Jumat, 01 April 2016

CERPEN - LITTLE LOVE FOR LITTLE SISTER



Holla guys, udah lama gue ga chitchat di blog ini. Serasa apa yaaaa? Anyway, gue punya persembahan untuk middle night ini. Yes, cerita fiksi aka cerpen aka flash fiction atau apalah kalian menyebutnya. Yang jelas, tadinya cerpen ini gue bikin buat ngikut salah satu lomba. Dikirim? Udah~~ Cuman pas beberapa hari kemudian gue buka email, ternyata ada kesalahan subjek dan naskah gue ga diterima u,u *syedih yaaa
Tapi gapapalah, itung-itung buat ngisi blog/?
Ya sudah, check it out saja :* Jangan lupa kritik dan saraannya untuk cerpen aka cerita fiksi aka flash fiction yang menurut gue hurt-romance ini yawww~
kritikan kalian sangat saya butuhkan <3
Author : Phantom
Title                 : Little Love for Little Sister
Genre              : Hurt-romance
Main Cast        : Joo Eun Hye(Ibu); Joo Kwangsoo; Joo Jisoo; Kim Nana
***
(http://3.bp.blogspot.com)
Saat tawa tak lagi indah, saat tangis tak lagi jadi penawar ... akankah kasih itu tetap datang?
Menunggu ...
Namun, semua itu aus tergerus waktu.
***
Oppa[1], kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, hm? Aku mohon, Oppa, malam ini temani aku makan ya? Ya, ya, ya?”
“Ish ....” Aku mendengus kecil saat mendengar rajukan gadis itu. Sejak pulang sekolah tadi, tidak, sejak jam istirahat tadi ia terus saja membuntutiku seraya menunjukkan aegyo[2]. Hhh ... seperti fans fanatik saja. Ups, dia menabrak tong sampah!
“Aw! Kenapa keranjang sampahnya ada di sini, sih? Apa dia tidak punya mata, hah?”
Lihatlah, sekarang dia malah terlibat sebuah perdebatan dengan tong sampah. Ya, hanya tong sampah.
“Nana-ssi ....”
Gadis itu menoleh, terlihat sebuah semburat keceriaan saat aku—untuk pertama kalinya—memanggil namanya.
Oppa memanggilku? Ya ampun, kenapa Tuhan baik sekali hari ini?” tanyanya seraya menangkup kedua pipi, konyol. “Apa Oppa? Apa yang kau inginkan, hm? Kita makan malam bersama ya malam ini? Oppa mau, kan?”
Aku menunduk sebentar seraya menghela napas. “Nana-ssi,” ujarku, “hentikan.”
Gadis bernama Nana itu terdiam. Sangat terlihat jelas sebuah tanda tanya yang terpancar dari raut wajahnya. “Hen-hentikan apa, Oppa?”
“Menyerahlah. Berhentilah melakukan semua ini, berhentilah menggangguku,” ujarku dingin, sangat dingin. “Ini hanya akan membuatmu terluka,” lanjutku tajam.
Hening. Suasana ceria yang tadi ia tunjukkan, kini berubah menjadi suara angin musim gugur yang berdesir lembut. Ya, lembut ... tapi dapat menusuk siapa pun yang terlena dengan pesonanya.
Op-oppa ... kau kenapa?”
Berusaha tegar? Cih, aku benar-benar membencinya. Sudah cukup aku menyakiti diriku dengan kebohongan ini dan jangan lagi! Kenapa dia harus menunjukkan senyum getir di saat hatinya terluka? Bodoh.
“Pulanglah.” Dingin. Kulangkahkan kaki melewati lapangan basket sekolah tanpa menoleh lagi ke arahnya. Sudah satu tahun lebih gadis itu mengeluarkan aegyo-nya hanya untukku. Namun semua itu akan berakhir hari ini, detik di mana sebuah isakkan terdengar begitu halus menerpa telingaku. Nana-ssi ... maaf.
***
“Ibu, hentikan ...! Ibu, aku mohon hentikan! Ayah ... tolong aku! Ini sakit, Ayah! Aku mohon! Tidak! Tidaaaaak ...!”
Deg. Tubuhku mengejang. Getaran hebat yang merambat berhasil membangun beberapa aliran keringat di pelipisku. Sial, desisku dalam hati. Mimpi buruk ini datang lagi. Ya, sebuah mimpi buruk yang selalu menghantuiku beberapa tahun ini. Mimpi yang kuharap tak pernah jadi kenyataan, namun kenyataanlah yang telah membuat bunga tidur ini tercipta.
Kuraih jam wekker di atas nakas. Pukul 11:02 malam. Hhh ... untung saja aku bangun. Jika aku tetap terlelap, mungkin aku akan kehilangan kerja part-time yang baru aku dapatkan dua hari yang lalu. Aku sengaja memilih bekerja sebagai di sebuah tempat hiburan. Bukan, bukannya aku ingin melihat wanita berkaki jenjang yang pandai menggoda, tetapi aku hanya memanfaatkan tawaran yang diberikan oleh pihak bar tersebut. Bekerja dari tengah malam sampai pagi namun bisa mendapat bayaran seperti karyawan-karyawan kantoran. Menakjubkan? Tentu saja. Namun hal itu tidak cukup untuk mengisi ruang hampa di dalam sini, di dalam hatiku.
Prang ...!
Suara barang pecah berhasil membuatku tersentak. Segera aku beranjak dari ranjang lalu meraih jaket yang biasa aku gunakan untuk bekerja di bar. Sebuah teriakan dari ruangan lain berhasil melenyapkan kantukku. Terimakasih, sudah membuat mimpi buruk ini terus menghantui.
Pintu terbuka, kulangkahkan kaki untuk menuju pintu keluar, melewati seonggok tubuh mungil di sudut ruang tamu dengan darah segar yang melumuri jemari kecilnya.
 “Ayah ... hiks ... sa-hiks, sakit ....”
Berhentilah kecil, berhentilah menggumamkan hal-hal yang tidak berguna. Itu tidak akan menolongmu. Jangan membuatku melangkah mundur seraya menoleh untuk ulurkan tangan. Aku tidak bisa. Aku ... aku ....
“Apa kau tidak tahu bagaimana cara membersihkan yang benar? Kenapa pecahan kaca ini masih berserakan? Lihat! Kau lihat apa yang terjadi dengan jariku? Dasar bodoh! Tidak berguna! Gadis kotor ...!”
Hentikan! Aku mohon hentikan! Kenapa wanita itu meneriakki si kecil? Kenapa wanita itu mendorong kepala si kecil? Apakah ia tidak melihat aliran darah yang keluar dari jemari mungilnya? Cih, kenapa? Kenapa pula aku harus peduli dengan drama menyedihkan yang terus berputar di dalam sini? Bukankah hal ini sesuatu yang sudah biasa? Sesuatu yang telah menjadi mimpi burukku juga?
“Hey, Kwangsoo! Mau ke mana, hah? Apa kau tahu Ibu kehabisan soju? Kenapa kau membiarkan mesin pendingin itu penuh dengan makanan kaleng busukmu?” Sebuah cercaan berhasil membuatku berhenti untuk menarik daun pintu. Apa tadi yang ia katakan? Ibu?
“Belilah minuman itu dengan uangmu sendiri.”
Brak! Sebisa mungkin, semampu mungkin aku ingin menyikapi semuanya dengan datar, dengan tenang. Namun salah. Hal itu malah membuat luka yang terpatri kini semakin menganga. Sebuah gebrakan berhasil aku lontarkan saat menutup pintu rumah. Meski bangunan itu telah tertutup, teriakan wanita penyihir, tangisan si kecil, tak bisakah teredam untuk sedetik saja?
***
Kerlap-kerlip lampu, debuman musik bervolume keras, obrolan-obrolan nakal yang terucap, sungguh ... menjijikan. Aku membuka tutup botol sampanye yang baru lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Seorang wanita tua¾dengan pakaian yang sama sekali tidak menarik¾terus saja mengedipkan matanya ke arahku. Dan kau tahu apa yang aku lakukan? Ya, aku tersenyum. Sebuah kebohongan paling sulit yang pernah aku lakukan.
Tak berapa lama kemudian, wanita itu pergi ke lantai dansa bersama seorang pria yang bahkan rambut di kepalanya pun sudah berguguran. Sebuah pikiran terlintas, betapa bodohnya kehidupan manusia. Menghabiskan uang demi mencari kesenangan. Menurutku ... itu hanya sebuah pelampiasan belaka. Bodoh.
“Bolehkah ... aku memesan?”
Suara gadis yang tak begitu jelas—karena teredam oleh musik—berhasil membuat wajahku beralih, tak lupa ... senyum palsu itu. Tak sampai satu detik senyum itu terpancar, kini sebuah gejolak di dalam rongga dada berhasil membuat semuanya sirna.
“Nana?”
“Hai, Oppa!” Lihatlah bagaimana caranya tersenyum, melambaikan tangan lalu menggaruk pelan tengkuknya. “Bolehkah aku memesan?”
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Tanyaku tajam. Sungguh, aku benar-benar kesal dengan kehadirannya, apalagi di tempat seperti ini. Apa dia tidak berpikir bahwa dia dapat menjadi sebuah objek pelampiasan oleh mereka yang bermandikan harta?
“Keluar!” bentakku seraya menarik keras pergelangan tangannya.
“Tidak, Oppa!” tolaknya. “Kenapa kau kasar sekali? Tak bisakah kau perlakukan aku seperti pelanggan yang lain?”
Getir. Kalimat itu berhasil membuatku sejenak terpaku. Namun keegoisan yang tertanam membuatku terus menarik paksa dirinya untuk keluar dari tempat ini.
Oppa, hentikan! Lepaskan tanganku!” sergahnya seraya merengek pelan.
Aku hempaskan tubuhnya saat mencapai pintu keluar bar sehingga ia terjatuh ke jalan. Lagi, perasaan getir itu muncul. Kilasan pahit masa lalu kini berlomba-lomba untuk menyesakki ruang kepalaku. Ekspresi dan jeritannya saat terjatuh ... kenapa membuatku merasa terluka?
Sebuah cairan bening terjatuh dari pelupuk matanya. Tidak! Hentikan itu semua, kumohon!
“Pergilah!” usirku pelan. “Jangan datangi tempat bodoh seperti ini!”
“Bodoh?” suara kecil yang terdengar gemetar berhasil membuat seperempat es di dalam hatiku meleleh. “Kau yang membodohi dirimu sendiri, Oppa! Kenapa kau bekerja di tempat seperti ini hanya untuk melampiaskan kebencianmu?”
Deg. Nana-ssi ... tahukah kau bahwa es di dalam sini hampir saja melaut?
“Ini semua bukan urusanmu! Pergilah!”
Aku beranjak dari tempat itu dengan langkah lebar, membiarkannya terduduk¾menangisi manusia bodoh sepertiku. Saat makian kecil itu terlontar, rasa acuh tak acuh hampir membuatku menoleh. Tidak, hal itu tidak akan terjadi. Aku tidak pernah memintanya untuk datang ke sini, bukan? Aku tidak pernah memohon sebuah kepedulian darinya.
Dengan hati yang bergemuruh, kulangkahkan kaki dengan lebih cepat. Namun sebuah keributan di ujung jalan sana membuat rasa penasaranku muncul ke permukaan. Kerumunan orang, beberapa polisi, bahkan sebuah ambulan hadir di sana.
Naluri, kini tubuhku sudah berada di antara kerumunan tersebut. Mencoba mendesak, melihat, demi mendapatkan fakta bahwa ...
“Joo Jisoo?” Tersentak, segera kuraih gadis kecil yang tergeletak di antara kerumunan. Aliran darah menganak sungai di pelipis kanannya. Gadis itu terlelap, namun bibir mungilnya terus bergetar. Gadis itu, gadis mungil itu ... Joo Jisoo! Joo Jisoo adikku!
“Kwangsoo ... Op-ppa. Ma-af. Ji-soo, ma-af.” Terbata, gadis itu berusaha memohon maaf. Tidak Jisoo-ya, aku akan memaafkanmu jika kau tidak seperti ini. Aku mohon Jisoo-ya. Bangunlah ... bukalah matamu!
Sebuah tangan tiba-tiba saja mengusap pundakku pelan. Saat aku menoleh ... “Nana-ssi?” Sial, aku menangis di hadapan Jisoo dan di hadapan gadis itu.
***
Saat tawa tak lagi indah, saat tangis tak lagi jadi penawar ... nyatanya kasih itu tak pernah datang. Di sinilah aku menunggu, mendekam di balik jeruji besi seraya menyesali semua hal yang telah terjadi. Mengukuhkan keyakinan akan hilangnya rasa pahit yang akan tergerus oleh waktu.
Jisoo-ya, apa kau merasa baik-baik saja di sana? Tak ada yang memukulmu lagi, tak ada yang menyiramkan air panas lagi, tak ada yang meneriakimu untuk membereskan pecahan kaca lagi. Semuanya telah berakhir, Jisoo-ya. Setidaknya, inilah yang bisa Oppa lakukan untukmu—menyingkirkan wanita itu dan membuatmu tersenyum di atas sana. Maafkan kakakmu ... Jisoo-ya. Maafkan aku.
~~~
Baca juga cerpen: Under An Umbrella; Apology

[1] Sebutan untuk kakak laki-laki
[2] Tindakan lucu

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo