Jejak
Tuhan
Oleh: Annisa Febriyati Sari
Coffe ...
Smoke ... Drug ...
Coffe ... Smoke ...
Drug ...
Coffe ... Smoke ...
Drug ...
Tiga
hal tersebut merupakan nyawa bagiku. Tanpa mereka, hidupku tak akan pernah
menemukan sebuah gairah. Tanpa mereka hidupku terasa hampa. Seperti
terombang-ambing di antara ombak lautan. Ya, begitulah aku tanpa benda-benda
itu.
***
“Faisal!
Faisal bangun, Nak! Hey ...!”
“Duh
... berisik!” bentakku geram. Siapa sih, yang teriak-teriak? Gangguin orang
tidur saja!
“Hey,
Nak! Ayo bangun! Kamu kesiangan sholat subuh lagi, lho!”
Suara
itu semakin keras. Benar-benar membuatku harus membuka mata. Padahal, rasa
kantuk ini masih menyelimuti. Dan aw ... mataku perih. Bagaimana bisa aku
bangun jika keadaan mataku seperti ini?
“Faisal
...! Ayo bangun ...!”
“Aduh
... iya, iya!”
Aku
langsung bangkit dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi dengan mata
tertutup. Di balik pintu, terdengar ocehan khas ibu-ibu yang membuat telingaku
sakit. Argh, selalu seperti ini. Ibu pasti akan menceramahiku habis-habisan
karena aku kesiangan lagi.
Setelah
mengambil air wudlu, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Ibu masih berada
di sana.
“Ke
mana saja kamu semalam? Kamu pulang jam berapa? Kenapa kamu hobi banget bangun
siang, sih? Sholat subuh selalu jam enam! Kapan kamu bisa suksesnya?” gerutu
Ibu yang sibuk menyibakkan gorden jendela.
Aku
hanya terdiam. Mulutku sedang malas beradu argumen dengan Ibu. Karena bagaimana
pun, ujung-ujungnya aku yang akan memenangkan debat ini.
“Kamu
itu sudah besar. Sudah sepatutnya kamu berubah disiplin. Jangan menunggu
perintah orang tua melulu! Ibu capek kalau setiap pagi harus begini. Kamu itu
kapan solehnya, sih, nak? Masa sholat aja harus disuruh! Kamu gak malu sama
Tuhan?” Ibu melanjutkan ocehannya. Dan kau tahu? Hal itu benar-benar membuatku
muak.
“Sudahlah,
Bu!” gertakku. “Memangnya Tuhan itu ada?” ujarku geram.
Ibu
terkejut. Ia hanya menatapku tanpa berkedip. Terdapat sebuah cairan bening di
sudut matanya. Tapi aku berpaling, tak peduli. Toh, kami memang sudah terbiasa
seperti ini.
Ibu
keluar dari kamarku dengan wajah datar. Aku yakin, ia tengah menahan amarah.
Tapi sisi lain dari diriku tetap memaksaku untuk bersikap egois. Akhirnya, aku
hanya berdecak dan membanting pintu kamar dengan keras. Aku menyerbu kasur, dan
kembali tidur.
***
“Sal,
entar malem ada balapan di deket perempatan. Lo join, gak?” tanya Adi, teman
seperjuanganku.
Kami
sedang nongkrong di kantin belakang kampus. Segelas kopi hitam dan satu set
permainan kartu selalu menjadi teman kami. Tak lupa, satu batang rokok selalu
terselip di daun telinga, dan satu batang lainnya mengepul di antara bibir
kami.
“Motor
gue lagi diservis. Gimana gue bisa join?” ujarku tetap fokus pada kartu.
“Ah,
elu! Biasanya juga lu nyewa sama si Hendrik!” Adi melirik Hendrik yang sedang
menyeruput kopinya.
“Apaan!
Kagak-kagak!” sergah Hendrik. “Entar motor gue bonyok, lagi, kalau disewa sama
lu!” semburnya ke arahku.
Aku
hanya menampilkan deretan gigiku yang tak lagi putih. Ya, gigiku sudah ternodai
oleh kafein dan asap rokok. Tapi itu tak apa. Yang terpenting, aku tetap bisa
merasa tenang dengan mengonsumsi mereka.
“Gimana
kalau gue minjem motor lu aja?” tanyaku kepada Adi. “Entar hadiahnya kita bagi
dua.”
“Apaan!
Kagak, ah! Gue juga pengen ikutan, kali!” ujar Adi.
Aku
meringis. Adi memang picik. Tapi aku senang bisa bersahabat dengan dia. Karena
dari kepicikannya, aku bisa mendapatkan beberapa pelajaran. Ya, pelajaran untuk
mengelabui temannya sendiri.
“Gini
aja,” aku membantingkan kartu yang tengah kupegang, “kita taruhan,” ujarku
tegas.
Adi
dan Hendrik saling bertukar pandang. Aku rasa mereka mengerti jalan pikiranku.
“Taruhan
apaan?” tanya mereka bersamaan.
“Yang
menang dalam permainan kartu ini, boleh ikut balapan. Gimana?” ujarku dengan
nada menantang. Aku tahu, teman-temanku ini tidak suka diremehkan. Alhasil ...
“Oke,
kita setuju.”
***
Malam
semakin larut. Dan saat-saat yang ditunggu pun tiba. Sederet motor balap
berjajar di belakang garis putih. Samar, kudengar teriakan dan euphoria dari
gadis-gadis jalang di pinggiran jalan. Mereka bersorak sambil menjeritkan
namaku. Ah, itu sudah biasa. Aku memang selalu menang dalam balapan motor. Dan
hal itu membuat reputasiku semakin terkenal di kalangan mereka.
Sebuah
bendera di depanku mulai telentang. Tak lama, bendera itu bergerak dan
terangkat ke udara diiringi dengan bunyi peluit¾pertanda balapan
telah dimulai.
Aku
langsung melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Ah, lebih tepatnya, ini
motor Hendrik. Aku menang dalam permainan kartu tadi sore. Dan Adi, ia ada di
peringkat ke dua. Tapi ia tak jadi ikut balapan karena tiba-tiba ia direkrut
untuk menjadi panitia balapan. Chh ... anak itu benar-benar konyol!
“FAISAL!
FAISAL!”
Masih
kudengar teriakan gadis-gadis malam itu. Argh, tapi teriakan mereka membuat
kepalaku pening. Pandangan mataku mendadak kabur. Mungkinkah ini efek dari molly yang tadi aku konsumsi?
Bodoh!
Aku tak peduli! Yang jelas, aku harus memenangkan balapan ini. Dan hadiah dari
hasil balapan akan kugunakan untuk clubing,
Yeah ... ini baru namanya hidup.
Suara
deruman motor berhasil memecah kesunyian malam. Aku meliuk-liukan motorku di
tikungan. Jarum spedometer semakin aku naikkan. Pembalap lain tidak boleh
menyusulku. Mereka harus kalah.
Saat
di tikungan yang gelap, kepalaku tiba-tiba pusing kembali. Aku memijat dahi
dengan tangan kiri, sedang tangan kananku masih setia mengatur gas. Dan ...
BUG!
Apa
itu tadi? Suara apa itu? Ah, apakah ini efek dari molly? Ya, mungkin itu efek dari molly.
***
Morninglight!
Aku berhasil memenangkan balapan itu. dan sesuai keinginanku, aku dan
teman-teman seperjuanganku menghabiskan malam ini di club. Dan sekarang, waktunya untuk pulang. Berjumpa kembali dengan
kasur empuk dan bergumul dalam selimut.
Aku
baru sampai di depan rumah. Dan kau tahu? Ini baru jam enam pagi. Tapi suasana rumahku
begitu ramai. Ada acara apa? Syukuran lagi? Argh, benar-benar mengganggu.
Aku
melangkah malas ke dalam rumah. Baru saja sebelah kaki ini berpijak di lantai
ruang tamu, berpasang-pasang mata tiba-tiba langsung tertuju ke arahku. Siapa
mereka semua? Kenapa mereka ada di sini?
“Faisal!”
terdengar sebuah bentakan di antara mereka.
Saat
aku menyipitkan mata ... “Ayah?” ujarku heran. “Ngapain di sini? Mereka semua
juga ngapain ada di sini?”
Plak!
Entah kapan Ayah menghampiriku, yang jelas sebuah tamparan panas berhasil
mendarat di pipiku.
“Apa-apaan,
sih, Yah!” gertakku tak terima. Aku merasa telah dipermalukan di depan
orang-orang ini.
“Kamu
yang apa-apaan! Dari mana saja kamu?” bentak Ayah, ia mengendus-endus bajuku.
“Bau
alkohol. Kamu ... datang ke tempat haram itu?” tanya Ayah dengan suara lantang.
Ah,
aku benar-benar tidak suka berada di posisi ini.
“Jawab,
Faisal!” bentak Ayah lagi. Kini kedua tangannya mencengkeram kerah bajuku.
Aku
hanya mengangguk tak peduli.
Tak
lama, cengkeraman Ayah mengendur. Tatapan matanya nanar. Setitik air mata
berhasil menetesi pipi keriputnya.
“Dasar
anak bodoh! Ibu kamu meninggal dan kamu hanya bersenang-senang? Anak macam apa
kamu? Dasar tidak berguna! Pergi kamu dari sini! Jangan pernah kembali lagi!”
Ayah
membantingkan tubuhku keluar pintu hingga aku tersungkur di depan teras. Lalu
ia kembali menutup pintu dengan amarah yang meletup.
Aku
meringis kesakitan. Benar-benar tua bangka. Apa maksudnya dia ... tunggu! Ibu
meninggal?
“Ibu
....”
Aku
langsung menyambar gagang pintu dan mendobraknya. Apa yang baru saja kudengar?
Ibu meninggal? Ya Tuhan, benarkah semua ini? Kenapa Ibu ... argh ...!
“Ayah,
buka pintunya! Buka pintunya, Yah!” teriakku lantang.
Jantungku
berdegup tak karuan. Kepalaku semakin pening. Ah, ada apa dengan diriku? Kenapa
dada ini begitu sesak? Dan apa ini? Mataku panas! Kenapa aku menangis?
Aku
kembali menggedor pintu. Tapi tak ada respon. Ayah benar-benar marah padaku.
Dengan
langkah berat dan air mata yang tak bisa terbendung, aku pergi. Ayah tak mau
menerimaku lagi. Dan Ibu ... kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?
***
Ini
adalah hari kedua setelah pemakaman Ibu. Dan aku baru bisa berziarah ke makam
beliau pada hari ini. Karena aku tahu, aku akan dikeroyok massa jika aku
berziarah pada hari kemarin.
“Ibu
...” Aku meletakkan setangkai bunga lily kesukaan Ibu di atas makam. Kepalaku
mulai menunduk. Ingin sekali aku memunajatkan doa. Tapi ... aku malu.
Air
mataku kembali luruh saat mengingat perangai burukku terhadap Ibu. Argh, Ibu ...
tak bisakah waktu terulang kembali?
“Kamu itu sudah besar.
Sudah sepatutnya kamu berubah disiplin. Jangan menunggu perintah orang tua
melulu! Ibu capek kalau setiap pagi harus begini. Kamu itu kapan solehnya, sih,
nak? Masa sholat aja harus disuruh! Kamu gak malu sama Tuhan?”
Deg.
Perkataan Ibu tempo lalu kembali mendengung di telingaku. Membuat dadaku
kembali sesak. Napasku berat. Dan lagi ... air mataku jatuh semakin deras.
Aku
mendekap nisan Ibu kuat-kuat. Ingin sekali aku meminta maaf. Tapi, masihkah
maafku diterima?
Aku
hanya menangis dan terus menangis. Entah berapa lama. Yang jelas, hingga air
mata ini surut pun, sebuah penyesalan tetap akan menjadi penyesalan.
***
Aku
berjalan gontai di pinggir trotoar. Ternyata aku telah membuang banyak waktuku
di pemakaman Ibu. Tapi kali ini aku tak menyesalinya. Aku bahagia karena bisa
bertemu Ibu, walau kini kami telah berbeda alam.
“Eh,
Jeng. Tahu, gak? Katanya Bu Samirah itu ketabrak sama anaknya sendiri!”
“Hah?
Masa, sih, Jeng? Mana mungkin, ah!”
“Eh,
iya, Jeng! Tukang bajigur tuh saksinya. Waktu itu Bu Samirah turun ke jalan
gara-gara nyariin anaknya yang gak pulang-pulang. Eh, ternyata anaknya lagi
balapan motor dan nabrak Bu Samirah. Tega banget ya, tuh anak!”
Apa?
Apa yang tadi kudengar? Ibu meninggal ... gara-gara aku?
BUG!
Apa itu tadi? Suara apa
itu? Ah, apakah ini efek dari molly? Ya, mungkin itu efek dari molly.
Aku
ingat! Aku menabrak sesuatu saat balapan. Dan aku hanya menganggap itu adalah
efek dari obat yang aku konsumsi?
Argh!
Benar-benar bodoh! Kenapa ini semua harus terjadi? Ibu ... maafkan aku, Bu.
Maafkan anakmu yang durhaka ini. Maaf ...!
Seperti
dihujam belati, hatiku benar-benar terluka. Bagaimana mungkin aku adalah
penyebab dari kematian ibuku? Mungkinkah ini adalah suatu hukuman dari-Mu,
Tuhan?
“Kamu itu sudah besar.
Sudah sepatutnya kamu berubah disiplin. Jangan menunggu perintah orang tua
melulu! Ibu capek kalau setiap pagi harus begini. Kamu itu kapan solehnya, sih,
nak? Masa sholat aja harus disuruh! Kamu gak malu sama Tuhan?”
“Sudahlah, Bu.
Memangnya Tuhan itu ada?”
Benar.
Ini hukuman dari Tuhan. Ini peringatan dari Tuhan!
Tuhan
... maafkan aku! Aku dzalim! Aku telah meragukan kehadiran-Mu!
Telah
banyak perbuatan haram yang aku lakukan. Dan Kau memperingatkanku dengan ini?
Dengan kematian ibuku? Dan itu semua karena kedzalimanku?
Tuhan
... maafkan aku. Maafkan aku yang selalu melupakanmu. Maafkan aku yang sudah
terbuai dalam nikmat dunia. Maaf Tuhan .... Tolong beri aku satu kesempatan
lagi untuk memperbaiki semuanya. Biarkanlah aku berubah menjadi anak shaleh
yang selalu Ibu idam-idamkan. Biarkanlah aku menebus semua dosa, Tuhan ....
Jangan
lupakan aku lagi, Tuhan. Jangan campakan aku! Jangan biarkan aku terjerumus
kembali dalam lubang kemaksiatan. Biarkanlah aku kembali. Meniti setiap
jalan-Mu Wahai Sang Illahi. Biarkanlah diri ini bertaubat, agar bisa bersanding
dengan sang ibunda di surga-Mu nanti.
Note: Ini bikinnya juga udah lama. So, leave your comment juseyoooo~^^
0 komentar:
Posting Komentar