Holla guys, udah lama gue ga chitchat di blog ini. Serasa apa yaaaa? Anyway, gue punya persembahan untuk middle night ini. Yes, cerita fiksi aka cerpen aka flash fiction atau apalah kalian menyebutnya. Yang jelas, tadinya cerpen ini gue bikin buat ngikut salah satu lomba. Dikirim? Udah~~ Cuman pas beberapa hari kemudian gue buka email, ternyata ada kesalahan subjek dan naskah gue ga diterima u,u *syedih yaaa
Tapi gapapalah, itung-itung buat ngisi blog/?
Ya sudah, check it out saja :* Jangan lupa kritik dan saraannya untuk cerpen aka cerita fiksi aka flash fiction yang menurut gue hurt-romance ini yawww~
kritikan kalian sangat saya butuhkan <3
Author : Phantom
Title :
Little Love for Little Sister
Genre : Hurt-romance
Main Cast : Joo Eun Hye(Ibu); Joo Kwangsoo; Joo
Jisoo; Kim Nana
Saat
tawa tak lagi indah, saat tangis tak lagi jadi penawar ... akankah kasih itu tetap
datang?
Menunggu
...
Namun,
semua itu aus tergerus waktu.
***
“Oppa[1],
kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, hm? Aku mohon, Oppa, malam ini
temani aku makan ya? Ya, ya, ya?”
“Ish
....” Aku mendengus kecil saat mendengar rajukan gadis itu. Sejak pulang
sekolah tadi, tidak, sejak jam istirahat tadi ia terus saja membuntutiku seraya
menunjukkan aegyo[2].
Hhh ... seperti fans fanatik saja. Ups, dia menabrak tong sampah!
“Aw!
Kenapa keranjang sampahnya ada di sini, sih? Apa dia tidak punya mata, hah?”
Lihatlah,
sekarang dia malah terlibat sebuah perdebatan dengan tong sampah. Ya, hanya
tong sampah.
“Nana-ssi
....”
Gadis
itu menoleh, terlihat sebuah semburat keceriaan saat aku—untuk pertama
kalinya—memanggil namanya.
“Oppa
memanggilku? Ya ampun, kenapa Tuhan baik sekali hari ini?” tanyanya seraya
menangkup kedua pipi, konyol. “Apa Oppa? Apa yang kau inginkan, hm? Kita
makan malam bersama ya malam ini? Oppa mau, kan?”
Aku
menunduk sebentar seraya menghela napas. “Nana-ssi,” ujarku, “hentikan.”
Gadis
bernama Nana itu terdiam. Sangat terlihat jelas sebuah tanda tanya yang
terpancar dari raut wajahnya. “Hen-hentikan apa, Oppa?”
“Menyerahlah.
Berhentilah melakukan semua ini, berhentilah menggangguku,” ujarku dingin,
sangat dingin. “Ini hanya akan membuatmu terluka,” lanjutku tajam.
Hening.
Suasana ceria yang tadi ia tunjukkan, kini berubah menjadi suara angin musim
gugur yang berdesir lembut. Ya, lembut ... tapi dapat menusuk siapa pun yang
terlena dengan pesonanya.
“Op-oppa
... kau kenapa?”
Berusaha
tegar? Cih, aku benar-benar membencinya. Sudah cukup aku menyakiti diriku
dengan kebohongan ini dan jangan lagi! Kenapa dia harus menunjukkan senyum
getir di saat hatinya terluka? Bodoh.
“Pulanglah.”
Dingin. Kulangkahkan kaki melewati lapangan basket sekolah tanpa menoleh lagi
ke arahnya. Sudah satu tahun lebih gadis itu mengeluarkan aegyo-nya
hanya untukku. Namun semua itu akan berakhir hari ini, detik di mana sebuah
isakkan terdengar begitu halus menerpa telingaku. Nana-ssi ... maaf.
***
“Ibu,
hentikan ...! Ibu, aku mohon hentikan! Ayah ... tolong aku! Ini sakit,
Ayah! Aku mohon! Tidak! Tidaaaaak ...!”
Deg.
Tubuhku mengejang. Getaran hebat yang merambat berhasil membangun beberapa
aliran keringat di pelipisku. Sial, desisku dalam hati. Mimpi buruk ini datang
lagi. Ya, sebuah mimpi buruk yang selalu menghantuiku beberapa tahun ini. Mimpi
yang kuharap tak pernah jadi kenyataan, namun kenyataanlah yang telah membuat
bunga tidur ini tercipta.
Kuraih
jam wekker di atas nakas. Pukul 11:02 malam. Hhh ... untung saja aku bangun.
Jika aku tetap terlelap, mungkin aku akan kehilangan kerja part-time
yang baru aku dapatkan dua hari yang lalu. Aku sengaja memilih bekerja sebagai
di sebuah tempat hiburan. Bukan, bukannya aku ingin melihat wanita berkaki
jenjang yang pandai menggoda, tetapi aku hanya memanfaatkan tawaran yang
diberikan oleh pihak bar tersebut. Bekerja dari tengah malam sampai pagi namun
bisa mendapat bayaran seperti karyawan-karyawan kantoran. Menakjubkan? Tentu
saja. Namun hal itu tidak cukup untuk mengisi ruang hampa di dalam sini, di
dalam hatiku.
Prang
...!
Suara
barang pecah berhasil membuatku tersentak. Segera aku beranjak dari ranjang
lalu meraih jaket yang biasa aku gunakan untuk bekerja di bar. Sebuah teriakan
dari ruangan lain berhasil melenyapkan kantukku. Terimakasih, sudah membuat
mimpi buruk ini terus menghantui.
Pintu
terbuka, kulangkahkan kaki untuk menuju pintu keluar, melewati seonggok tubuh
mungil di sudut ruang tamu dengan darah segar yang melumuri jemari kecilnya.
“Ayah ... hiks ... sa-hiks, sakit ....”
Berhentilah
kecil, berhentilah menggumamkan hal-hal yang tidak berguna. Itu tidak akan
menolongmu. Jangan membuatku melangkah mundur seraya menoleh untuk ulurkan
tangan. Aku tidak bisa. Aku ... aku ....
“Apa
kau tidak tahu bagaimana cara membersihkan yang benar? Kenapa pecahan kaca ini
masih berserakan? Lihat! Kau lihat apa yang terjadi dengan jariku? Dasar bodoh!
Tidak berguna! Gadis kotor ...!”
Hentikan!
Aku mohon hentikan! Kenapa wanita itu meneriakki si kecil? Kenapa wanita itu
mendorong kepala si kecil? Apakah ia tidak melihat aliran darah yang keluar
dari jemari mungilnya? Cih, kenapa? Kenapa pula aku harus peduli dengan drama
menyedihkan yang terus berputar di dalam sini? Bukankah hal ini sesuatu yang
sudah biasa? Sesuatu yang telah menjadi mimpi burukku juga?
“Hey,
Kwangsoo! Mau ke mana, hah? Apa kau tahu Ibu kehabisan soju? Kenapa kau
membiarkan mesin pendingin itu penuh dengan makanan kaleng busukmu?” Sebuah
cercaan berhasil membuatku berhenti untuk menarik daun pintu. Apa tadi yang ia
katakan? Ibu?
“Belilah
minuman itu dengan uangmu sendiri.”
Brak!
Sebisa mungkin, semampu mungkin aku ingin menyikapi semuanya dengan datar,
dengan tenang. Namun salah. Hal itu malah membuat luka yang terpatri kini
semakin menganga. Sebuah gebrakan berhasil aku lontarkan saat menutup pintu
rumah. Meski bangunan itu telah tertutup, teriakan wanita penyihir, tangisan si
kecil, tak bisakah teredam untuk sedetik saja?
***
Kerlap-kerlip
lampu, debuman musik bervolume keras, obrolan-obrolan nakal yang terucap,
sungguh ... menjijikan. Aku membuka tutup botol sampanye yang baru lalu
menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Seorang wanita tua¾dengan
pakaian yang sama sekali tidak menarik¾terus saja
mengedipkan matanya ke arahku. Dan kau tahu apa yang aku lakukan? Ya, aku
tersenyum. Sebuah kebohongan paling sulit yang pernah aku lakukan.
Tak
berapa lama kemudian, wanita itu pergi ke lantai dansa bersama seorang pria
yang bahkan rambut di kepalanya pun sudah berguguran. Sebuah pikiran terlintas,
betapa bodohnya kehidupan manusia. Menghabiskan uang demi mencari kesenangan.
Menurutku ... itu hanya sebuah pelampiasan belaka. Bodoh.
“Bolehkah
... aku memesan?”
Suara
gadis yang tak begitu jelas—karena teredam oleh musik—berhasil membuat wajahku
beralih, tak lupa ... senyum palsu itu. Tak sampai satu detik senyum itu
terpancar, kini sebuah gejolak di dalam rongga dada berhasil membuat semuanya
sirna.
“Nana?”
“Hai,
Oppa!” Lihatlah bagaimana caranya tersenyum, melambaikan tangan lalu
menggaruk pelan tengkuknya. “Bolehkah aku memesan?”
“Apa
yang sedang kau lakukan di sini?” Tanyaku tajam. Sungguh, aku benar-benar kesal
dengan kehadirannya, apalagi di tempat seperti ini. Apa dia tidak berpikir
bahwa dia dapat menjadi sebuah objek pelampiasan oleh mereka yang bermandikan
harta?
“Keluar!”
bentakku seraya menarik keras pergelangan tangannya.
“Tidak,
Oppa!” tolaknya. “Kenapa kau kasar sekali? Tak bisakah kau perlakukan
aku seperti pelanggan yang lain?”
Getir.
Kalimat itu berhasil membuatku sejenak terpaku. Namun keegoisan yang tertanam
membuatku terus menarik paksa dirinya untuk keluar dari tempat ini.
“Oppa,
hentikan! Lepaskan tanganku!” sergahnya seraya merengek pelan.
Aku
hempaskan tubuhnya saat mencapai pintu keluar bar sehingga ia terjatuh ke
jalan. Lagi, perasaan getir itu muncul. Kilasan pahit masa lalu kini berlomba-lomba
untuk menyesakki ruang kepalaku. Ekspresi dan jeritannya saat terjatuh ...
kenapa membuatku merasa terluka?
Sebuah
cairan bening terjatuh dari pelupuk matanya. Tidak! Hentikan itu semua,
kumohon!
“Pergilah!”
usirku pelan. “Jangan datangi tempat bodoh seperti ini!”
“Bodoh?”
suara kecil yang terdengar gemetar berhasil membuat seperempat es di dalam
hatiku meleleh. “Kau yang membodohi dirimu sendiri, Oppa! Kenapa kau
bekerja di tempat seperti ini hanya untuk melampiaskan kebencianmu?”
Deg.
Nana-ssi ... tahukah kau bahwa es di dalam sini hampir saja melaut?
“Ini
semua bukan urusanmu! Pergilah!”
Aku
beranjak dari tempat itu dengan langkah lebar, membiarkannya terduduk¾menangisi
manusia bodoh sepertiku. Saat makian kecil itu terlontar, rasa acuh tak acuh
hampir membuatku menoleh. Tidak, hal itu tidak akan terjadi. Aku tidak pernah
memintanya untuk datang ke sini, bukan? Aku tidak pernah memohon sebuah
kepedulian darinya.
Dengan
hati yang bergemuruh, kulangkahkan kaki dengan lebih cepat. Namun sebuah keributan
di ujung jalan sana membuat rasa penasaranku muncul ke permukaan. Kerumunan
orang, beberapa polisi, bahkan sebuah ambulan hadir di sana.
Naluri,
kini tubuhku sudah berada di antara kerumunan tersebut. Mencoba mendesak,
melihat, demi mendapatkan fakta bahwa ...
“Joo
Jisoo?” Tersentak, segera kuraih gadis kecil yang tergeletak di antara
kerumunan. Aliran darah menganak sungai di pelipis kanannya. Gadis itu
terlelap, namun bibir mungilnya terus bergetar. Gadis itu, gadis mungil itu ...
Joo Jisoo! Joo Jisoo adikku!
“Kwangsoo
... Op-ppa. Ma-af. Ji-soo, ma-af.” Terbata, gadis itu berusaha memohon
maaf. Tidak Jisoo-ya, aku akan memaafkanmu jika kau tidak seperti ini.
Aku mohon Jisoo-ya. Bangunlah ... bukalah matamu!
Sebuah
tangan tiba-tiba saja mengusap pundakku pelan. Saat aku menoleh ... “Nana-ssi?”
Sial, aku menangis di hadapan Jisoo dan di hadapan gadis itu.
***
Saat
tawa tak lagi indah, saat tangis tak lagi jadi penawar ... nyatanya kasih itu
tak pernah datang. Di sinilah aku menunggu, mendekam di balik jeruji besi seraya
menyesali semua hal yang telah terjadi. Mengukuhkan keyakinan akan hilangnya
rasa pahit yang akan tergerus oleh waktu.
Jisoo-ya,
apa kau merasa baik-baik saja di sana? Tak ada yang memukulmu lagi, tak ada
yang menyiramkan air panas lagi, tak ada yang meneriakimu untuk membereskan
pecahan kaca lagi. Semuanya telah berakhir, Jisoo-ya. Setidaknya, inilah
yang bisa Oppa lakukan untukmu—menyingkirkan wanita itu dan membuatmu
tersenyum di atas sana. Maafkan kakakmu ... Jisoo-ya. Maafkan
aku.
~~~
Baca juga cerpen: Under An Umbrella; Apology
Baca juga cerpen: Under An Umbrella; Apology
[1]
Sebutan untuk kakak laki-laki
[2]
Tindakan lucu
0 komentar:
Posting Komentar