Rabu, 18 November 2015

KEMBALI



Kembali
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Anna, stop! Anna, jangan lakukan itu! Berhenti!”
“Duh ... siapa, sih, yang teriak-teriak? Gangguin orang aja!” rutukku dalam hati. Aku tak menggubris teriakan itu. Tanganku tetap menggenggam sebuah botol hijau, sedang tanganku yang lain sibuk membuka tutup botolnya. Yeah, perlahan tapi pasti, rekatan pada penutup botol itu mulai terlepas. Aku mengerahkan segala kekuatanku untuk membuka tutup itu. Dan alhasil ... jackpot! Botol itu sudah terbuka.
Segera aku menempelkan bibirku pada bibir botol. Segelintir cairan mulai merambahi tenggorokanku. Ugh, kenapa rasanya semakin pahit saja? Kenapa pula rasa pahit itu membuatku ketagihan?
“Anna, cukup! Jangan lakukan ini lagi!”
Sial. Jeritan itu menggema lagi. Tapi aku tak peduli. Aku tetap dengan kesibukanku¾menenggak habis cairan yang ada di dalam botol.
“Cukup!”
Apa? Tiba-tiba seseorang mengambil botolku! Lancang sekali dia!
“Heh, lo! Balikin botol gue! Gue mau minum ... gue haus ...,” perintahku padanya. Tapi God ... kenapa suaraku hanya terdengar seperti sebuah rengekkan? Ah, mungkinkah ini efek dari minuman tersebut? Sungguh, sekarang kepalaku pening. Dan tubuhku ... kenapa menjadi ringan seperti ini? Aku merasa ... aku merasa ....
***
“Bangun, An! Sudah subuh!”
Ssstt! Berisik sekali suara itu. Aku semakin merapatkan selimut yang membalut tubuhku. Udara terasa sangat dingin. Terlebih, mataku sangat berat hanya untuk sekedar terbuka. Kepalaku pun masih betah untuk bersandar pada bantal. Jadi, siapa orang yang berani-beraninya membangunkanku, huh? Apakah dia tidak bisa membiarkanku tidur dengan tenang?
“An, ayo bangun! Sudah jam lima!” Suara itu semakin meninggi. Dan sekarang apa? Dia menarik-narik selimutku? Huh, menyebalkan sekali! Jika ia kedinginan, kenapa tidak mencari selimut yang lain saja? Kenapa harus menarik-narik selimutku segala?
“Anna!”
Grek! Aku langsung tersentak. Ah, mataku masih sangat mengantuk.
“Apaan, sih!” gerutuku kesal.
“Cepetan solat! Ini udah jam lima!”
 Aku menguap seraya menggosok-gosok mataku. Padanganku masih terhalang kabut. Aku memicingkan kedua mataku, dan saat itu juga aku langsung tersentak.
“Mia? Kenapa kamu¾?”
“Cepetan solat!” Mia berlalu dengan wajah ketusnya.
Aku masih bergeming. Kenapa ada Mia di sini? Aku memerhatikan sekitar dan... astaga! Ini bukan selimutku! Ini juga bukan kasurku dan... aku ada di mana?
***
“Aku tahu kamu sedang sedih, An. Tapi kenapa kamu malah melakukan hal-hal seperti itu?” Mia melontarkan pertanyaan itu padaku. Dan aku hanya menunduk. “Ini bukan kamu, An! Ini bukan kamu!” Kini Mia menggenggam pundakku. Ah, kenapa hatiku mendadak terenyuh?
“Dulu kamu begitu taat. Kamu juga yang sering mengajari aku perihal agama. Tapi kenapa sekarang...” Mia menggantungkan kalimatnya. Matanya menelitiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ah, aku semakin malu!
“Apa yang terjadi, An? Kenapa kamu seperti ini? Kenapa?” Mia mulai terisak. Aku mendengarnya menghela napas beberapa kali.
Aku hanya membungkam. Lidahku seakan terlipat. Mulutku hanya bisa diam, seperti ada lem yang menempelkannya.
“Mungkinkah... kamu marah sama Allah?”
Hhk! Apa? Apa katanya barusan? Aku marah?
Aku menatap Mia lekat. Kedua bola mata itu berkaca. Ia menatapku iba. Dan aku tak suka keadaan seperti ini! Semua ini membuatku seakan menjadi seseorang yang... tak berdaya.
Seketika pikiranku melayang. Menembus beberapa atmosfer ke masa lampau. Sampai akhirnya, bayanganku berhenti pada satu lapisan bumi, tempat di mana dulu aku selalu merasa bahagia. Ya... bahagia.
***
“Bu, nanti takjilnya apa? Ibu bikin kolak pisang kesukaan Anna, kan?” tanyaku kepada sang ibunda yang sedang menyulam di ruang tamu.
“Iya, Nak. Nanti Ibu buatkan,” jawab Ibu tanpa mengalihkan pandangan dari helaian kain wolnya.
Aku hanya tersenyum. Adzan maghrib tinggal dua jam lagi. Argh, rasanya ingin segera melepas dahaga ini. Mengingat kolak buatan Ibu kemarin, benar-benar membuat air liurku berlomba untuk menetes.
“Anna! Main, yuk...!” Aku terkesiap. Segera aku keluar menuju teras rumah. Di sana, di balik pagar hijau, berdiri seorang gadis imut dengan kuncir dua yang menghiasi kepalanya. Mia... ia sahabatku. Dan ialah satu-satunya teman yang kupunya.
“Mau main apa, Mi?” tanyaku menghampiri Mia.
“Gimana kalau kita main lompat tali? Aku baru nyusun karetnya, lho! Nih...” Mia menunjukkan rangkaian karet yang telah tersusun rapi.
Tadinya aku akan menyetujui, tapi... “Tapi Mi, aku lagi shaum. Aku takut shaumku batal kalau main lompat tali.”
Alis mata Mia terangkat. “Shaum? Apaan itu?”
“Sini, deh. Biar aku jelasin.” Aku pun membukakan pagar untuk Mia. Kami duduk berdampingan di teras rumah. Di sana, aku menceritakan banyak hal tentang agama. Termasuk tentang shaum. Ya..., sedikit berlagak seperti ustadzah lah! Dan Mia hanya bisa manggut-manggut saat mendengar ceramah absurd dariku.
***
“Kamu menceritakan semua ilmu yang kamu punya. Kamu pun menyuruhku untuk mengenakan jilbab,” lirih Mia. Sepasang manik matanya lurus menatapku. “Tapi sekarang... justru kamu yang membukanya. Kamu telah membuang jilbab itu!”
“Bukan begitu, Mia! Bukan begitu!” tangisku pecah. Tolong, jangan sudutkan aku seperti ini.
“Lalu apa? Bahkan kamu sudah berani menyentuh barang haram itu! Mungkin kamu tidak akan selamat jika aku tidak menemukanmu semalam!” jerit Mia. Sebulir air mata terjun bebas dari ceruk matanya.
Aku menutup telingaku. Aku tahu, aku salah! Aku ingat semuanya! Tolong Mi, jangan pojokkan aku seperti ini. Ini bukan murni kesalahanku. Ini juga kesalahan...
“Apa? Kamu masih menganggap bahwa Allah yang salah? Kamu masih marah karena Allah telah mengambil ibumu?”
“Cukup!” gertakku. Rahangku mengatup keras. Kenapa Mia tega berbicara seperti itu? Kenapa dia tega mengulik lukaku?
“An...,” lirih Mia mencoba memelukku. Tapi aku menghindar. Aku menolak dekapannya.
Argh, kenapa dada ini rasanya sangat sesak? Mungkinkah aku benar-benar marah pada Tuhan? Haha. Ya, mungkin aku marah! Aku memang marah! Aku menyalahkan Tuhan atas semua ketidakadilan ini!
Setelah Ia mengambil ayahku, kenapa pula dengan Ibu? Kenapa Tuhan tega merenggut Ibu dari sisiku?
Semua ilmu, semua pengetahuan tentang agama, semangatku sebagai seorang muslimah, semuanya datang dari Ibu. Dan sekarang? Lihat! Lihat bagaimana keadaanku!
“Jika Allah mencintai hamba-Nya, kenapa Dia tega mengambil Ibu dariku? Kenapa Dia tega melakukan itu?” Aku menjerit. Kebencianku tersulut kembali. Semua memori tentang Tuhan, aku buang begitu saja. Ya, semenjak kepergian Ibu, aku melupakan semuanya. Ini adalah bentuk pemberontakanku kepada Tuhan. Ini adalah suatu demonstrasi! Mengapa Tuhan tega membiarkanku hidup sebatang kara? Mengapa Dia tega membuatku hidup sendirian?
“Sst...” Kurasakan tangan Mia memelukku dengan paksa. Ia mengusap punggungku lembut. Sedang aku, hanya bisa tersedu dalam realita menyakitkan ini.
“Itu adalah ujian dari Allah, An. Allah mengambil ibu kamu, karena Allah sayang sama ibu kamu. Ibu kamu itu shalehah... Mungkin Allah sengaja menjemput ibumu lebih dulu karena Allah ingin ibumu tidak menambah dosanya.” Mia menjelaskan seraya terisak. “Kamu harus kuat. Allah melakukan ini, karena Allah ingin mengangkat derajat kamu. Allah ingin kamu semakin mendekat kepada-Nya saat ia menimpakan cobaan. Hanya itu, An. Allah hanya menginginkan itu...”
Tangisku semakin tumpah dalam pelukan Mia. Ah, Tuhan, haruskah aku menyalahkanmu atas semua kebodohan yang telah aku lakukan?
“Asal kamu tahu, An. Doa anak yang shalehah itu bisa menerangi alam kubur. Kamu menyayangi ibumu, kan?”
Tentu saja! Aku sangat menyayangi ibuku!
“Jadilah anak yang shalehah, An. Doakan ibumu agar ia mendapat penerangan di alam kubur sana...”
Tubuhku lunglai. Entah kenapa, kenangan tentang Ibu kembali hadir dalam otakku. Dan nasihat Mia... Ibu juga pernah menceritakannya!
“Aku tidak memaksa, An. Tapi jika aku jadi ibumu, pasti aku akan memintamu untuk kembali meniti jalan-Nya. Maka dari itu, An... kembalilah...”
***




Note: Ini cerpen absurd banget :3 bikinnya udah lama, tapi baru dipost sekarang. Leave a comment please^^ Your judgement is a gold for me^^ 

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo