Gadis 14 Hari
Oleh:
Annisa Febriyati Sari
“Ndre,
lo jadian sama Karissa? Yang bener aja lo!”
“Wah,
wah ... pasti elo pake pelet! Iya, kan?”
“Gue
gak nyangka si Andre bisa dapetin Karissa! Mana baru empat hari, lagi!”
Aku
terkekeh saat mendengar ocehan teman-teman sekelasku. Sambil tersenyum angkuh,
aku menengadahkan daguku seraya menagih janji mereka semua.
“Ya
iyalah! Pesona Andre dilawan!” ujarku terkekeh. “Sekarang, serahin duit
kalian!”
Kulihat
berbagai ekspresi kesal yang terpancar dari wajah mereka. Dengan ogah-ogahan,
Hendra pun mengeluarkan jatah jajannya hari ini kepadaku. Disusul oleh Rio dan
Irvan yang juga menyerahkan seluruh uang jajan mereka dengan wajah tertekuk.
Haha, mereka begitu lucu! Mati di dalam medan perang sendiri!
Yep!
Kami memang melakukan sebuah taruhan. Lebih tepatnya, Hendra lah yang pertama
kali mengusulkan untuk taruhan. Tadinya aku tak memiliki niat untuk melakukan
hal konyol itu. Karena pribadiku yang sudah menginjak tujuh belas tahun ini, beranggapan
bahwa itu hanyalah permainan anak kecil. Tapi desakkan Hendra dan yang lainnya
membuatku mau tak mau harus mengikuti permainan ini. Apalagi dengan ketentuan
tadi. Jatah uang sekolah mereka terpaksa harus dijarah oleh si pemenang. Dan
pemenang itu adalah ... Andrean Simamora! Playboy
terkenal di seantero sekolah. Haha.
“Eh,
by the way ...,” Rio duduk di atas
meja dengan kaki yang terangkat, “gimana caranya lo bisa nembak si Karissa?
Mana langsung diterima, lagi!” ujarnya ketus.
“Hooh!”
timpal Hendra menyetujui. “Padahal pas gue nyoba buat pedekate sama dia, tuh
cewek cuek-cuek aja!”
“Ke
gue juga sama! Si Karissa tertutup banget, bro!” balas Irvan dengan tatapan
serius. “Malahan gue bingung kenapa dia bisa nerima elo. Elo kan suka mainin
cewek, Ndre!”
Aku
kembali menyunggingkan senyuman meledek kepada mereka. “Udah gue bilang, pesona
Andre itu gak bisa dilawan! Cewek kayak Karissa mah, tanpa dikasih umpan juga udah nyamber duluan! Haha,” ujarku
masih dengan nada angkuh yang disambut dengan dengusan kesal dari mereka
bertiga.
“Tapi,
Ndre, setelah dua minggu lo bakal ninggalin dia, kan? Sesuai perjanjian kita,”
tanya Hendra dengan nada pelan. Lagi-lagi aku terkekeh dibuatnya.
“Ya
iyalah! Emang kenapa? Lo mau nembak dia, ya?”
Kulihat
semburat merah mulai merambahi pipi Hendra.
“Hahaha
... banci lo!” ledek Rio sambil menepuk-nepuk kepala sahabatnya.
“Tenang
aja, Ndra. Gue bakal tepatin janji gue, kok!” ujarku seraya tersenyum pada
Hendra. Cowok dengan kacamata minus dua itu hanya menunjukkan deretan giginya.
Well,
aku memang akan menepati janji—taruhan—ini. Nembak Karissa, dapet uang jajan
tambahan selama dua minggu, plus mutusin Karissa tepat pada hari ke empat
belas. Terdengar sadis memang. Tapi itu adalah cikal bakal dari pikiran picik
Hendra. Bagiku, membuat gadis jatuh cinta lalu meninggalkannya adalah hal yang
biasa. Terlalu mainstream malah. Dan
menangkap gadis polos seperti Karissa rasanya terlalu mudah!
Bayangkan
saja, di hari pertama aku sudah berhasil mengajaknya pulang bersama. Begitu pun
di hari-hari berikutnya, Karissa semakin memberikan akses bagiku untuk bisa
menaklukannya. Dan hal itu terjadi! Aku berhasil mendapatkan Karissa di hari ke
empat, tepat pukul tiga sore di tengah-tengah lapangan basket. Aku tidak
menyangka akan mendapatkan gadis lugu itu dengan mudah. Dan tahu apa jawaban
yang keluar dari mulutnya tempo hari?
“Sebenarnya aku juga
menyukai Kakak, sudah sejak lama ....”
Aku
tidak tahu dan tidak peduli sejak kapan dia mulai menyukaiku. Karena yang ada
di dalam pikiranku kala itu adalah ... aku berhasil memenangkan taruhan dan
akan mendapatkan uang tambahan.
***
Jam
pelajaran telah berakhir. Aku segera melangkahkan kakiku keluar kelas dan
bergegas menuju tempat parkiran. Sambil bersiul kecil, aku mulai menaikki motor
matic merah pemberian ayahku.
“Kak
Andre!” Seseorang menyeru. Dengan sedikit kesal, aku pun mendelikkan mataku ke
sumber suara. Dan betapa kagetnya aku saat mendapati Karissa tengah tersenyum
cerah ke arahku.
“E-eh,
Rissa! Yuk pulang bareng!” ujarku kaku.
Dengan
langkah riang, gadis itu beranjak menghampiriku. Tak seperti biasanya.
“Kak,
anterin Rissa ke suatu tempat, ya! Rissa bete ...!” ujarnya manja.
Aku
sedikit tersentak. Demi apa! Ini bukanlah Rissa yang kukenal saat pertama kali
pedekate. Gadis itu cenderung tertutup dan antisosial. Tapi sekarang? Lihat
bagaimana dia memasang puppy eyes-nya
di depanku? Haha, Andre memang penakluk wanita!
“Hmm
... oke! Emang kamu mau ke mana?” jawabku dengan nada manis.
“Rahasia,
dong! Nanti juga Kakak bakal tahu!” ujarnya seraya duduk di boncenganku.
Aku
sedikit tersenyum. Gadis ini memang lucu!
***
Sudah
tiga belas hari aku menjadikan Rissa sebagai objek penderita. Dan semuanya
baik-baik saja. Dalam hari-hari itu, Rissa mulai menunjukkan siapa dirinya.
Gadis dengan rambut indah sebahu itu ternyata asyik untuk diajak bicara, manja,
dan penuh dengan keceriaan. Tapi yang membuatku aneh adalah kenapa dia hanya
bertingkah seperti itu di hadapanku? Sedangkan di depan teman-temanku yang
lain, ia kembali menjadi Karissa yang pendiam dan tertutup.
“Kak
Andre!” Ah ... suara itu, pasti Karissa.
Aku
menolehkan kepala dan mendapatinya sedang berlari kecil ke arahku.
“Mau
ke kebun mawar lagi?” tanyaku seraya mengusap kepalanya pelan. Gadis itu
mengangguk. Aku pun bergegas mengeluarkan motorku dari tempat parkir kemudian
membawa Karissa di belakangku. Seperti biasa, gadis itu akan melingkarkan kedua
tangannya di perutku seraya berbisik, “aku sayang Kakak.”
***
“Kak,
tahu apa yang Rissa suka dari tempat ini?” Karissa menatap lekat ke arahku.
Canggung, aku pun hanya menggeleng.
“Mama
suka tempat ini, Papa juga. Mereka selalu menghabiskan waktu di sini. Sampai
akhirnya,” tuturnya menggantung.
“Akhirnya?”
“Sampai
akhirnya, waktu mereka benar-benar habis setelah pergi dari tempat ini.” Sebuah
isakkan berhasil lolos dari bibir mungilnya. Refleks, dengan sigap tanganku
sudah mendekapnya dengan erat. Sebuah desiran mengalir begitu saja di dalam
dadaku. Tak biasanya. Mungkin ini hanya
sebatas rasa iba.
“Kakak
gak akan ninggalin Rissa, kan?” Pertanyaan yang terdengar seperti cicitan itu
membuatku tersenyum geli.
“Tentu.
Kakak gak akan ninggalin kamu.”
Dan
lagi, entah refleks atau apa, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Aku sedikit tercenung. Bagaimana mungkin aku tidak akan meninggalkan Rissa?
Sedangkan besok adalah akhir dari masa jabatanku sebagai kekasihnya. Ya, aku
ingat taruhan itu. Aku ingat janjiku pada Hendra. Tapi saat mengingat itu
semua, kenapa perasaan perih seakan menjalar begitu saja? Apakah mungkin ...
aku mulai menyukai Rissa?
“Pulang,
yuk! Udah mau malem, nih!” Aku berdiri seraya membersihkan celanaku dari
kotoran rumput-rumput liar. Begitu pun dengan Rissa. Dengan langkah kosong, aku
berjalan menuju motorku dengan perasaan yang tak tenang.
***
Jalanan
kota Garut mulai diselimuti awan pekat. Jarum spedometer motorku terus naik
tanpa kendali. Kurasakan pelukan Rissa di perutku semakin erat. Mungkin dia
takut. Tapi aku tidak peduli akan hal itu. Karena yang sedang aku pikirkan
sekarang adalah, bagaimana dengan hari esok? Apakah aku harus meninggalkan
Rissa? Atau aku harus mengakui bahwa aku mulai menyukainya? Tapi bagaimana
dengan Hendra? Apa yang akan dia lontarkan setelah mendengar bahwa aku mulai
menyukai gadis ini? Ledekan apa pula yang akan keluar dari mulut Rio dan Irvan
jika aku mengingkari janjiku?
Entahlah!
Kepalaku benar-benar pening saat memikirkannya. Kini, aku tak bisa merasakan
apa pun lagi. Bahkan ketika suara klakson menghadang, aku seakan tak peduli.
Dalam hitungan detik, aku merasa melayang, mengarungi sebuah sensasi baru yang
menyakitkan. Membuat tubuhku terhempas, jatuh! Dan menggelapkan seluruh asa
yang terkukuh.
***
Aku
membuka mata saat suara deritan pintu terdengar. Buram. Semua refleksi tampak
begitu asing di mataku.
“Lo
udah sadar, Ndre?” Suara seseorang membuat mataku memicing.
Irvan!
Hhh ... lega rasanya bisa melihat seorang teman.
“Jangan
banyak gerak dulu! Lo belum pulih betul!” larangnya saat aku mencoba untuk
bangkit dari kasur rumah sakit. Tunggu. Rumah sakit?
“Kenapa
gue bisa ada di sini, Van?” Suaraku terdengar begitu parau. Dan aw! Kepalaku
terasa begitu sakit.
“Lo
... tabrakan, Ndre.”
“Maksud
lo?”
“Lo
tabrakan sama mobil avanza,” lirih Irvan. “Dan Rissa ....”
Tunggu,
kenapa Irvan bawa-bawa nama Karissa? Apa mungkin ....
“Gimana
keadaan Rissa, Van? Dia baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was. Aku mengingat
semuanya. Malam ketiga belas di mana Rissa masih berada dalam boncenganku.
“Rissa
kehilangan banyak darah dan ....”
“Dia
pergi,” potong Hendra yang sudah berada di ambang pintu, “buat selamanya.”
Aku
tertegun. Jantungku berdetak abnormal saat itu juga. Bagaimana mungkin hal ini
bisa terjadi? Karissa, dia pergi?
Aku
menatap Hendra dengan nanar. Kulihat sepasang mata cowok itu bengkak karena air
mata. Rasanya, baru hari kemarin aku berjanji untuk mengembalikan Rissa padanya.
Tapi kenapa? Kenapa egoku membuat semuanya menjadi rumit? Kenapa egoku
membuatku serakah untuk memiliki Rissa? Dan lihat apa yang terjadi sekarang?
Tak seorang pun yang memilikinya. Termasuk aku.
“Lo
udah nepatin janji lo, Ndre,” lirih Hendra seraya berjalan ke arahku. “Ini ...
udah empat belas hari.”
Tergugu,
setetes air mata berhasil merambahi pipiku. Ya, aku sudah menepati janjiku.
Tapi bukan aku yang meninggalkan Rissa, melainkan dia yang meninggalkanku. Aku,
menyesalinya.
***
0 komentar:
Posting Komentar