Kembali
Oleh:
Annisa Febriyati Sari
“Anna,
stop! Anna, jangan lakukan itu! Berhenti!”
“Duh
... siapa, sih, yang teriak-teriak? Gangguin orang aja!” rutukku dalam hati.
Aku tak menggubris teriakan itu. Tanganku tetap menggenggam sebuah botol hijau,
sedang tanganku yang lain sibuk membuka tutup botolnya. Yeah, perlahan tapi
pasti, rekatan pada penutup botol itu mulai terlepas. Aku mengerahkan segala
kekuatanku untuk membuka tutup itu. Dan alhasil ... jackpot! Botol itu sudah terbuka.
Segera
aku menempelkan bibirku pada bibir botol. Segelintir cairan mulai merambahi
tenggorokanku. Ugh, kenapa rasanya semakin pahit saja? Kenapa pula rasa pahit
itu membuatku ketagihan?
“Anna,
cukup! Jangan lakukan ini lagi!”
Sial.
Jeritan itu menggema lagi. Tapi aku tak peduli. Aku tetap dengan kesibukanku¾menenggak
habis cairan yang ada di dalam botol.
“Cukup!”
Apa?
Tiba-tiba seseorang mengambil botolku! Lancang sekali dia!
“Heh,
lo! Balikin botol gue! Gue mau minum ... gue haus ...,” perintahku padanya.
Tapi God ... kenapa suaraku hanya
terdengar seperti sebuah rengekkan? Ah, mungkinkah ini efek dari minuman
tersebut? Sungguh, sekarang kepalaku pening. Dan tubuhku ... kenapa menjadi
ringan seperti ini? Aku merasa ... aku merasa ....
***
“Bangun,
An! Sudah subuh!”
Ssstt!
Berisik sekali suara itu. Aku semakin merapatkan selimut yang membalut tubuhku.
Udara terasa sangat dingin. Terlebih, mataku sangat berat hanya untuk sekedar
terbuka. Kepalaku pun masih betah untuk bersandar pada bantal. Jadi, siapa
orang yang berani-beraninya membangunkanku, huh? Apakah dia tidak bisa
membiarkanku tidur dengan tenang?
“An,
ayo bangun! Sudah jam lima!” Suara itu semakin meninggi. Dan sekarang apa? Dia
menarik-narik selimutku? Huh, menyebalkan sekali! Jika ia kedinginan, kenapa
tidak mencari selimut yang lain saja? Kenapa harus menarik-narik selimutku
segala?
“Anna!”
Grek!
Aku langsung tersentak. Ah, mataku masih sangat mengantuk.
“Apaan,
sih!” gerutuku kesal.
“Cepetan
solat! Ini udah jam lima!”
Aku menguap seraya menggosok-gosok mataku. Padanganku
masih terhalang kabut. Aku memicingkan kedua mataku, dan saat itu juga aku
langsung tersentak.
“Mia?
Kenapa kamu¾?”
“Cepetan
solat!” Mia berlalu dengan wajah ketusnya.
Aku
masih bergeming. Kenapa ada Mia di sini? Aku memerhatikan sekitar dan... astaga!
Ini bukan selimutku! Ini juga bukan kasurku dan... aku ada di mana?
***
“Aku
tahu kamu sedang sedih, An. Tapi kenapa kamu malah melakukan hal-hal seperti
itu?” Mia melontarkan pertanyaan itu padaku. Dan aku hanya menunduk. “Ini bukan
kamu, An! Ini bukan kamu!” Kini Mia menggenggam pundakku. Ah, kenapa hatiku
mendadak terenyuh?
“Dulu
kamu begitu taat. Kamu juga yang sering mengajari aku perihal agama. Tapi
kenapa sekarang...” Mia menggantungkan kalimatnya. Matanya menelitiku dari
ujung kepala hingga ujung kaki. Ah, aku semakin malu!
“Apa
yang terjadi, An? Kenapa kamu seperti ini? Kenapa?” Mia mulai terisak. Aku
mendengarnya menghela napas beberapa kali.
Aku
hanya membungkam. Lidahku seakan terlipat. Mulutku hanya bisa diam, seperti ada
lem yang menempelkannya.
“Mungkinkah...
kamu marah sama Allah?”
Hhk!
Apa? Apa katanya barusan? Aku marah?
Aku
menatap Mia lekat. Kedua bola mata itu berkaca. Ia menatapku iba. Dan aku tak
suka keadaan seperti ini! Semua ini membuatku seakan menjadi seseorang yang...
tak berdaya.
Seketika
pikiranku melayang. Menembus beberapa atmosfer ke masa lampau. Sampai akhirnya,
bayanganku berhenti pada satu lapisan bumi, tempat di mana dulu aku selalu
merasa bahagia. Ya... bahagia.
***
“Bu,
nanti takjilnya apa? Ibu bikin kolak pisang kesukaan Anna, kan?” tanyaku kepada
sang ibunda yang sedang menyulam di ruang tamu.
“Iya,
Nak. Nanti Ibu buatkan,” jawab Ibu tanpa mengalihkan pandangan dari helaian
kain wolnya.
Aku
hanya tersenyum. Adzan maghrib tinggal dua jam lagi. Argh, rasanya ingin segera
melepas dahaga ini. Mengingat kolak buatan Ibu kemarin, benar-benar membuat air
liurku berlomba untuk menetes.
“Anna!
Main, yuk...!” Aku terkesiap. Segera aku keluar menuju teras rumah. Di sana, di
balik pagar hijau, berdiri seorang gadis imut dengan kuncir dua yang menghiasi
kepalanya. Mia... ia sahabatku. Dan ialah satu-satunya teman yang kupunya.
“Mau
main apa, Mi?” tanyaku menghampiri Mia.
“Gimana
kalau kita main lompat tali? Aku baru nyusun karetnya, lho! Nih...” Mia
menunjukkan rangkaian karet yang telah tersusun rapi.
Tadinya
aku akan menyetujui, tapi... “Tapi Mi, aku lagi shaum. Aku takut shaumku batal
kalau main lompat tali.”
Alis
mata Mia terangkat. “Shaum? Apaan itu?”
“Sini,
deh. Biar aku jelasin.” Aku pun membukakan pagar untuk Mia. Kami duduk
berdampingan di teras rumah. Di sana, aku menceritakan banyak hal tentang
agama. Termasuk tentang shaum. Ya..., sedikit berlagak seperti ustadzah lah!
Dan Mia hanya bisa manggut-manggut saat mendengar ceramah absurd dariku.
***
“Kamu
menceritakan semua ilmu yang kamu punya. Kamu pun menyuruhku untuk mengenakan
jilbab,” lirih Mia. Sepasang manik matanya lurus menatapku. “Tapi sekarang...
justru kamu yang membukanya. Kamu telah membuang jilbab itu!”
“Bukan
begitu, Mia! Bukan begitu!” tangisku pecah. Tolong, jangan sudutkan aku seperti
ini.
“Lalu
apa? Bahkan kamu sudah berani menyentuh barang haram itu! Mungkin kamu tidak
akan selamat jika aku tidak menemukanmu semalam!” jerit Mia. Sebulir air mata
terjun bebas dari ceruk matanya.
Aku
menutup telingaku. Aku tahu, aku salah! Aku ingat semuanya! Tolong Mi, jangan
pojokkan aku seperti ini. Ini bukan murni kesalahanku. Ini juga kesalahan...
“Apa?
Kamu masih menganggap bahwa Allah yang salah? Kamu masih marah karena Allah
telah mengambil ibumu?”
“Cukup!”
gertakku. Rahangku mengatup keras. Kenapa Mia tega berbicara seperti itu?
Kenapa dia tega mengulik lukaku?
“An...,”
lirih Mia mencoba memelukku. Tapi aku menghindar. Aku menolak dekapannya.
Argh,
kenapa dada ini rasanya sangat sesak? Mungkinkah aku benar-benar marah pada
Tuhan? Haha. Ya, mungkin aku marah! Aku memang marah! Aku menyalahkan Tuhan
atas semua ketidakadilan ini!
Setelah
Ia mengambil ayahku, kenapa pula dengan Ibu? Kenapa Tuhan tega merenggut Ibu
dari sisiku?
Semua
ilmu, semua pengetahuan tentang agama, semangatku sebagai seorang muslimah,
semuanya datang dari Ibu. Dan sekarang? Lihat! Lihat bagaimana keadaanku!
“Jika
Allah mencintai hamba-Nya, kenapa Dia tega mengambil Ibu dariku? Kenapa Dia
tega melakukan itu?” Aku menjerit. Kebencianku tersulut kembali. Semua memori
tentang Tuhan, aku buang begitu saja. Ya, semenjak kepergian Ibu, aku melupakan
semuanya. Ini adalah bentuk pemberontakanku kepada Tuhan. Ini adalah suatu
demonstrasi! Mengapa Tuhan tega membiarkanku hidup sebatang kara? Mengapa Dia
tega membuatku hidup sendirian?
“Sst...”
Kurasakan tangan Mia memelukku dengan paksa. Ia mengusap punggungku lembut.
Sedang aku, hanya bisa tersedu dalam realita menyakitkan ini.
“Itu
adalah ujian dari Allah, An. Allah mengambil ibu kamu, karena Allah sayang sama
ibu kamu. Ibu kamu itu shalehah... Mungkin Allah sengaja menjemput ibumu lebih
dulu karena Allah ingin ibumu tidak menambah dosanya.” Mia menjelaskan seraya
terisak. “Kamu harus kuat. Allah melakukan ini, karena Allah ingin mengangkat
derajat kamu. Allah ingin kamu semakin mendekat kepada-Nya saat ia menimpakan
cobaan. Hanya itu, An. Allah hanya menginginkan itu...”
Tangisku
semakin tumpah dalam pelukan Mia. Ah, Tuhan, haruskah aku menyalahkanmu atas semua
kebodohan yang telah aku lakukan?
“Asal
kamu tahu, An. Doa anak yang shalehah itu bisa menerangi alam kubur. Kamu
menyayangi ibumu, kan?”
Tentu
saja! Aku sangat menyayangi ibuku!
“Jadilah
anak yang shalehah, An. Doakan ibumu agar ia mendapat penerangan di alam kubur
sana...”
Tubuhku
lunglai. Entah kenapa, kenangan tentang Ibu kembali hadir dalam otakku. Dan
nasihat Mia... Ibu juga pernah menceritakannya!
“Aku
tidak memaksa, An. Tapi jika aku jadi ibumu, pasti aku akan memintamu untuk
kembali meniti jalan-Nya. Maka dari itu, An... kembalilah...”
***Note: Ini cerpen absurd banget :3 bikinnya udah lama, tapi baru dipost sekarang. Leave a comment please^^ Your judgement is a gold for me^^
0 komentar:
Posting Komentar