Sabtu, 14 November 2015

Gadis 14 Hari

Gadis 14 Hari
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Ndre, lo jadian sama Karissa? Yang bener aja lo!”
“Wah, wah ... pasti elo pake pelet! Iya, kan?”
“Gue gak nyangka si Andre bisa dapetin Karissa! Mana baru empat hari, lagi!”
Aku terkekeh saat mendengar ocehan teman-teman sekelasku. Sambil tersenyum angkuh, aku menengadahkan daguku seraya menagih janji mereka semua.
“Ya iyalah! Pesona Andre dilawan!” ujarku terkekeh. “Sekarang, serahin duit kalian!”
Kulihat berbagai ekspresi kesal yang terpancar dari wajah mereka. Dengan ogah-ogahan, Hendra pun mengeluarkan jatah jajannya hari ini kepadaku. Disusul oleh Rio dan Irvan yang juga menyerahkan seluruh uang jajan mereka dengan wajah tertekuk. Haha, mereka begitu lucu! Mati di dalam medan perang sendiri!
Yep! Kami memang melakukan sebuah taruhan. Lebih tepatnya, Hendra lah yang pertama kali mengusulkan untuk taruhan. Tadinya aku tak memiliki niat untuk melakukan hal konyol itu. Karena pribadiku yang sudah menginjak tujuh belas tahun ini, beranggapan bahwa itu hanyalah permainan anak kecil. Tapi desakkan Hendra dan yang lainnya membuatku mau tak mau harus mengikuti permainan ini. Apalagi dengan ketentuan tadi. Jatah uang sekolah mereka terpaksa harus dijarah oleh si pemenang. Dan pemenang itu adalah ... Andrean Simamora! Playboy terkenal di seantero sekolah. Haha.
“Eh, by the way ...,” Rio duduk di atas meja dengan kaki yang terangkat, “gimana caranya lo bisa nembak si Karissa? Mana langsung diterima, lagi!” ujarnya ketus.
“Hooh!” timpal Hendra menyetujui. “Padahal pas gue nyoba buat pedekate sama dia, tuh cewek cuek-cuek aja!”
“Ke gue juga sama! Si Karissa tertutup banget, bro!” balas Irvan dengan tatapan serius. “Malahan gue bingung kenapa dia bisa nerima elo. Elo kan suka mainin cewek, Ndre!”
Aku kembali menyunggingkan senyuman meledek kepada mereka. “Udah gue bilang, pesona Andre itu gak bisa dilawan! Cewek kayak Karissa mah, tanpa dikasih umpan juga udah nyamber duluan! Haha,” ujarku masih dengan nada angkuh yang disambut dengan dengusan kesal dari mereka bertiga.
“Tapi, Ndre, setelah dua minggu lo bakal ninggalin dia, kan? Sesuai perjanjian kita,” tanya Hendra dengan nada pelan. Lagi-lagi aku terkekeh dibuatnya.
“Ya iyalah! Emang kenapa? Lo mau nembak dia, ya?”
Kulihat semburat merah mulai merambahi pipi Hendra.
“Hahaha ... banci lo!” ledek Rio sambil menepuk-nepuk kepala sahabatnya.
“Tenang aja, Ndra. Gue bakal tepatin janji gue, kok!” ujarku seraya tersenyum pada Hendra. Cowok dengan kacamata minus dua itu hanya menunjukkan deretan giginya.
Well, aku memang akan menepati janji—taruhan—ini. Nembak Karissa, dapet uang jajan tambahan selama dua minggu, plus mutusin Karissa tepat pada hari ke empat belas. Terdengar sadis memang. Tapi itu adalah cikal bakal dari pikiran picik Hendra. Bagiku, membuat gadis jatuh cinta lalu meninggalkannya adalah hal yang biasa. Terlalu mainstream malah. Dan menangkap gadis polos seperti Karissa rasanya terlalu mudah!
Bayangkan saja, di hari pertama aku sudah berhasil mengajaknya pulang bersama. Begitu pun di hari-hari berikutnya, Karissa semakin memberikan akses bagiku untuk bisa menaklukannya. Dan hal itu terjadi! Aku berhasil mendapatkan Karissa di hari ke empat, tepat pukul tiga sore di tengah-tengah lapangan basket. Aku tidak menyangka akan mendapatkan gadis lugu itu dengan mudah. Dan tahu apa jawaban yang keluar dari mulutnya tempo hari?
“Sebenarnya aku juga menyukai Kakak, sudah sejak lama ....”
Aku tidak tahu dan tidak peduli sejak kapan dia mulai menyukaiku. Karena yang ada di dalam pikiranku kala itu adalah ... aku berhasil memenangkan taruhan dan akan mendapatkan uang tambahan.
***
Jam pelajaran telah berakhir. Aku segera melangkahkan kakiku keluar kelas dan bergegas menuju tempat parkiran. Sambil bersiul kecil, aku mulai menaikki motor matic merah pemberian ayahku.
“Kak Andre!” Seseorang menyeru. Dengan sedikit kesal, aku pun mendelikkan mataku ke sumber suara. Dan betapa kagetnya aku saat mendapati Karissa tengah tersenyum cerah ke arahku.
“E-eh, Rissa! Yuk pulang bareng!” ujarku kaku.
Dengan langkah riang, gadis itu beranjak menghampiriku. Tak seperti biasanya.
“Kak, anterin Rissa ke suatu tempat, ya! Rissa bete ...!” ujarnya manja.
Aku sedikit tersentak. Demi apa! Ini bukanlah Rissa yang kukenal saat pertama kali pedekate. Gadis itu cenderung tertutup dan antisosial. Tapi sekarang? Lihat bagaimana dia memasang puppy eyes­-nya di depanku? Haha, Andre memang penakluk wanita!
“Hmm ... oke! Emang kamu mau ke mana?” jawabku dengan nada manis.
“Rahasia, dong! Nanti juga Kakak bakal tahu!” ujarnya seraya duduk di boncenganku.
Aku sedikit tersenyum. Gadis ini memang lucu!
***
Sudah tiga belas hari aku menjadikan Rissa sebagai objek penderita. Dan semuanya baik-baik saja. Dalam hari-hari itu, Rissa mulai menunjukkan siapa dirinya. Gadis dengan rambut indah sebahu itu ternyata asyik untuk diajak bicara, manja, dan penuh dengan keceriaan. Tapi yang membuatku aneh adalah kenapa dia hanya bertingkah seperti itu di hadapanku? Sedangkan di depan teman-temanku yang lain, ia kembali menjadi Karissa yang pendiam dan tertutup.
“Kak Andre!” Ah ... suara itu, pasti Karissa.
Aku menolehkan kepala dan mendapatinya sedang berlari kecil ke arahku.
“Mau ke kebun mawar lagi?” tanyaku seraya mengusap kepalanya pelan. Gadis itu mengangguk. Aku pun bergegas mengeluarkan motorku dari tempat parkir kemudian membawa Karissa di belakangku. Seperti biasa, gadis itu akan melingkarkan kedua tangannya di perutku seraya berbisik, “aku sayang Kakak.”
***
“Kak, tahu apa yang Rissa suka dari tempat ini?” Karissa menatap lekat ke arahku. Canggung, aku pun hanya menggeleng.
“Mama suka tempat ini, Papa juga. Mereka selalu menghabiskan waktu di sini. Sampai akhirnya,” tuturnya menggantung.
“Akhirnya?”
“Sampai akhirnya, waktu mereka benar-benar habis setelah pergi dari tempat ini.” Sebuah isakkan berhasil lolos dari bibir mungilnya. Refleks, dengan sigap tanganku sudah mendekapnya dengan erat. Sebuah desiran mengalir begitu saja di dalam dadaku. Tak biasanya. Mungkin ini hanya sebatas rasa iba.
“Kakak gak akan ninggalin Rissa, kan?” Pertanyaan yang terdengar seperti cicitan itu membuatku tersenyum geli.
“Tentu. Kakak gak akan ninggalin kamu.”
Dan lagi, entah refleks atau apa, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku sedikit tercenung. Bagaimana mungkin aku tidak akan meninggalkan Rissa? Sedangkan besok adalah akhir dari masa jabatanku sebagai kekasihnya. Ya, aku ingat taruhan itu. Aku ingat janjiku pada Hendra. Tapi saat mengingat itu semua, kenapa perasaan perih seakan menjalar begitu saja? Apakah mungkin ... aku mulai menyukai Rissa?
“Pulang, yuk! Udah mau malem, nih!” Aku berdiri seraya membersihkan celanaku dari kotoran rumput-rumput liar. Begitu pun dengan Rissa. Dengan langkah kosong, aku berjalan menuju motorku dengan perasaan yang tak tenang.
***
Jalanan kota Garut mulai diselimuti awan pekat. Jarum spedometer motorku terus naik tanpa kendali. Kurasakan pelukan Rissa di perutku semakin erat. Mungkin dia takut. Tapi aku tidak peduli akan hal itu. Karena yang sedang aku pikirkan sekarang adalah, bagaimana dengan hari esok? Apakah aku harus meninggalkan Rissa? Atau aku harus mengakui bahwa aku mulai menyukainya? Tapi bagaimana dengan Hendra? Apa yang akan dia lontarkan setelah mendengar bahwa aku mulai menyukai gadis ini? Ledekan apa pula yang akan keluar dari mulut Rio dan Irvan jika aku mengingkari janjiku?
Entahlah! Kepalaku benar-benar pening saat memikirkannya. Kini, aku tak bisa merasakan apa pun lagi. Bahkan ketika suara klakson menghadang, aku seakan tak peduli. Dalam hitungan detik, aku merasa melayang, mengarungi sebuah sensasi baru yang menyakitkan. Membuat tubuhku terhempas, jatuh! Dan menggelapkan seluruh asa yang terkukuh.
***
Aku membuka mata saat suara deritan pintu terdengar. Buram. Semua refleksi tampak begitu asing di mataku.
“Lo udah sadar, Ndre?” Suara seseorang membuat mataku memicing.
Irvan! Hhh ... lega rasanya bisa melihat seorang teman.
“Jangan banyak gerak dulu! Lo belum pulih betul!” larangnya saat aku mencoba untuk bangkit dari kasur rumah sakit. Tunggu. Rumah sakit?
“Kenapa gue bisa ada di sini, Van?” Suaraku terdengar begitu parau. Dan aw! Kepalaku terasa begitu sakit.
“Lo ... tabrakan, Ndre.”
“Maksud lo?”
“Lo tabrakan sama mobil avanza,” lirih Irvan. “Dan Rissa ....”
Tunggu, kenapa Irvan bawa-bawa nama Karissa? Apa mungkin ....
“Gimana keadaan Rissa, Van? Dia baik-baik aja, kan?” tanyaku was-was. Aku mengingat semuanya. Malam ketiga belas di mana Rissa masih berada dalam boncenganku.
“Rissa kehilangan banyak darah dan ....”
“Dia pergi,” potong Hendra yang sudah berada di ambang pintu, “buat selamanya.”
Aku tertegun. Jantungku berdetak abnormal saat itu juga. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Karissa, dia pergi?
Aku menatap Hendra dengan nanar. Kulihat sepasang mata cowok itu bengkak karena air mata. Rasanya, baru hari kemarin aku berjanji untuk mengembalikan Rissa padanya. Tapi kenapa? Kenapa egoku membuat semuanya menjadi rumit? Kenapa egoku membuatku serakah untuk memiliki Rissa? Dan lihat apa yang terjadi sekarang? Tak seorang pun yang memilikinya. Termasuk aku.
“Lo udah nepatin janji lo, Ndre,” lirih Hendra seraya berjalan ke arahku. “Ini ... udah empat belas hari.”
Tergugu, setetes air mata berhasil merambahi pipiku. Ya, aku sudah menepati janjiku. Tapi bukan aku yang meninggalkan Rissa, melainkan dia yang meninggalkanku. Aku, menyesalinya.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo