lelaki beruban yang masih bertubuh tegap.
Pikirannya melayang, entah ke sudut mana. Yang jelas, pikirannya tak terfokus
dengan apa yang ada di hadapannya.
Perlahan,
pria yang dipanggil Mbah itu mundur. Membukakan pintu lebih lebar, sehingga
tampaklah seisi rumahnya sekarang. Tak ada perabotan. Yang ada, hanyalah sebuah
bale-bale dengan meja kecil di pinggirnya. Tak lupa, sebuah cerek kekuningan
dan mug dari aluminium selalu setia menghiasi meja tersebut.
“Ayo, Le,
singgahlah sejenak,” ujar Mbah.
Ia duduk di bale-bale
sembari meregangkan tulang betisnya. Bungkusan dari lelaki tadi, ia buka dan ia hidangkan untuk
dinikmati bersama. Tapi lelaki tersebut malah terpaku. Ia enggan untuk masuk. Tatapannya
tak luput dari keadaan rumah sang Mbah. Tanpa perabotan, langit beratapkan
asbes, juga pijakan kaki beralaskan tanah, bisakah dia hidup seperti ini?
Terlintas dalam benak lelaki itu, jika hujan turun dengan lebat, apakah
langit-langit ini bocor? Kalaupun bocor, berarti rembesan air hujan akan membasahi
lantai rumah Mbah yang bermodalkan tanah?
“Le, kemarilah!
Ini bukan sekalinya kau ke rumah, Mbah, kan?” ujar Mbah.
Lelaki itu
pun hanya tersenyum malu. Ia menghampiri Mbah dan ikut duduk di bale-bale.
Bungkusan hitam yang tadi ia bawa, kini telah terhidang di hadapannya. Aneka
macam gorengan buatan Lasmi, berhasil menggugah selera makannya. Terdengar
suara kerubukan kecil dari perut lelaki tersebut. Dengan malu-malu kucing, ia
berancang-ancang untuk meminta camilan hangat itu kepada Mbah.
“Mbah...,” serunya
ragu.
“Makanlah!
Mbah dengar suara perutmu,” kata Mbah, lalu mencomot gorengan tadi.
Sang lelaki
hanya tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang sudah ternodai oleh kafein.
Ia pun mencomot salah satu gorengan dan mulai bersenda gurau dengan Mbah.
Bagaikan bapak dan anak, kedua pria itu terlihat dekat dengan ikatan
kekeluargaan yang begitu kental. Nasihat-nasihat terus mengalir dari mulut
Mbah, membuat lelaki di hadapannya manggut-manggut pertanda mengerti.
“Jadi, kau ke
puskesmas untuk mengantar anakmu, Le?” tanya Mbah, sambil terus mengunyah
gorengannya.
“Iya, Mbah.
Anakku mendadak demam tadi subuh. Untungnya, dompetku sedang berisi. Jadi, aku
bisa membawa anakku ke puskesmas,” papar
lelaki tersebut.
“Lalu, dengan
siapa anakmu di rumah? Kamu meninggalkannya sendirian?” tanya Mbah lagi, dengan
nada sedikit khawatir.
“Putriku
sedang terlelap. Makanya aku berani ngopi di warung Lasmi dan berkunjung ke
rumah Mbah,” jawabnya.
Mbah
menggelengkan kepalanya, lalu berdecak beberapa kali. “Bapak macam apa kau ini?
Kau tega meninggalkan anakmu hanya untuk melihat paras Lasmi? Sungguh
keterlaluan...,”
“Bukan
seperti itu, Mbah. Aku hanya... ya, aku memang ingin melihat Lasmi. Tapi bukan
berarti aku tega mencampakkan anakku,”
“Dengarkan
aku, wahai Ahmad Lesmana. Jika kau benar-benar mencintai Lasmi, maka pinanglah
ia. Jangan kau biarkan Lasmi menggantungkan hatinya!”
Lelaki yang
dipanggil ‘Le’ itu termenung sejenak. Pikirannya kalut dengan semua
problematika hidup yang mau tidak mau, harus ia jalani. Perasaannya sesak saat
mendengar perkataan Mbah. Bagaimana mungkin ia bisa meminang Lasmi? Sedangkan
ia hanyalah seorang duda lapuk yang tak memiliki pekerjaan tetap. Dan Lasmi? Pantaskah
lelaki beruban itu bersanding dengan seorang kembang desa? Sangat tidak mungkin!
Bahkan, Lasmi pun tak akan mau melirik lelaki yang sudah berambut putih. Pun,
gadis itu tak akan mau mengurus budak yang bukan hasil buah cintanya.
“Kenapa kau,
Le? Bicaralah! Biarkan hatimu lega dengan mengungkapkan beban yang
ditanggungnya,”
“Aku... aku
memang mencintai Lasmi, Mbah. Aku selalu berharap, bahwa Lasmi akan melirik ke
arahku, sehingga hubunganku dengannya akan semakin dekat. Aku ingin membawakan
bidadari surga untuk putri kecilku. Setelah sekian tahun anakku hidup tanpa
ibu, dan melihat keadaannya yang sekarang sakit-sakitan, hasratku untuk
menghadiahkan seorang ibu untuknya semakin menjadi saja. Aku ingin melihat
anakku hidup bahagia dengan kedua orangtua yang menyayanginya,” tak sadar,
ceruk mata lelaki itu mulai menumpahkan bulir deritanya.
“Kau merasa
malu karena usia dan statusmu? Jika kau memang cinta, cobalah ungkapkan itu.
Kau tahu, Le? Keajaiban Tuhan, akan selalu menyertai manusia. Hanya saja,
manusia selalu tak sadar akan keajaiban yang Dia turunkan.” papar Mbah, membuat
Le merasa gusar.
“Tapi, Mbah,
harapanku untuk mendapatkan Lasmi hanya berkisar satu persen. Lagipula,
bagaimana mungkin aku bisa meminangnya? Sedangkan daku hanyalah seorang buruh
tani, terkadang kuli, dan terkadang kenek angkot. Penghasilanku tak cukup untuk
membuat acara walimah yang mewah. Lasmi pasti akan menderita jika hidup
denganku,” ungkap Le, sembari menengadahkan kantung matanya yang sejak tadi
digenangi air.
“Heh, berapa
usiamu?” tanya Mbah, sedikit menyolot.
“Tiga puluh
enam, Mbah,”
“Hampir empat
puluh tahun,” ujar Mbah sambil mengusap janggut putihnya, “Biar kutebak. Umur
Lasmi, pasti berkisar dua puluh tahunan,”
“Lebih tepatnya,
Lasmi berumur dua puluh tujuh tahun, Mbah,” kata Le, dengan suara baritonnya.
“Jika
perbedaan umur itu yang menjadi masalahmu, lantas bagaimana denganku? Umurmu
dan Lasmi tak seberapa, bila dibandingkan dengan umurku dan calon istriku dulu,”
“Calon istri?”
mata Le membulat, “Mbah tak pernah menceritakan apa pun tentang istri Mbah.
Bahkan, semenjak kepindahan Mbah ke desa ini, tak sekalipun aku melihat wanita
yang mendampingi Mbah,” ungkap Le dengan jujur.
Mbah hanya
tersenyum masam, lalu mencomot gorengan terakhir. “Aku memang tidak pernah
membawanya bersamaku,” kata Mbah. Tatapannya datar.
“Lho? Kenapa
Mbah?” Le semakin penasaran atas ucapan
Mbah.
“Karena aku
tak pernah memilikinya,” Mbah menarik napas panjang, “Walau untuk sehari saja,
Tuhan tak pernah mengizinkanku untuk merajut untaian tali kasih dengannya.
Hingga seiring berputarnya waktu, jalinan kasih itu merekah dengan sendirinya,
tanpa aku harus mencari-cari perhatian sang pemikat hati. Dia juga seorang
kembang desa, sama seperti Lasmi. Cantik, semampai, tapi usilnya luar biasa.
Sampai-sampai, aku pernah dijaili habis-habisan olehnya. Sungguh, kenangan yang
luar biasa,” ungkap Mbah sembari menatap langit-langit yang dihiasi oleh sarang
laba-laba.
Le menautkan
dahinya. Logikanya tak dapat menerima pernyataan Mbah yang mengatakan tentang
kenangan luar biasanya di masa lalu. Padahal, Le menganggap bahwa pria berumur
tujuh puluhan yang ada di hadapannya itu sudah pikun. Bahkan, pikiran Le
mengira bahwa Mbah sudah jatuh ke alam depresinya.
Dulu, saat
mengantarkan gorengan ke rumah Mbah, tak terlintas sedikit pun di pikiran Le,
bahwa Mbah akan berlaku seramah ini. Tak pernah sekali pun ia bercengkrama dan
berbagi cerita hidup dengan orang¾yang dulu¾hanya membukakan beberapa jengkal pintu
rumah di saat ia berkunjung. Rumah Mbah selalu tertutup rapat. Bak rumah
kosong, begitulah kelihatannya. Apalagi letak rumah Mbah yang dikelilingi oleh
rindangan pohon pisang, tentu saja membuat kesan angker bagi rumah itu kala
malam tiba.
“Mbah,
memangnya, siapa nama perempuan itu?” tanya Le, mencoba untuk menguji ingatan
Mbah.
“Namanya? Aku
tak pernah tahu nama aslinya. Tapi anehnya, dia tahu namaku. Padahal, kami
belum pernah saling menanyakan nama. Pun, itu adalah kali pertamanya aku
singgah di desa Cimerah untuk melakukan latihan militer. Di sanalah awal mula
pertemuanku, dengan gadis cantik pemikat hati, ” ujar Mbah, sambil tersenyum.
***
“Kang
Adi...!” seorang gadis nan cantik rupawan, berjalan dengan tergopoh di sebuah
jalan setapak. Nampak pada tangannya sebuah rantang putih yang menebarkan bau
masakan sedap. Kebaya warna biru tuanya senantiasa menambah pesona gadis ini.
Pun, selendang lazuardi yang ia pakai sebagai penutup rambut, membuat auranya
semakin terpancar.
Gadis itu
berhenti di pinggir hamparan lapangan bola.
“Satu...dua..satu..dua..satu,”
terdengar deru suara para tentara yang tengah melakukan latihan.
Para tentara
yang berbadan tegap itu berlari mengelilingi lapangan bola. Entah dari kapan,
tapi hingga senja menampakkan semburat orange-nya,
mereka tetap berlari mengikuti instruksi dari sang komandan. Banjir keringat
pun tak dapat dihindari. Para tentara itu terlihat lelah, namun semangat juang
mereka terlalu besar untuk menuruti rasa lelah itu.
“Kang
Adi...!!”
Lagi, gadis
pembawa rantang itu kembali menyeru.
Sontak, saat
mendengar seruan itu para tentara melambatkan langkah mereka. Salah seorang
tentara pun keluar dari barisan dan menghampiri komandannya yang berdiri tegap
di tengah lapangan.
“Lapor,
komandan!” ujarnya seraya hormat.
Sang komandan
hanya menanggapinya dengan wajah masam.
“Siapa wanita
itu?” tanya komandan kemudian.
“Saya tak
tahu, komandan. Maka dari itu, bolehkah saya memastikan apakah dia memanggil
saya atau tidak?” tanya tentara tersebut.
“Pergilah!”
jawab komandan, “Hanya lima menit,” lanjutnya.
Sang tentara
segera berlari ke pinggir lapangan untuk menghampiri gadis itu. Sementara komandan
mengistirahatkan pasukannya untuk sejenak.
Tinggal
beberapa langkah lagi sang tentara menghampiri gadis tadi, tapi tiba-tiba
langkahnya terhenti. Gadis dengan rantang dan selendang lazuardi itu membuatnya
terpana. Hembus angin sore meniup lembut helaian rambut gadis itu. Tentu saja,
hal itu semakin membuat sang tentara terkesima.
“Kang Adi,
ini buat akang!” ujar gadis itu, sembari menyodorkan rantang.
“Oh.., terima
kasih,” jawab sang tentara yang dipanggil Adi, “Kamu...,”
“Adiii.....!!!!”
tiba-tiba jerit sang komandan datang melanda, memekakkan telinga siapa saja
yang mendengarnya.
Segera, Adi
berlari menghampiri komandan sambil mendekap rantang dari gadis berselendang
lazuardi tadi.
“Siap,
komandan!” ujarnya.
“Kau
diam-diam menggaet gadis desa, heh?” tanya komandan, sangar.
Sesaat, lidah
Adi tak bisa berkomentar.
“Tidak,
komandan. Saya tidak tahu siapa gadis itu,” jawab Adi tegas.
Sang komandan
hanya menggaruk tengkuknya, sementara tentara lain yang tengah beristirahat
malah tertawa karena teman mereka¾Adi¾tengah diinterogasi.
“Kutanya kau
sekali lagi!” ujar komandan, geram, “Siapa gadis itu?” bentak beliau.
“Saya tidak
tahu, komandan,” jawab Adi, “Tapi, dia memberikan ini,” Adi menyodorkan rantang
tadi kepada komandan.
Sejenak,
komandan terdiam. Ia menerka-nerka makanan apakah yang ada di dalam rantang
sehingga semerbak baunya sampai menusuk indera penciuman.
Melihat
gelagat komandan yang mulai tergoda akan rantang tersebut, Adi seakan menemukan
sebuah celah! Ya, celah untuk bisa lolos dari interogasi atasannya.
“Maaf,
komandan. Jika komandan ingin, marilah makan bersama. Saya lihat komandan
terlalu lelah karena terus melatih kami dari esok hingga petang. Maka dari itu,
istirahatlah sejenak, komandan!” ujar Adi, mencoba meluluhkan hati komandannya.
“Kau!” gertak
komandan, membuat Adi terkejut dan menimbulkan gelak tawa teman-temannya, “Kita
ini adalah tentara! Kita adalah pejuang! Apa maksudmu menyuruhku untuk
membuang-buang waktu? Kita harus terus berlatih supaya bisa mempertahankan
bangsa ini!” papar komandan, tegas.
Adi berusaha
keras menelan salivanya.
Tak kehabisan
akal, pria yang masih mendekap rantang itu kembali mencoba menggelitik hati
komandan.
“Ya, kita
adalah pahlawan, komandan! Kita adalah pejuang! Tapi, supaya kita bisa
mempertahankan bangsa ini, kita juga memerlukan energi. Dan cara mendapatkan
energi adalah dengan makanan...,” ujar Adi sembari menunjukkan deretan giginya.
Ingin marah,
tapi buru-buru komandan meredam rasa itu. Benar kata Adi, ia memerlukan energi
dan makanan. Apalagi, bau makanan di dalam rantang sedari tadi menusuk-nusuk
hidungnya. Jadilah hati komandan luluh, dan membebaskan Adi dari interogasi
mautnya.
“Bagaimana,
komandan? Mari, kita makan!” ujar Adi lagi.
“Baiklah,
baiklah... Tapi lain kali tak akan kubiarkan kau lepas, Adi!” ancam komandan.
Adi hanya
tersenyum. Lalu mereka duduk sila pada tumpukkan rumput hijau yang terhampar di
lapangan tersebut. Sementara komandan dan Adi asyik melahap makanan,
teman-teman Adi yang lain hanya menatap masam ke arahnya. Dan Adi membalas
tatapan masam mereka dengan sebuah senyum meledek.
Esoknya,
seperti biasa para tentara bangun pagi dari perkemahan yang mereka dirikan di
sebuah lahan. Dengan deru peluit yang nyaring, sang komandan memandu mereka
untuk membersihkan diri di sebuah sungai.
Saat sampai
di sungai, para tentara itu langsung menghujamkan diri ke dalam air. Bak anak
kecil, sebagian dari mereka bermain ciprat-cipratan.
“Heh, Adi!”
seru seorang teman, “Kau benar-benar menggaet gadis desa, kah?” tanyanya.
Adi yang
sedang berendam di dalam air langsung membulatkan matanya.
“Apa yang kau
bicarakan? Aku sama sekali tak tahu tentang gadis itu!” jawab Adi.
“Tenanglah
kau... Aku takkan merebut gebetanmu itu! Hahaha...” gelak tawa di dalam sungai
kembali menyeruak. Membuat sang komandan berkacak pinggang. Untungnya, pagi itu
beliau tak marah.
Matahari
telah tegak di atas kepala. Dan para tentara kini berjajar rapi di lapangan
sepakbola. Setelah puas melepas penat di sungai, maka kini mereka harus ditempa
kembali dengan berbagai ujian dari sang komandan. Ya, ujian yang akan
membuktikan apakah mereka layak menjadi pahlawan atau tidak.
“Kali ini,
kalian akan berjalan keliling kampung. Jika kalian menemukan bendera merah,
maka ikutilah jalan itu. Tapi jika kalian menemukan pita merah, maka kalian
harus mencari bendera merah agar kalian mendapat jalan yang benar! Mengerti?”
ungkap komandan dengan tegas.
“Siap,
mengerti!” jawab para tentara serempak.
Setelah
dibagi kelompok, maka tentara itu mulai berjalan untuk menjelajahi seisi
kampung. Kebetulan, Adi mendapat kelompok pertama bersama dua tentara lainnya.
Kelompok
pertama mulai mencari bendera merah, dan melewari trek-trek yang telah
disiapkan oleh komandan. Dari mulai masuk perkebunan, mengambil klu yang ada di
atas pohon, hingga berjalan melewati makam yang hampir seluruhnya tertutupi
oleh tanaman. Hingga akhirnya, Adi dan kelompoknya harus tiarap di hamparan
sawah yang baru saja dipanen.
Di tengah
terik matahari itu, mereka tiarap pada sawah yang berlumpur. Keringat kini
membanjiri lagi. Tapi karena rasa juang yang berkobar, semangat mereka pun tak
aus untuk menaklukan ujian-ujian dari sang komandan. Sampai akhirnya....
“Kang
Adi...!”
Adi yang
sedang tiarap langsung mendongakkan kepalanya. Matanya langsung terpaku saat
mendapati sosok gadis yang kemarin memberinya makanan. Dengan cepat, Adi
langsung berdiri saat gadis itu berlari menghampiri dirinya.
“Adi! Tiarap
lah!” seru temannya.
Tak peduli
akan seruan atau pun lumpur yang melekat di sekujur tubuhnya, Adi tetap terpaku.
Matanya mengunci sosok indah dengan selendang lazuardi yang melayang-layang
tertiup angin.
Hanya
beberapa langkah lagi sosok itu akan berdiri di hadapannya, tiba-tiba saja...
“Adi
awaaasss!!!!”
Bang! Bang!
***
“Setelah
kejadian itu, semuanya suram. Aku merasa bahwa hidupku hancur,” ungkap Mbah
terisak, “Aku sempat marah kepada Tuhan, karena Dia tidak memberi kesempatan
kepadaku untuk bercengkrama dengan gadis itu,”
“Lalu, apa
yang terjadi dengan gadis itu setelah ditembak, Mbah?” tanya Le, yang hanyut
dalam cerita Mbah.
“Dia...,
tertembak di sini,” dengan jari telunjuk yang bergetar, Mbah menunjuk letak
jantungnya, “Maka dari itu, dia tak bisa selamat. Sedangkan aku, tertembak di
sini,” Mbah menunjuk lengan kanannya bagian atas.
Tak habis
rasa penasaran Le, maka pria itu terus melontarkan pertanyaan.
“Tentara
Jepang memang kejam. Kalau saja kala itu mereka tak datang, mungkin, gadis yang
Mbah cintai sudah berada di sisi Mbah hingga saat ini,” ungkap Le, seakan
mengerti perasaan Mbah.
“Ya, kau benar
Le,” Mbah meraba janggutnya, “Tapi Tuhan memang adil. Ketika Dia tak memberi
apa yang kita inginkan, Dia pasti akan menggantikannya dengan yang lain.
Begitupun dengan gadis itu. Tuhan telah merenggutnya dariku. Tapi ajaibnya,
Tuhan mengizinkanku untuk kabur dari siksaan tentara Jepang. Hidup, benar-benar
adil,”
“Ya, Mbah
benar. Dan aku rasa, tak patut jika kita harus mengeluh atas apa yang telah
Tuhan berikan,” sambung Le, seraya menunduk.
“Kau benar,
Le. Dan kau tak patut untuk mengeluhkan keadaanmu. Dan Lasmi, cobalah untuk
mendapatkan hatinya. Siapa tahu, ada keajaiban Tuhan saat kau sedang mencoba,”
nasihat Mbah.
Beberapa kali
Le mengangguk. Ia telah mendapatkan beribu pelajaran hidup dari seorang tua
renta yang ada di hadapannya. Sekilas, kepalanya kembali menampakkan wajah
Lasmi. Tapi buru-buru ia tepis pikiran itu, mengingat bahwa ia masih berbicara
dengan Mbah.
“Dan kau
tahu, Le? Aku sangat mencintai selendang lazuardinya. Kala itu, selendangnya
bersimbah darah karena luka tembakan. Tapi, pada detik-detik terakhirnya, ia
sempat memberi amanat padaku agar aku menyimpan selendang itu. Tak ayal, aku
mencucinya dan merawatnya setiap waktu, sebagai ungkapan rasa kasihku yang tak
bisa aku curahkan padanya,”
“Lalu, apa
Mbah masih menyimpan selendang itu?” tanya Le.
Mbah kemudian
menunjuk jendela kecil yang tertutup kain yang tak lagi biru. Ya, Mbah masih
menyimpan selendang lazuardi itu.
“Aku sengaja
memasangnya seperti itu. Supaya aku terus mengingatnya,” kata Mbah.
Le menarik
napas panjang. Ia benar-benar salut dengan Mbah. Ternyata, semangat Mbah masih
berkobar. Pria tua renta itu memajang selendang lazuardi agar ia tetap ingat akan
sejarah perjuangannya di masa lampau.
“Dan yang
paling membuatku kaget adalah, saat aku berkunjung ke makam gadis itu. Ternyata,
di batu nisannya tertulis ‘Lazuardi binti Ahmad’. Dan setelah kuhitung,
perbedaan umur kami ternyata cukup jauh. Yaitu, enam belas tahun,” lanjut Mbah
sembari menatap lekat selendang yang tak lagi berwarna lazuardi.
Le menatap
haru sosok di hadapannya. Kini, di penghujung tahun 2007, Le telah mendapatkan
berbagai motivasi dari Mbah. Semangatnya seakan kembali membara.
Satu hal yang
ia kagumi dari Mbah, pria tua ini tak pernah mengeluh. Dan, pria tua ini selalu
yakin bahwa, “Tuhan itu Maha Ajaib dan Tuhan itu Maha Adil.”
0 komentar:
Posting Komentar