Rabu, 18 November 2015

Cukup!



Cukup!
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Cukup!” Aku seperti terantuk. Emosiku tersulut. Rasa pedih dan sakit yang dulu pernah kualami, kini harus terjadi lagi. Jika dulu rasa itu sangatlah membekas, maka akankah perasaan ini berakhir sama?
Aku menatap jendela. Sebuah ventilasi usang dengan kayu yang sudah rapuh. Tua. Tapi hatiku takkan pernah tua. Hatiku masih sama. Ia menangis saat dikira ada hal asing yang menganggu kehidupannya. Ya, begitulah hati ini. Seperti anak-anak! Dan akan terus seperti itu.
Kini ragaku telah tegak di hadapan jendela. Sebuah halaman bernaungkan pohon sawo terhampar luas di luar sana. Aku menarik napas. Semuanya sama. Setiap inci halaman tersebut tetap sama. Mungkin, kini yang berbeda hanyalah sebuah ayunan di sudut sana. Dulu ayunan itu tergantung dengan sempurna pada salah satu dahan pohon sawo. Tapi kini, ayunan tersebut hanya menjadi seonggok sampah yang bisa dibuang kapan saja.
Argh, aku mulai bernostalgia lagi dengan diriku. Entah kenapa, setiap aku melihat halaman tersebut, ingatanku akan langsung melayang. Melayang ke masa lampau. Di mana aku, engkau dan dia selalu tertawa bersama. Meniti kisah hidup, tanpa ada orang lain yang mengusiknya. Sampai pada suatu hari ....
***
Tujuh tahun yang lalu...
“Cerai?” Dahiku bertaut. Mataku membulat. Aku tidak tahu apa arti dari kata tersebut. Yang jelas, makna di balik kata itu seolah sangat menyesakkan bagiku.
Aku menatap Ibu dengan lekat. Tak ada sebuah ekspresi di sana. Yang ada, hanyalah sepasang mata merah yang tak berbinar. Mungkinkah, Ibu habis menangis?
Lidah ini terlalu kelu untuk berucap. Ibu memelukku, memintaku untuk bersabar. Tapi aku tak mengerti. Sabar untuk apa?
Mata ini meneliti setiap jejak yang dibuat olehnya. Ya, jejak beberapa saat yang lalu. Saat-saat di mana ia berucap ...
“Ayah, pergi dulu ....”
***
Sebuah memori menyakitkan itu kembali hadir. Menyesakki seluruh ruang otakku. Menggebu di dalam relung jiwaku. Hahhh ...! Aku ingin menjerit demi bisa meluapkan segala beban ini. Ya, beban yang sudah kutanggung selama bertahun-tahun. Beban yang selalu menjadi mimpi burukku. Juga beban yang telah menjadikanku seperti orang munafik. Naif!
***
Aku masih tak mengerti dengan alur kehidupan ini. Kakakku murung. Ia berhenti sekolah. Padahal ia adalah salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. Sedang kakakku yang pertama, ia entah ke mana. Tak ada kabar. Dan aku? Aku masih berdiri di sini. Mencoba menafsirkan secara teliti tiap arus balik kehidupan. Ayahku tak ada di rumah. Sedangkan Ibu sering mengajakku jalan-jalan ... bersama orang lain. Apa maksud dari semua ini?
Aku masih ingat pertanyaan yang aku lontarkan kepadamu, Ibu.
“Ayah ke mana, Bu?”
Dan kau hanya menjawab bahwa kalian telah bercerai. Argh, kata itu lagi. Apa arti dari kata itu? Mengapa kau selalu mengucapkan kata tersebut dengan mata berkaca, Bu?
***
Mataku memanas. Mungkinkah aku akan menangis lagi? Aku bisa saja menahan beban ini demi engkau. Orang yang selalu berada di sisiku dan rela merawatku dengan penuh kasih sayang. Aku bisa saja menanggung beban ini. Demi engkau! Orang yang rela berkorban demi apa pun yang kuinginkan.
Tapi, bagaimana dengan mereka? Mulut-mulut jahat yang tak pernah luput menghantui kita. Aku bisa saja bersikap tak acuh. Tapi, bagaimana dengan dirimu? Akankah baik-baik saja menjalani hidup seperti itu? Akankah baik-baik saja menjalani hidup dalam bulan-bulanan orang lain?
Kembali. Air mataku luruh lagi. Aku menunduk. Menatap lantai putih yang dulu selalu menjadi pijakkan kita. Bersama.
***
Hari-hari kujalani tanpa hadirnya seorang Ayah. Kakak pergi. Ia mengikuti Ayah. Sedang aku, tetap di sini. Berada di sisi Ibunda yang sekarang mulai bisa melukiskan sebuah senyuman. Aku bahagia karena bisa melihat lengkungan indah itu lagi. Tapi di satu sisi, aku risih dengan kehadiran orang lain dalam alur kehidupanku. Ya, pemeran baru yang harus kupanggil sebagai ‘Ayah’.
Ayah baru! Mungkinkah ini adalah anugerah dari Tuhan untukku? Jika ya, aku akan sangat bersyukur. Karena ‘ayah baru’ tersebut selalu memberikan apa yang aku inginkan.
Aku ingin tas baru, ia belikan. Aku ingin sepatu, ia belikan. Aku ingin eskrim, ia belikan. Apa pun yang aku inginkan, pasti ‘ayah baru’ tersebut akan langsung membelikannya. Termasuk dua ekor anak kelinci yang aku inginkan, ia langsung membelikannya. Sungguh, hidup yang menyenangkan. Sangat berbeda dengan kehidupanku dulu yang tak pernah mendapatkan hasil apa pun dari apa yang aku inginkan. Ya, dulu Ayah tak pernah membelikan apa yang aku mau. Tapi kini, ‘ayah baru’ tersebut telah mengganti semuanya.
Tak terasa, satu tahun sudah aku tinggal di rumah ini. Bersama Ibu, dan orang asing yang harus kupanggil Ayah. Sampai pada suatu hari, aku harus dihadapkan dengan sebuah situasi yang tidak akan bisa aku hindari. Pindah! Ya, aku harus hengkang dari kota dodol ini.
***
Seandainya aku menolak untuk pindah, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Aku tidak akan nekat untuk mengakhiri lintas kehidupan. Aku tidak akan membekap mulutku dengan bantal, tidak pula menggoreskan sebuah pecahan kaca pada urat nadiku. Ya, itu semua tak akan pernah terjadi jika aku tidak pindah! Itu semua tak akan pernah terjadi jika aku tak memanggilnya sebagai ‘Ayah’.
***
Cerai? Apa arti kata tersebut?
Aku mulai beranjak dewasa. Hidupku mulai dipenuhi dengan lika-liku cinta. Tapi benarkah ciri kedewasaan seseorang adalah saat orang itu mengenal sesuatu yang bernama cinta? Kurasa tidak. Nyatanya, aku belum dewasa. Aku belum mengerti makna dari kata ‘perceraian’.
Saat aku merenung, terlintas sebuah kegundahan di hatiku. Kata-kata itu¾cerai¾selalu berhasil membuat air mataku jatuh. Perih. Sesak. Seperti ada sebuah belati yang menghujamku dari belakang.
Seperti yang pernah kukatakan. Kehidupan memiliki sebuah siklus arus balik. Bisa berjalan mulus, tapi bisa juga berjalan sebaliknya. Ya, seperti alur kehidupanku sekarang. Awalnya aku bahagia hidup bersama ‘ayah baru’. Tapi lama kelamaan, setelah aku pindah ke kota parahyangan, hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Aneh, memang. Tapi beginilah hidup. Penuh dengan teka-teki yang tidak bisa sembarangan untuk dijawab.
Teriakan, jeritan, tangisan .... Hhh ... mengapa semuanya jadi begini?
Kedok! ‘Ayah baru’ tak lagi baik padaku. Sikapnya berubah! Apa yang aku inginkan tak pernah lagi dibelikannya. Ia jadi sering marah-marah. Dan Ibu ... ‘ayah baru’ itu selalu bertengkar dengan Ibu. Sedang aku? Hanya bisa meringkuk. Meratapi ke arah sana, di mana suara mereka saling meninggi. Menyakitkan.
***
Semenjak kejadian itu, tahukah kau, Bu bahwa aku terluka? Tahukah kau bahwa aku menyimpan rasa marah yang besar? Ya! Aku marah karena Ibu disakiti olehnya. Aku marah karena Ibu selalu berlinang air mata. Aku marah karena hidup kita berubah menderita. Dan itu semua karena dia! Seseorang yang harus kupanggil sebagai ‘Ayah’.
Cih! Aku tak kuasa melontarkan panggilan itu lagi kepadanya. Rasa benciku terlalu menggebu, menderu di setiap hembus napasku. Karena dia, Ibu terluka. Karena dia, Ibu menangis. Dan karena dia, Ibu harus berpisah dengan ayahku. Ayah ..., yang telah melahirkanku!
Argh, kurasa aku sudah tahu makna dari kata ‘cerai’. Perpisahan? Begitulah maknanya, bukan? Yang jelas, penyesalan tiba-tiba menelusup ke dalam otakku. Menggelitik jiwaku untuk melakukan sebuah pemberontakan. Sehingga membuat mulutku tak henti meracau, menyesali akan pedihnya jalan kehidupan yang kualami sekarang.
Aku marah. Aku marah pada Tuhan! Karena Dia telah memberiku sebuah rasa penyesalan di ujung alur kehidupanku. Jika Tuhan membuatku mengerti akan arti dari perceraian lebih awal, mungkin dulu aku akan mencegah Ayah untuk pergi. Aku akan mencegah supaya kata-kata “Ayah pergi dulu ...” tidak terucap dari bibirnya.
Pipiku banjir. Isakkanku semakin jelas terdengar. Jarak selama tujuh tahun ternyata tidak cukup untuk membuatku menjadi amnesia. Ingatan itu terus bersarang. Terngiang! Membuatku muak! Aku ingin mengakhirinya!
***
Cukup! Jangan lakukan ini lagi padaku, Bu. Jangan perceraian lagi!
Aku meringkuk dalam selimut. Kamarku sekarang bak tempat isolasi. Pintu aku kunci dengan rapat. Jendela pun aku rekat dengan lakban dan koran. Aku hanya ingin sendiri. Biarlah luka ini terus menguliti hingga akhirnya aku bisa keluar dan kembali menyapa dunia dengan segala kemunafikanku.
Ibu berkata bahwa ia akan bercerai lagi dengan ‘ayah baru’. Aku merasa bahagia. Karena secara tidak langsung penderitaanku akan langsung sirna.
Tapi ternyata, belum sempat perceraian itu dilakukan Ibu sudah mempunyai calon baru. Calon ayah baru (lagi) ... untukku.
***
Aku bisa saja menerimanya, Bu. Tapi bagaimana dengan Kakak? Apakah mereka akan menerimanya juga? Sudah cukup aku menanggung semua derita ini. Jangan kau tambah lagi. Jangan kau berikan lagi ayah baru untukku. Karena ayahku hanya satu! Dia ... yang dulu berucap, “Ayah pergi dulu ...”.
Tak bisakah kau rasakan perih ini, Bu? Aku ingin meluapkan segala emosiku. Aku ingin marah pada Ibu. Tapi aku tak bisa! Aku terlalu lemah untuk melakukan semuanya. Mengingat betapa besar kasih sayangmu padaku, membuatku enggan ... bahkan urung untuk melakukan lagi pemberontakan.
Tapi sisi lain dari diriku mulai menghantui. Ia berbisik, merintih, meraung, bahkan terus mendorongku agar kemarahan ini bisa terungkap. Aku ingin berteriak, Bu. Aku ingin berteriak!
“Cukup! Jangan lakukan itu lagi! Cukup ...!”
Lagi. Aku berteriak. Tapi hanya bisa dalam hati.
Argh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus diam? Ataukah aku harus melakukan pemberontakan seperti dulu? Membekap mulutku dan menggoreskan pecahan kaca pada nadiku? Bodoh!
Air mata ini adalah tanda dari ketidakberdayaanku dalam meniti pahitnya kehidupan. Jika itu yang terbaik bagi ibuku, maka aku rela. Jika ibuku bisa bahagia dengan menikah lagi, aku ikhlas, Tuhan.
Tapi sisi lain dari diriku terus meronta, meminta keadilan! Sisi lain dari diriku sangat menolaknya! Ia menolak untuk menerima ‘ayah baru’ lagi. Karena baginya, ayah itu hanya ada satu. Ayah yang telah melahirkannya, dan ayah yang dulu mengucapkan kalimat, “Ayah pergi dulu...”.
Jika orang tua bisa egois demi kebahagiaan dirinya, lantas bagaimana dengan seorang anak? Bisakah ia bersikap egois juga? Jika bisa, maka aku ingin mengakhirinya sekarang. Di sin i... tempat di mana dulu kita hidup bersama. Dalam buaian kasih yang harus berakhir dengan tombak derita.
Cukup ....

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo