Selasa, 05 April 2016

FF NAYEON TWICE X JUNGKOOK BTS



YOU LOVE ME, YOU LOVE ME NOT
©©©

Author: afPhantom92
Genre: Hurt-Romance(?) yang jelas bukan NC wkwk
Maincast: Jeon Jungkook BTS; Im Nayeon Twice
Othercast: Mina Twice, Find with your self
Happy reading juseyo~~^^
©©©
Sudah malam, jaljayo urineun Nayeon nuna. See you tomorrow~^^
Tak dapat dipungkiri, seulas senyum berhasil terukir di bibirku. Sebuah pesan ‘ucapan selamat malam’ yang terkirim beberapa menit yang lalu berhasil membuat jantungku menari gembira. Sempurna, pekikku dalam hati.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela yang belum tertutup gorden. Seketika semilir angin malam terasa berembus pelan menerpa kulitku. Hhh dingin memang. Namun ... kenapa rasanya malam ini langit begitu indah?
Dan kenapa malam ini ... perasaan itu semakin mengakar saja?
Jeon Jungkook. Ya, hanya dua kata itu yang kini tengah mengiang di kepalaku. Seakan-akan semua yang kulakukan hanya untuk dia, seolah semua benda hidup menjelma dia, serta seperti bumi hanya menceritakan tentang dia. Serakah? Mungkin saja. Ruang kosong di antara rangkaian tulang rusuk ini mulai menuntut lebih. Menuntut akan kehangatan, menuntut akan isi, menuntut akan kehadiran seseorang—lagi.
Namun, apakah semua itu akan terjadi? Mengingat dia; yang dingin, aku; yang over, apakah semuanya akan berjalan happy ending layaknya dongeng Cinderella yang sering ibu ceritakan saat aku kecil? Atau mungkin ... akan ada pangeran yang membangunkanku kala aku tertidur seperti Snow White?
Haha. Aku mengulum senyum. Konyol sekali jika aku berpikir untuk memiliki kasta yang sama dengan puteri cantik dalam buku cerita. Namun ... bolehkah aku terus berpikir—dan berharap¾bahwa kau juga mempunyai perasaan yang sama—untukku?
***
“Nayeon-ah ...!”
Aku mengangkat kepalaku dari atas meja seraya menguap kecil saat sebuah seruan terdengar. Hoamm ... sekali lagi aku menguap. Dengan malas, kutatap siluet cantik itu.
“Waeyo Mina-chan?” tanyaku serak. Sesekali kuusap kedua mata agar dapat melihat lebih jelas.
Tanpa babibu, tiba-tiba saja Mina-chan sudah memelukku erat. Tentu saja hal itu membuat kinerja otakku yang masih berada dalam fase ‘tidak sadar’ langsung melompat menuju fase dengan seutas pertanyaan biadab ‘apakah Momo-chan seorang LGBT?’ Oh tidak!!!
Segera aku menghempaskan pelukannya seraya menelanjanginya dengan sorotan tajam bercampur takut. Apa-apaan Mina-chan ini? Apakah karena kaum pelangi sedang laris manis di pasaran maka dia juga berminat untuk melengkapi warna itu? Oh tidak, Mina-chan~ Kau terlalu cantik untuk menjadi bagian dari mereka.
“Waeyo? Kenapa kau memelukku seperti itu, eoh?” tanyaku was-was. Aku masih belum sadar sepenuhnya dari tidur singkatku barusan. Dan melihat ekspresi Mina-chan yang kini tengah merengut, aku tahu dia sedang tidak terjebak dalam Rainbow Zone. Melainkan ada sesuatu yang ia ketahui ... dan entah mengapa hal itu membuat perasaanku tersakiti.
“Nayeon-ah ...,” ujarnya pelan lalu duduk di samping bangkuku. “Aku tidak ingin memberitahumu dengan cara seperti ini, tapi ... aku juga tidak mungkin menyembunyikannya darimu. Jadi ...”
Perkataannya menggantung. Beberapa gejolak kecil di dalam sana tiba-tiba saja muncul, siap berdebum saat menerima kemungkinan terburuk sekali pun. Namun, mengapa aku tidak ingin menerimanya? Mengapa aku malah berharap bahwa sosok gadis yang ada di hadapanku sekarang hanyalah potongan dari puzzle mimpiku yang belum sempurna?
Namun semua itu kandas ketika rasa penasaraan malah mengungguli semuanya. Membuatku bertanya, meskipun aku tahu itu akan berujung duka. “Mina-chan,” ucapku pelan, “apa yang ingin kau katakan?” lanjutku, sangat hati-hati.
Sekilas gadis itu menatap ke arahku kemudian berangsur mengikuti bayangan yang terlintas di depan jendela kelas. Dan saat pandanganku ikut beralih, maka saat itu pulalah gejolak itu berhasil berdebum. Menciptakan reaksi dan letupan dahsyat yang menyesakkan ... hanya di dalam sana; di ruang kosong itu.
Sekali lagi kurasakan dua buah lengan melingkari leherku. Mina-chan, beginikah caramu menghibur seorang teman? Memeluknya dan ikut menangis bersamanya?
“Mianhe, Nayeon-ah. Seharusnya aku tidak mengenalkanmu padanya, seharusnya aku membiarkanmu menunggu saja. Aku bodoh, maafkan aku ... hiks.”
Bergeming. Aku hanya bisa termenung dengan kejadian yang kurang dari enam puluh detik tadi. Saat di mana kedua siluet itu melintas, saat di mana keduanya tersenyum satu sama lain, saat di mana jemari itu saling berkaitan. Saat-saat yang aku berharap ... jemariku lah yang mengait di sana.
Rasa perih yang sempat tertutup kini bahkan terbuka lebih lebar. Ya, aku kembali tersayat. Setelah sekian lama luka ini kutenggelamkan, kenapa dengan mudah kau malah mengapungkannya? Tak ada harganya kah usahaku selama ini? Hanya dengan enam puluh detik yang aku tidak tahu keakuratannya, semua sirna. Mimpi-mimpi itu, khayalan pangeran dan puteri dongeng itu ... ucapan selamat malam itu ... apakah semuanya hanya palsu belaka? Bahkan mawar merah yang hampir layu itu selalu kuusahakan untuk tetap tegak. Karena apa? Ya! Karena aku takut semua ini akan terjadi. Aku takut jika bunga itu layu ... maka kau akan ikut pergi.
“Mina-chan ...” suaraku terdengar parau kala menyebut namanya. “Bolehkah besok aku bolos sekolah?” Dan kala kalimat itu usai terucap, usai pula pertahananku. Remuk. Tangis itu pecah begitu saja.
***
Aku menatap nanar bunga mawar dengan kelopak yang mulai berjatuhan. Jeon Jungkook, inikah akhir dari harapanku yang bahkan belum menapaki level satu? Lagi, air mata ini meluncur begitu saja. Setelah menangis ria dengan Mina-chan di kampus tadi, entah kenapa nyeri itu masih terasa. Tak mudah bagi gadis sepertiku untuk melupakan semuanya. Kau ingat? Ya, aku hanyalah seorang gadis yang selalu berlebihan dalam hal apa pun. Dan kau lihat? Inilah aku sekarang. Hanya karena menyimpan sebuah harapan pada seorang hoobae, hatiku remuk begitu saja. Cih, kenapa harus seperti ini? Bukankah aku pernah mengalami hal serupa—dengan luka yang lebih menyakitkan? Lalu mengapa aku rapuh hanya dengan satu sayatan saja?
Bergegas aku menutup wajah dengan telapak tangan, membiarkan tangis itu menggema lagi di antara heningnya malam. Masih terpatri jelas di dalam ingatanku kala Jeon Jungkook berjalan mesra dengan hoobae-ku yang lain. Ya ... Tzuyu-chan! Dulu Mina pernah mengenalkanku pada gadis imut itu. Namun sekarang, mampukah aku untuk membencinya? Membenci Tzuyu-chan? Membenci gadis baik seperti dia?
Tidak, Nayeon-ssi! Kau terlalu naif jika harus menjadikan Tzuyu sebagai alasan atas kebencian di dalam hatimu. Tidak dan jangan lagi! Mungkin ... ya, mungkin aku yang terlalu berharap. Bukankah Jungkook termasuk orang beruntung karena bisa mendapatkan Tzuyu? Akankah dia beruntung juga jika bisa bersanding bersamaku? Hahaha ... bodoh! Kenapa kau terus mengemis agar dunia ini memihak kepadamu, Nayeon-ah! Sadarlah! Semuanya sudah jelas! Dia bukan milikku ... ya! Jungkook bukan milikku ....
Tak sampai lima menit jeritan kalbu itu menggema, tangisku tiba-tiba saja berhenti. Sebuah deritan dari ponsel berhasil membuat semuanya kembali normal dalam seketika. Namun saat isi ponsel tersebut berbicara, aku tidak yakin apakah aku masih ingin hidup esok hari. Jungkook-sii ... kenapa?
“Annyeong, nuna! Kenapa kau tidak membalas pesanku, eoh?”
Dengarlah suara itu, betapa rindu ini memekat kala dia berucap.
“Oh iya, tadi di kampus aku tidak melihatmu. Kau ke mana saja, nuna?”
Bagaimana mungkin kau bisa melihatku, sementara pandanganmu hanya tertuju pada gadis itu?
“Nuna ... aku punya berita yang sangat membahagiakan! Bagaimana kalau malam ini kita jalan-jalan? Aku akan meneraktirmu eskrim! Hehe ...”
Persetan. Bolehkah aku berkabung untuk berita itu?
“Nuna, kenapa kau tidak menjawab? Kau baik-baik saja, kan?”
Tidak, Jungkook-ssi. Aku tidak baik-baik saja. Aku sangat tidak baik-baik saja!
“Nuna?”
Sebisa mungkin aku menetralisirnya, sekuat mungkin aku menahannya, demi melontarkan sebuah kalimat, “Ne, Jungkook. Waeyo?”
“Syukurlah kau baik-baik saja. Tadinya kukira kau sedang sakit, nun.”
Aku memang sedang sakit, di dalam sana.
“Waeyo? Kenapa kau mengajakku jalan-jalan selarut ini?” tanyaku pelan, berusaha ceria ... seperti biasa.
“Aku punya berita besar, nun. Aku ingin merayakan kebahagiaan ini bersamamu. Sepuluh menit dari sekarang, oke? Aku akan menunggu di kedai eskrim langganan kita. Annyeong~”
Plip! Sambungan terputus. Aku menjauhkan alat komunikasi tersebut dari telinga. Bahkan air mata bekas tadi saja belum surut. Dan kau berencana untuk menambahnya?
Sekali lagi kutatap mawar merah yang hampir layu. Mawar itu ... hal pertama yang kau berikan padaku, apakah tak berarti apa pun?
***
“You love me, you love me not, you love me, you love me not, you love me ... you love me not, you love me ....”
Sudah hampir dua puluh menit aku terduduk di bangku halte ini. Kalimat tak berguna yang sedari tadi terucap nyatanya mampu membuat pendirianku melemah. Lagi dan lagi, kupetik kelopak kering kemerahan itu hanya demi sesuatu yang sudah pasti. Mengapa? Mengapa aku seperti ini? Berharap sebuah keajaiban untuk memutarbalikan keadaan. Mengapa? Mengapa aku sebodoh ini? Menunggu ia datang ... berharap memiliki pandangannya secara utuh; hanya untukku.
“You love me not, you love me ...” Terus seperti itu, dan saat jariku sampai di kelopak terakhir ... “you love me not.”
Selesai. Semuanya sudah jelas sekarang. Lalu apa yang masih kuharapkan? Kenapa mata ini perih? Kenapa bibir ini mengeluarkan isakkan? Kenapa ruang itu menjadi sesak? Padahal tak ada benda apa pun di dalamnya. Pedih! Ini menyakitkan!
“Nuna!”
Seseorang menyeru. Segera kuhapus air mata yang membasahi pipi. Dan saat aku menoleh, tidak salah lagi.
“Jeon Jungkook?” ucapku parau.
Tidak! Jangan menghampiriku! Tetaplah di posisimu, Jungkook-ah. Jangan membuat semuanya menjadi lebih sulit. Jangan keegoisanku kembali menjelma. Tidak dan jangan! Kumohon!
“Nuna, waeyo?”
Lihatlah bagaimana perlakuanmu. Kenapa kau menangkup pipiku? Kenapa kau melemparkan tatapan khawatir itu padaku? Kenapa?
“Nuna, kenapa kau menangis, eoh? Apakah ada orang yang mengganggumu?”
Bodoh! Jangan tanyakan apa pun! Kau malah membuat tangis ini semakin menjadi, Jungkook-ah. Bodoh!
“Nuna¾
“Jungkook-ah ... bisakah kau hentikan perhatian itu?” Meski terdengar rendahan, meski terdengar menyakitkan, izinkan aku untuk mengakhiri semuanya. Izinkan aku untuk mengubur mimpi ini, Jungkook-ah.
“Nuna ... wae? Apa yang terjadi denganmu? Bukankah kita berencana untuk makan eskrim?”
“Cih ...” entahlah, sebuah cibiran meluncur begitu saja. “Itu hanya rencanamu, Jungkook-ah. Kau selalu bertindak semaumu. Kau selalu mengekangku, menyebabkanku mau tidak mau harus menuruti segala sesuatu yang kau inginkan!” Meledak! Gejolak itu berdebum untuk yang kesekian kalinya. “Bahkan kau memaksaku untuk menerima bunga mawar itu! Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini padaku, Jungkook-ah? Kenapa kau menyemai perasaan itu tanpa ada niatan untuk menuainya?” Tercekat. Tangisku kembali pecah. Bahkan setelah mengungkapkan semuanya, rasa sakit itu tetap aja menancap.
“Nuna ... apa maksudmu? Kenapa kau ...?”
Sejenak aku larut dalam tangis. Tapi aku tahu, aku harus segera mengakhirinya. Kuatur napas ini demi meredam amarah yang terurai.
“Jungkook-ah ... pergilah,” ujarku pelan. “Jangan menemuiku lagi.”
“Nuna, kenapa kau¾
“Ini bukan sebuah permintaan,” selaku cepat, “ini sebuah perintah. Jadi tolong, menghilanglah. Berbahagialah bersamanya.” Sekuat mungkin aku mengucapkan kalimat bodoh itu, kalimat yang sebenarnya sangat tak ingin aku lontarkan. Namun, ini demi kebaikan semua. Atau mungkin ... demi kebaikanku saja?
“Jadi, kau sudah mengetahui semuanya?” tanyanya pelan.
Tentu saja, bodoh! Karena hal itulah yang menyebabkanku menjadi seperti ini!
“Pergilah, Jungkook-ah, kumohon! Jangan pedulikan aku lagi. Biarkan aku sendiri ...” Tak kuasa, bendungan air mata itu kembali tumpah. Tetapi kali ini lebih tenang.
“Nuna ...”
Aku bangkit dari duduk seraya menghapus air mata. Untuk terakhir kalinya aku menatap setiap inci wajah itu. Hidungnya, matanya, bibirnya, serta gigi kelinci yang sangat kusuka ... semua akan kuhapus begitu saja.
Seraya tersenyum getir, kulangkahkan kakiku untuk menjauhi halte. Ya, aku tidak yakin apakah aku ingin hidup untuk esok hari. Aku tidak yakin apakah aku masih memiliki kapasitas udara untuk esok hari. Aku tidak yakin! Bahkan yang lebih membuatku tidak yakin adalah ketika tangan seseorang menarikku lalu membawaku ke dalam pelukannya, membiarkan air mata itu tumpah di sana; seluruhnya. Satu hal yang aku yakin, ini bukan Jeon Jungkook. Seseorang yang merelakan dadanya untuk kutangisi ... bukanlah Jeon Jungkook.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~FIN~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Oh God ... akhirnya FF ini selesai juga^^)/
By the way, besok gue masih ada ujian inggris sama fisika. Tapi karena tangan gue gatel, terus guenya lagi baper(apa hubungannya?), jadi gini deh hasilnya>,< wkwk.. Alasan gue kenapa gue ngambil cast JungNay atau KookNay alias Nayeon sama Jungkook itu karena mereka bias gue. Tapi di sini gue sengaja gak nunjukkin Jungkook banget. Why? Karena gue punya seseorang lagi yang gue kira bakal cocok kalau dicoupelin sama Nayeon. Wkwk. Oh iya, gue juga masih bingung kalau pake nick buat author :v mening Phantom, afPhantom92, atau mening nama asli aja kayak di cerpen-cerpen? Muehehe~
Intinya semoga malam kalian menyenangkan ya~ jangan lupa put a comment below © kritik dan saran readers sangat saya butuhkan© Night~^^
Tag: FF Nayeon Twice, FF Jungkook BTS, FF Twice, FF BTS, FF Bangtan Boys, FF JungNay, FF KookNay, FF hurt-romance KookNay, FF hurt-romance JungNay

2 komentar:

Ayumi Kimihana mengatakan...

Aku kira si Jungkook cuman pura2 jadian sama Tzuyu ...
Tpi kerennn bgtt authorrr kekeke maknae couple :D

Unknown mengatakan...

annyeong Ayumi^^ kkk engga, waktu itu aku kepikirannya jungkook ceritanya emang jadian sama tzuyu^3^ gomawo untuk commentnya ayumi^^)/ *hug*

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo