Batasan
Bukan Tanpa Alasan
Oleh: Annisa
Febriyati Sari
“Kenapa ngejomblo? Gak
laku, ya ...?”
Sering sekali kudengar
candaan seperti itu di kalangan anak remaja SMP. Pun, aku adalah salah satu
korban yang mendapat pertanyaan maut seperti itu-kasihan
banget, ya! Masih terngiang jelas di telingaku, saat dulu seorang sahabat
pernah bertanya, “Cha, udah punya pacar belum?”
Karena aku memang belum
pernah pacaran, maka aku hanya menjawab pertanyaan temanku itu dengan sebuah
bunyi, “Ngiik!”.
Tapi yang membuat telingaku
seakan menyemburkan kabut asap dan membuat hidungku seakan menghembuskan napas
api adalah saat teman itu berkata, “Masa gak punya pacar? Kamu kan cantik,
Cha!”
Oke, untuk kata cantik,
mungkin aku agak sedikit tersanjung. Tapi hey, entah kenapa aku menganggap
kata-kata itu seakan meremehkanku. Otakku tiba-tiba saja mengambil sebuah
kesimpulan bahwa, “Aku cantik dan aku gak laku.” Gak enak banget, kan,
didengernya ...?
Semenjak kejadian itu,
entah kenapa keinginanku untuk mempunyai seorang pacar semakin menjadi saja.
Bukan karena aku malu akan statusku sebagai jomblo. Tapi hatiku merasa panas,
remuk, bahkan sesek kayak ditusuk-tusuk karena mereka sudah mempunyai pacar,
bahkan ada yang lebih dari dua. Setiap istirahat sekolah, pasti mereka
menceritakan tentang pacar mereka masing-masing. Lha aku? Mau nyeritain siapa
coba? Terpaksa deh jadi kambing conge. Mmmbbeee
.... Dari situlah, hatiku semakin panas dan aku mulai membuka lowongan hati
untuk siapa saja. Bahkan, untuk orang yang ‘di bawah standar’ pun hatiku tetap
terbuka.
Seiring berjalannya
waktu, pasti ada saja anak yang nembak atau apa lah namanya itu. Yang jelas,
mereka semua aku terima¾karena
niatku tadinya emang gak mau kalah sama temen-temen yang lain. Sialnya, nasib
tidak memihak kepadaku kala itu. Rata-rata, anak yang mendaftar untuk menjadi
pacarku di bawah standar semua. Jadi, hubungan yang biasa disebut sebagai
‘pacaran’ pun gak bertahan lama.
Di penghujung tahun
2012, aku mulai memfokuskan diri untuk menghadapi ujian sekolah dan
mengesampingkan yang namanya pacaran. Bahkan, aku berniat menghapus kata sakral
itu dari list kehidupan. Dan entah
jin apa yang merasuki jiwaku, tiba-tiba saja aku ingin meneruskan pendidikkan
ke sebuah pesantren. Mungkin, Allah telah memberikan sebuah hidayah. Karena di
jaman yang modern ini, jarang sekali ada anak yang ingin belajar di pesantren.
Setelah lulus dari
sekolah menengah pertama, maka aku mulai memantapkan diri untuk memakai hijab.
Pun, orang tua sangat mendukung keputusanku untuk menimba ilmu di sebuah pesantren.
Padahal tadinya aku sering rengek-rengek minta buat dijadiin artis. Eh ...,
ternyata orang tua malah nyuruh aku buat jadi artis di pesantren. Ya
mudah-mudahan lah, bisa jadi artis kayak OSD. Ckckck ....
Singkat cerita,
akhirnya aku mendekap di sebuah pondok pesantren di daerah Garut. Di sanalah
hatiku mulai dirombak ulang, sehingga awan-awan pekat yang menyelimutinya perlahan pudar. Sering kali mata ini dibuat
banjir karena mendengar tausiyah-tausiyah yang menggugah hati. Bahkan, aku
sempat menyesali diri yang terlambat dalam mendapat hidayah-Nya. Jika dulu aku
sudah mengenal pesantren, mungkin kehidupanku akan berubah cerah. Hari demi
hari diisi dengan lantunan ayat al-Qur’an, juga perilaku yang mencontoh sikap
Rosul, betapa indahnya hidup dalam naungan ridho Illahi.
Saat masuk pesantren
pula, aku baru mengerti apa itu ‘cinta’ dan bagaimana hukum pacaran. Masih
kuingat perkataan salah seorang ustadz yang menjelaskan bahwa hukum pacaran itu
adalah ‘haram’. Seperti dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 32, wa Laa
taqrobuz zinaa ... janganlah kamu mendekati zina.
Dari ayat tersebut,
ustadz pun menjelaskan bahwa pacaran adalah salah satu jalan bagi manusia untuk
melakukan zina. Mendekatinya saja tidak boleh, apalagi melakukannya. Na’udzubillahi min dzaalik ....
Dari penjelasan
tersebut, aku semakin mengerti mengapa wanita dan pria yang belum menikah tidak
boleh berada dalam satu tempat. Alasan utamanya yaitu, karena takut ada setan
yang menggoda. Kalau sudah tergoda, kan bahaya tuh. Hiyyy ....
Setelah mendengar
berbagai macam dalil, aku pun semakin menutup hati dengan yang namanya pacaran.
Apalagi saat ustadz menjelaskan tentang cinta, di mana hanya Allah-lah yang
patut kita tempatkan pada urutan pertama dalam list cinta kita. Barulah setelah itu Rosul, kemudian kedua orang
tua kita. Dan setelah itu, kita boleh menempatkan seseorang yang kita cintai.
Dengan alasan, kita mencintai orang tersebut karena Allah. Bukan karena dia
tampan atau cantik atau tajir atau apa pun lah.
Aku sering merasa malu
pada diriku sendiri, ketika ditanya, “Apakah kamu mencintai Rosul? Apakah kamu
mengidolakan Rosul?”
Dengan ringannya
mulutku menjawab “Ya” atas pertanyaan tersebut. Padahal, hatiku merasa bahwa
aku belum sepenuhnya mencintai beliau. Hatiku belum bisa mengidolakan beliau. Kenapa?
Alasan yang paling konkrit adalah karena aku belum pernah bertemu Rosul.
Seperti Allah SWT, umat manusia belum pernah melihat wajah-Nya. Tapi, dengan
segenap keteguhan dan keimanan, umat manusia berbondong-bondong memuji dan
bersujud kepada-Nya. Bukankah hal tersebut merupakan suatu bentuk kecintaan
makhluk terhadap pencipta-Nya? Kalau begitu, untuk merealisasikan rasa cinta
kepada Rosul harus bagaimana?
Dulu,
pertanyaan-pertanyaan itu melilit saraf-saraf otakku. Tapi dengan bantuan dari
salah seorang ustadz, akhirnya aku menemukan jawaban bagaimana cara kita untuk
mencintai Rosul. Yaitu, dengan meneladani cara hidup Rosul. Dari mulai
perkataan, perbuatan, bahkan akhlaq Rosul pun harus kita teladani. Setelah kita
bisa mencotoh sikap Rosul, barulah kita bisa disebut sebagai orang yang
mencintai beliau.
Semenjak mengetahui hal
itu, aku pun mengambil kesimpulan bahwa, tidak pantas aku mencintai suatu
makhluk sedangkan aku belum sepenuhnya mencintai Sang Pencipta dan Rosulnya.
Aku ingin menjadi kekasih Allah dan Rosul. Dengan begitu, aku tidak perlu
repot-repot memikirkan statusku sebagai jomblo. Karena pada hakikatnya, aku
sudah memiliki kekasih yang senantiasa memberikan Rahman dan Rahiim-Nya
kepadaku dan kepada seluruh umat.
Saat ini, aku tidak
akan pernah malu lagi dengan status jombloku. Karena apa? Karena jomblo selalu
dijauhkan dari perbuatan maksiat. Alhamdulillah
.... Jadi, berbanggalah kalian yang berstatus sebagai jomblo. Sebab, jomblo
adalah orang-orang yang terjaga. Pun, jomblo itu memiliki suatu kelebihan. Di
mana kelebihan itu adalah jomblo diberi kesempatan untuk lebih dekat dengan
Allah dan Rosul. Istimewa banget kan jadi jomblo ...!
Jadi untuk para jomblo,
jangan pernah minder dengan kesendirian kita. Karena dengan begitu, kita jadi
bisa lebih dekat dengan Allah dan Rosul. Dari pada deket-deket sama ‘calon
gebetan’ yang belum tentu jadi pendamping hidup, mending kita deket-deket sama
al-Qur’an dan al-Hadits. Hidup sendiri pun akan menjadi lebih indah bila kita
tetap berada dalam hidayah-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar