Rabu, 18 November 2015

JEJAK TUHAN



Jejak Tuhan
Oleh: Annisa Febriyati Sari
 Coffe ... Smoke ... Drug ...
Coffe ... Smoke ... Drug ...
Coffe ... Smoke ... Drug ...
Tiga hal tersebut merupakan nyawa bagiku. Tanpa mereka, hidupku tak akan pernah menemukan sebuah gairah. Tanpa mereka hidupku terasa hampa. Seperti terombang-ambing di antara ombak lautan. Ya, begitulah aku tanpa benda-benda itu.
***
“Faisal! Faisal bangun, Nak! Hey ...!”
“Duh ... berisik!” bentakku geram. Siapa sih, yang teriak-teriak? Gangguin orang tidur saja!
“Hey, Nak! Ayo bangun! Kamu kesiangan sholat subuh lagi, lho!”
Suara itu semakin keras. Benar-benar membuatku harus membuka mata. Padahal, rasa kantuk ini masih menyelimuti. Dan aw ... mataku perih. Bagaimana bisa aku bangun jika keadaan mataku seperti ini?
“Faisal ...! Ayo bangun ...!”
“Aduh ... iya, iya!”
Aku langsung bangkit dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi dengan mata tertutup. Di balik pintu, terdengar ocehan khas ibu-ibu yang membuat telingaku sakit. Argh, selalu seperti ini. Ibu pasti akan menceramahiku habis-habisan karena aku kesiangan lagi.
Setelah mengambil air wudlu, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Ibu masih berada di sana.
“Ke mana saja kamu semalam? Kamu pulang jam berapa? Kenapa kamu hobi banget bangun siang, sih? Sholat subuh selalu jam enam! Kapan kamu bisa suksesnya?” gerutu Ibu yang sibuk menyibakkan gorden jendela.
Aku hanya terdiam. Mulutku sedang malas beradu argumen dengan Ibu. Karena bagaimana pun, ujung-ujungnya aku yang akan memenangkan debat ini.
“Kamu itu sudah besar. Sudah sepatutnya kamu berubah disiplin. Jangan menunggu perintah orang tua melulu! Ibu capek kalau setiap pagi harus begini. Kamu itu kapan solehnya, sih, nak? Masa sholat aja harus disuruh! Kamu gak malu sama Tuhan?” Ibu melanjutkan ocehannya. Dan kau tahu? Hal itu benar-benar membuatku muak.
“Sudahlah, Bu!” gertakku. “Memangnya Tuhan itu ada?” ujarku geram.
Ibu terkejut. Ia hanya menatapku tanpa berkedip. Terdapat sebuah cairan bening di sudut matanya. Tapi aku berpaling, tak peduli. Toh, kami memang sudah terbiasa seperti ini.
Ibu keluar dari kamarku dengan wajah datar. Aku yakin, ia tengah menahan amarah. Tapi sisi lain dari diriku tetap memaksaku untuk bersikap egois. Akhirnya, aku hanya berdecak dan membanting pintu kamar dengan keras. Aku menyerbu kasur, dan kembali tidur.
***
“Sal, entar malem ada balapan di deket perempatan. Lo join, gak?” tanya Adi, teman seperjuanganku.
Kami sedang nongkrong di kantin belakang kampus. Segelas kopi hitam dan satu set permainan kartu selalu menjadi teman kami. Tak lupa, satu batang rokok selalu terselip di daun telinga, dan satu batang lainnya mengepul di antara bibir kami.
“Motor gue lagi diservis. Gimana gue bisa join?” ujarku tetap fokus pada kartu.
“Ah, elu! Biasanya juga lu nyewa sama si Hendrik!” Adi melirik Hendrik yang sedang menyeruput kopinya.
“Apaan! Kagak-kagak!” sergah Hendrik. “Entar motor gue bonyok, lagi, kalau disewa sama lu!” semburnya ke arahku.
Aku hanya menampilkan deretan gigiku yang tak lagi putih. Ya, gigiku sudah ternodai oleh kafein dan asap rokok. Tapi itu tak apa. Yang terpenting, aku tetap bisa merasa tenang dengan mengonsumsi mereka.
“Gimana kalau gue minjem motor lu aja?” tanyaku kepada Adi. “Entar hadiahnya kita bagi dua.”
“Apaan! Kagak, ah! Gue juga pengen ikutan, kali!” ujar Adi.
Aku meringis. Adi memang picik. Tapi aku senang bisa bersahabat dengan dia. Karena dari kepicikannya, aku bisa mendapatkan beberapa pelajaran. Ya, pelajaran untuk mengelabui temannya sendiri.
“Gini aja,” aku membantingkan kartu yang tengah kupegang, “kita taruhan,” ujarku tegas.
Adi dan Hendrik saling bertukar pandang. Aku rasa mereka mengerti jalan pikiranku.
“Taruhan apaan?” tanya mereka bersamaan.
“Yang menang dalam permainan kartu ini, boleh ikut balapan. Gimana?” ujarku dengan nada menantang. Aku tahu, teman-temanku ini tidak suka diremehkan. Alhasil ...
“Oke, kita setuju.”
***
Malam semakin larut. Dan saat-saat yang ditunggu pun tiba. Sederet motor balap berjajar di belakang garis putih. Samar, kudengar teriakan dan euphoria dari gadis-gadis jalang di pinggiran jalan. Mereka bersorak sambil menjeritkan namaku. Ah, itu sudah biasa. Aku memang selalu menang dalam balapan motor. Dan hal itu membuat reputasiku semakin terkenal di kalangan mereka.
Sebuah bendera di depanku mulai telentang. Tak lama, bendera itu bergerak dan terangkat ke udara diiringi dengan bunyi peluit¾pertanda balapan telah dimulai.
Aku langsung melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Ah, lebih tepatnya, ini motor Hendrik. Aku menang dalam permainan kartu tadi sore. Dan Adi, ia ada di peringkat ke dua. Tapi ia tak jadi ikut balapan karena tiba-tiba ia direkrut untuk menjadi panitia balapan. Chh ... anak itu benar-benar konyol!
“FAISAL! FAISAL!”
Masih kudengar teriakan gadis-gadis malam itu. Argh, tapi teriakan mereka membuat kepalaku pening. Pandangan mataku mendadak kabur. Mungkinkah ini efek dari molly yang tadi aku konsumsi?
Bodoh! Aku tak peduli! Yang jelas, aku harus memenangkan balapan ini. Dan hadiah dari hasil balapan akan kugunakan untuk clubing, Yeah ... ini baru namanya hidup.
Suara deruman motor berhasil memecah kesunyian malam. Aku meliuk-liukan motorku di tikungan. Jarum spedometer semakin aku naikkan. Pembalap lain tidak boleh menyusulku. Mereka harus kalah.
Saat di tikungan yang gelap, kepalaku tiba-tiba pusing kembali. Aku memijat dahi dengan tangan kiri, sedang tangan kananku masih setia mengatur gas. Dan ... BUG!
Apa itu tadi? Suara apa itu? Ah, apakah ini efek dari molly? Ya, mungkin itu efek dari molly.
***
Morninglight! Aku berhasil memenangkan balapan itu. dan sesuai keinginanku, aku dan teman-teman seperjuanganku menghabiskan malam ini di club. Dan sekarang, waktunya untuk pulang. Berjumpa kembali dengan kasur empuk dan bergumul dalam selimut.
Aku baru sampai di depan rumah. Dan kau tahu? Ini baru jam enam pagi. Tapi suasana rumahku begitu ramai. Ada acara apa? Syukuran lagi? Argh, benar-benar mengganggu.
Aku melangkah malas ke dalam rumah. Baru saja sebelah kaki ini berpijak di lantai ruang tamu, berpasang-pasang mata tiba-tiba langsung tertuju ke arahku. Siapa mereka semua? Kenapa mereka ada di sini?
“Faisal!” terdengar sebuah bentakan di antara mereka.
Saat aku menyipitkan mata ... “Ayah?” ujarku heran. “Ngapain di sini? Mereka semua juga ngapain ada di sini?”
Plak! Entah kapan Ayah menghampiriku, yang jelas sebuah tamparan panas berhasil mendarat di pipiku.
“Apa-apaan, sih, Yah!” gertakku tak terima. Aku merasa telah dipermalukan di depan orang-orang ini.
“Kamu yang apa-apaan! Dari mana saja kamu?” bentak Ayah, ia mengendus-endus bajuku.
“Bau alkohol. Kamu ... datang ke tempat haram itu?” tanya Ayah dengan suara lantang.
Ah, aku benar-benar tidak suka berada di posisi ini.
“Jawab, Faisal!” bentak Ayah lagi. Kini kedua tangannya mencengkeram kerah bajuku.
Aku hanya mengangguk tak peduli.
Tak lama, cengkeraman Ayah mengendur. Tatapan matanya nanar. Setitik air mata berhasil menetesi pipi keriputnya.
“Dasar anak bodoh! Ibu kamu meninggal dan kamu hanya bersenang-senang? Anak macam apa kamu? Dasar tidak berguna! Pergi kamu dari sini! Jangan pernah kembali lagi!”
Ayah membantingkan tubuhku keluar pintu hingga aku tersungkur di depan teras. Lalu ia kembali menutup pintu dengan amarah yang meletup.
Aku meringis kesakitan. Benar-benar tua bangka. Apa maksudnya dia ... tunggu! Ibu meninggal?
“Ibu ....”
Aku langsung menyambar gagang pintu dan mendobraknya. Apa yang baru saja kudengar? Ibu meninggal? Ya Tuhan, benarkah semua ini? Kenapa Ibu ... argh ...!
“Ayah, buka pintunya! Buka pintunya, Yah!” teriakku lantang.
Jantungku berdegup tak karuan. Kepalaku semakin pening. Ah, ada apa dengan diriku? Kenapa dada ini begitu sesak? Dan apa ini? Mataku panas! Kenapa aku menangis?
Aku kembali menggedor pintu. Tapi tak ada respon. Ayah benar-benar marah padaku.
Dengan langkah berat dan air mata yang tak bisa terbendung, aku pergi. Ayah tak mau menerimaku lagi. Dan Ibu ... kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?
***
Ini adalah hari kedua setelah pemakaman Ibu. Dan aku baru bisa berziarah ke makam beliau pada hari ini. Karena aku tahu, aku akan dikeroyok massa jika aku berziarah pada hari kemarin.
“Ibu ...” Aku meletakkan setangkai bunga lily kesukaan Ibu di atas makam. Kepalaku mulai menunduk. Ingin sekali aku memunajatkan doa. Tapi ... aku malu.
Air mataku kembali luruh saat mengingat perangai burukku terhadap Ibu. Argh, Ibu ... tak bisakah waktu terulang kembali?
“Kamu itu sudah besar. Sudah sepatutnya kamu berubah disiplin. Jangan menunggu perintah orang tua melulu! Ibu capek kalau setiap pagi harus begini. Kamu itu kapan solehnya, sih, nak? Masa sholat aja harus disuruh! Kamu gak malu sama Tuhan?”
Deg. Perkataan Ibu tempo lalu kembali mendengung di telingaku. Membuat dadaku kembali sesak. Napasku berat. Dan lagi ... air mataku jatuh semakin deras.
Aku mendekap nisan Ibu kuat-kuat. Ingin sekali aku meminta maaf. Tapi, masihkah maafku diterima?
Aku hanya menangis dan terus menangis. Entah berapa lama. Yang jelas, hingga air mata ini surut pun, sebuah penyesalan tetap akan menjadi penyesalan.
***
Aku berjalan gontai di pinggir trotoar. Ternyata aku telah membuang banyak waktuku di pemakaman Ibu. Tapi kali ini aku tak menyesalinya. Aku bahagia karena bisa bertemu Ibu, walau kini kami telah berbeda alam.
“Eh, Jeng. Tahu, gak? Katanya Bu Samirah itu ketabrak sama anaknya sendiri!”
“Hah? Masa, sih, Jeng? Mana mungkin, ah!”
“Eh, iya, Jeng! Tukang bajigur tuh saksinya. Waktu itu Bu Samirah turun ke jalan gara-gara nyariin anaknya yang gak pulang-pulang. Eh, ternyata anaknya lagi balapan motor dan nabrak Bu Samirah. Tega banget ya, tuh anak!”
Apa? Apa yang tadi kudengar? Ibu meninggal ... gara-gara aku?
BUG!
Apa itu tadi? Suara apa itu? Ah, apakah ini efek dari molly? Ya, mungkin itu efek dari molly.
Aku ingat! Aku menabrak sesuatu saat balapan. Dan aku hanya menganggap itu adalah efek dari obat yang aku konsumsi?
Argh! Benar-benar bodoh! Kenapa ini semua harus terjadi? Ibu ... maafkan aku, Bu. Maafkan anakmu yang durhaka ini. Maaf ...!
Seperti dihujam belati, hatiku benar-benar terluka. Bagaimana mungkin aku adalah penyebab dari kematian ibuku? Mungkinkah ini adalah suatu hukuman dari-Mu, Tuhan?
“Kamu itu sudah besar. Sudah sepatutnya kamu berubah disiplin. Jangan menunggu perintah orang tua melulu! Ibu capek kalau setiap pagi harus begini. Kamu itu kapan solehnya, sih, nak? Masa sholat aja harus disuruh! Kamu gak malu sama Tuhan?”
“Sudahlah, Bu. Memangnya Tuhan itu ada?”
Benar. Ini hukuman dari Tuhan. Ini peringatan dari Tuhan!
Tuhan ... maafkan aku! Aku dzalim! Aku telah meragukan kehadiran-Mu!
Telah banyak perbuatan haram yang aku lakukan. Dan Kau memperingatkanku dengan ini? Dengan kematian ibuku? Dan itu semua karena kedzalimanku?
Tuhan ... maafkan aku. Maafkan aku yang selalu melupakanmu. Maafkan aku yang sudah terbuai dalam nikmat dunia. Maaf Tuhan .... Tolong beri aku satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Biarkanlah aku berubah menjadi anak shaleh yang selalu Ibu idam-idamkan. Biarkanlah aku menebus semua dosa, Tuhan ....
Jangan lupakan aku lagi, Tuhan. Jangan campakan aku! Jangan biarkan aku terjerumus kembali dalam lubang kemaksiatan. Biarkanlah aku kembali. Meniti setiap jalan-Mu Wahai Sang Illahi. Biarkanlah diri ini bertaubat, agar bisa bersanding dengan sang ibunda di surga-Mu nanti.



Note: Ini bikinnya juga udah lama. So, leave your comment juseyoooo~^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo