Selasa, 17 November 2015

Batasan Bukan Tanpa Alasan



Batasan Bukan Tanpa Alasan
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Kenapa ngejomblo? Gak laku, ya ...?”
Sering sekali kudengar candaan seperti itu di kalangan anak remaja SMP. Pun, aku adalah salah satu korban yang mendapat pertanyaan maut seperti itu-kasihan banget, ya! Masih terngiang jelas di telingaku, saat dulu seorang sahabat pernah bertanya, “Cha, udah punya pacar belum?”
Karena aku memang belum pernah pacaran, maka aku hanya menjawab pertanyaan temanku itu dengan sebuah bunyi, “Ngiik!”.
Tapi yang membuat telingaku seakan menyemburkan kabut asap dan membuat hidungku seakan menghembuskan napas api adalah saat teman itu berkata, “Masa gak punya pacar? Kamu kan cantik, Cha!”
Oke, untuk kata cantik, mungkin aku agak sedikit tersanjung. Tapi hey, entah kenapa aku menganggap kata-kata itu seakan meremehkanku. Otakku tiba-tiba saja mengambil sebuah kesimpulan bahwa, “Aku cantik dan aku gak laku.” Gak enak banget, kan, didengernya ...?
Semenjak kejadian itu, entah kenapa keinginanku untuk mempunyai seorang pacar semakin menjadi saja. Bukan karena aku malu akan statusku sebagai jomblo. Tapi hatiku merasa panas, remuk, bahkan sesek kayak ditusuk-tusuk karena mereka sudah mempunyai pacar, bahkan ada yang lebih dari dua. Setiap istirahat sekolah, pasti mereka menceritakan tentang pacar mereka masing-masing. Lha aku? Mau nyeritain siapa coba? Terpaksa deh jadi kambing conge. Mmmbbeee .... Dari situlah, hatiku semakin panas dan aku mulai membuka lowongan hati untuk siapa saja. Bahkan, untuk orang yang ‘di bawah standar’ pun hatiku tetap terbuka.
Seiring berjalannya waktu, pasti ada saja anak yang nembak atau apa lah namanya itu. Yang jelas, mereka semua aku terima¾karena niatku tadinya emang gak mau kalah sama temen-temen yang lain. Sialnya, nasib tidak memihak kepadaku kala itu. Rata-rata, anak yang mendaftar untuk menjadi pacarku di bawah standar semua. Jadi, hubungan yang biasa disebut sebagai ‘pacaran’ pun gak bertahan lama.
Di penghujung tahun 2012, aku mulai memfokuskan diri untuk menghadapi ujian sekolah dan mengesampingkan yang namanya pacaran. Bahkan, aku berniat menghapus kata sakral itu dari list kehidupan. Dan entah jin apa yang merasuki jiwaku, tiba-tiba saja aku ingin meneruskan pendidikkan ke sebuah pesantren. Mungkin, Allah telah memberikan sebuah hidayah. Karena di jaman yang modern ini, jarang sekali ada anak yang ingin belajar di pesantren.
Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, maka aku mulai memantapkan diri untuk memakai hijab. Pun, orang tua sangat mendukung keputusanku untuk menimba ilmu di sebuah pesantren. Padahal tadinya aku sering rengek-rengek minta buat dijadiin artis. Eh ..., ternyata orang tua malah nyuruh aku buat jadi artis di pesantren. Ya mudah-mudahan lah, bisa jadi artis kayak OSD. Ckckck ....
Singkat cerita, akhirnya aku mendekap di sebuah pondok pesantren di daerah Garut. Di sanalah hatiku mulai dirombak ulang, sehingga awan-awan pekat yang menyelimutinya  perlahan pudar. Sering kali mata ini dibuat banjir karena mendengar tausiyah-tausiyah yang menggugah hati. Bahkan, aku sempat menyesali diri yang terlambat dalam mendapat hidayah-Nya. Jika dulu aku sudah mengenal pesantren, mungkin kehidupanku akan berubah cerah. Hari demi hari diisi dengan lantunan ayat al-Qur’an, juga perilaku yang mencontoh sikap Rosul, betapa indahnya hidup dalam naungan ridho Illahi.
Saat masuk pesantren pula, aku baru mengerti apa itu ‘cinta’ dan bagaimana hukum pacaran. Masih kuingat perkataan salah seorang ustadz yang menjelaskan bahwa hukum pacaran itu adalah ‘haram’. Seperti dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 32, wa Laa taqrobuz zinaa ... janganlah kamu mendekati zina.
Dari ayat tersebut, ustadz pun menjelaskan bahwa pacaran adalah salah satu jalan bagi manusia untuk melakukan zina. Mendekatinya saja tidak boleh, apalagi melakukannya. Na’udzubillahi min dzaalik ....
Dari penjelasan tersebut, aku semakin mengerti mengapa wanita dan pria yang belum menikah tidak boleh berada dalam satu tempat. Alasan utamanya yaitu, karena takut ada setan yang menggoda. Kalau sudah tergoda, kan bahaya tuh. Hiyyy ....
Setelah mendengar berbagai macam dalil, aku pun semakin menutup hati dengan yang namanya pacaran. Apalagi saat ustadz menjelaskan tentang cinta, di mana hanya Allah-lah yang patut kita tempatkan pada urutan pertama dalam list cinta kita. Barulah setelah itu Rosul, kemudian kedua orang tua kita. Dan setelah itu, kita boleh menempatkan seseorang yang kita cintai. Dengan alasan, kita mencintai orang tersebut karena Allah. Bukan karena dia tampan atau cantik atau tajir atau apa pun lah.
Aku sering merasa malu pada diriku sendiri, ketika ditanya, “Apakah kamu mencintai Rosul? Apakah kamu mengidolakan Rosul?”
Dengan ringannya mulutku menjawab “Ya” atas pertanyaan tersebut. Padahal, hatiku merasa bahwa aku belum sepenuhnya mencintai beliau. Hatiku belum bisa mengidolakan beliau. Kenapa? Alasan yang paling konkrit adalah karena aku belum pernah bertemu Rosul. Seperti Allah SWT, umat manusia belum pernah melihat wajah-Nya. Tapi, dengan segenap keteguhan dan keimanan, umat manusia berbondong-bondong memuji dan bersujud kepada-Nya. Bukankah hal tersebut merupakan suatu bentuk kecintaan makhluk terhadap pencipta-Nya? Kalau begitu, untuk merealisasikan rasa cinta kepada Rosul harus bagaimana?
Dulu, pertanyaan-pertanyaan itu melilit saraf-saraf otakku. Tapi dengan bantuan dari salah seorang ustadz, akhirnya aku menemukan jawaban bagaimana cara kita untuk mencintai Rosul. Yaitu, dengan meneladani cara hidup Rosul. Dari mulai perkataan, perbuatan, bahkan akhlaq Rosul pun harus kita teladani. Setelah kita bisa mencotoh sikap Rosul, barulah kita bisa disebut sebagai orang yang mencintai beliau.
Semenjak mengetahui hal itu, aku pun mengambil kesimpulan bahwa, tidak pantas aku mencintai suatu makhluk sedangkan aku belum sepenuhnya mencintai Sang Pencipta dan Rosulnya. Aku ingin menjadi kekasih Allah dan Rosul. Dengan begitu, aku tidak perlu repot-repot memikirkan statusku sebagai jomblo. Karena pada hakikatnya, aku sudah memiliki kekasih yang senantiasa memberikan Rahman dan Rahiim-Nya kepadaku dan kepada seluruh umat.
Saat ini, aku tidak akan pernah malu lagi dengan status jombloku. Karena apa? Karena jomblo selalu dijauhkan dari perbuatan maksiat. Alhamdulillah .... Jadi, berbanggalah kalian yang berstatus sebagai jomblo. Sebab, jomblo adalah orang-orang yang terjaga. Pun, jomblo itu memiliki suatu kelebihan. Di mana kelebihan itu adalah jomblo diberi kesempatan untuk lebih dekat dengan Allah dan Rosul. Istimewa banget kan jadi jomblo ...!
Jadi untuk para jomblo, jangan pernah minder dengan kesendirian kita. Karena dengan begitu, kita jadi bisa lebih dekat dengan Allah dan Rosul. Dari pada deket-deket sama ‘calon gebetan’ yang belum tentu jadi pendamping hidup, mending kita deket-deket sama al-Qur’an dan al-Hadits. Hidup sendiri pun akan menjadi lebih indah bila kita tetap berada dalam hidayah-Nya.





0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo