Cukup!
Oleh: Annisa Febriyati Sari
“Cukup!”
Aku seperti terantuk. Emosiku tersulut. Rasa pedih dan sakit yang dulu pernah
kualami, kini harus terjadi lagi. Jika dulu rasa itu sangatlah membekas, maka
akankah perasaan ini berakhir sama?
Aku
menatap jendela. Sebuah ventilasi usang dengan kayu yang sudah rapuh. Tua. Tapi
hatiku takkan pernah tua. Hatiku masih sama. Ia menangis saat dikira ada hal
asing yang menganggu kehidupannya. Ya, begitulah hati ini. Seperti anak-anak!
Dan akan terus seperti itu.
Kini
ragaku telah tegak di hadapan jendela. Sebuah halaman bernaungkan pohon sawo
terhampar luas di luar sana. Aku menarik napas. Semuanya sama. Setiap inci
halaman tersebut tetap sama. Mungkin, kini yang berbeda hanyalah sebuah ayunan
di sudut sana. Dulu ayunan itu tergantung dengan sempurna pada salah satu dahan
pohon sawo. Tapi kini, ayunan tersebut hanya menjadi seonggok sampah yang bisa
dibuang kapan saja.
Argh,
aku mulai bernostalgia lagi dengan diriku. Entah kenapa, setiap aku melihat
halaman tersebut, ingatanku akan langsung melayang. Melayang ke masa lampau. Di
mana aku, engkau dan dia selalu tertawa bersama. Meniti kisah hidup, tanpa ada
orang lain yang mengusiknya. Sampai pada suatu hari ....
***
Tujuh
tahun yang lalu...
“Cerai?”
Dahiku bertaut. Mataku membulat. Aku tidak tahu apa arti dari kata tersebut.
Yang jelas, makna di balik kata itu seolah sangat menyesakkan bagiku.
Aku
menatap Ibu dengan lekat. Tak ada sebuah ekspresi di sana. Yang ada, hanyalah
sepasang mata merah yang tak berbinar. Mungkinkah, Ibu habis menangis?
Lidah
ini terlalu kelu untuk berucap. Ibu memelukku, memintaku untuk bersabar. Tapi
aku tak mengerti. Sabar untuk apa?
Mata
ini meneliti setiap jejak yang dibuat olehnya. Ya, jejak beberapa saat yang
lalu. Saat-saat di mana ia berucap ...
“Ayah,
pergi dulu ....”
***
Sebuah
memori menyakitkan itu kembali hadir. Menyesakki seluruh ruang otakku. Menggebu
di dalam relung jiwaku. Hahhh ...! Aku ingin menjerit demi bisa meluapkan
segala beban ini. Ya, beban yang sudah kutanggung selama bertahun-tahun. Beban
yang selalu menjadi mimpi burukku. Juga beban yang telah menjadikanku seperti
orang munafik. Naif!
***
Aku
masih tak mengerti dengan alur kehidupan ini. Kakakku murung. Ia berhenti
sekolah. Padahal ia adalah salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. Sedang
kakakku yang pertama, ia entah ke mana. Tak ada kabar. Dan aku? Aku masih
berdiri di sini. Mencoba menafsirkan secara teliti tiap arus balik kehidupan.
Ayahku tak ada di rumah. Sedangkan Ibu sering mengajakku jalan-jalan ...
bersama orang lain. Apa maksud dari semua ini?
Aku
masih ingat pertanyaan yang aku lontarkan kepadamu, Ibu.
“Ayah
ke mana, Bu?”
Dan
kau hanya menjawab bahwa kalian telah bercerai. Argh, kata itu lagi. Apa arti dari
kata itu? Mengapa kau selalu mengucapkan kata tersebut dengan mata berkaca, Bu?
***
Mataku
memanas. Mungkinkah aku akan menangis lagi? Aku bisa saja menahan beban ini
demi engkau. Orang yang selalu berada di sisiku dan rela merawatku dengan penuh
kasih sayang. Aku bisa saja menanggung beban ini. Demi engkau! Orang yang rela
berkorban demi apa pun yang kuinginkan.
Tapi,
bagaimana dengan mereka? Mulut-mulut jahat yang tak pernah luput menghantui
kita. Aku bisa saja bersikap tak acuh. Tapi, bagaimana dengan dirimu? Akankah
baik-baik saja menjalani hidup seperti itu? Akankah baik-baik saja menjalani
hidup dalam bulan-bulanan orang lain?
Kembali.
Air mataku luruh lagi. Aku menunduk. Menatap lantai putih yang dulu selalu
menjadi pijakkan kita. Bersama.
***
Hari-hari
kujalani tanpa hadirnya seorang Ayah. Kakak pergi. Ia mengikuti Ayah. Sedang
aku, tetap di sini. Berada di sisi Ibunda yang sekarang mulai bisa melukiskan
sebuah senyuman. Aku bahagia karena bisa melihat lengkungan indah itu lagi.
Tapi di satu sisi, aku risih dengan kehadiran orang lain dalam alur
kehidupanku. Ya, pemeran baru yang harus kupanggil sebagai ‘Ayah’.
Ayah
baru! Mungkinkah ini adalah anugerah dari Tuhan untukku? Jika ya, aku akan
sangat bersyukur. Karena ‘ayah baru’ tersebut selalu memberikan apa yang aku
inginkan.
Aku
ingin tas baru, ia belikan. Aku ingin sepatu, ia belikan. Aku ingin eskrim, ia
belikan. Apa pun yang aku inginkan, pasti ‘ayah baru’ tersebut akan langsung
membelikannya. Termasuk dua ekor anak kelinci yang aku inginkan, ia langsung
membelikannya. Sungguh, hidup yang menyenangkan. Sangat berbeda dengan
kehidupanku dulu yang tak pernah mendapatkan hasil apa pun dari apa yang aku
inginkan. Ya, dulu Ayah tak pernah membelikan apa yang aku mau. Tapi kini,
‘ayah baru’ tersebut telah mengganti semuanya.
Tak
terasa, satu tahun sudah aku tinggal di rumah ini. Bersama Ibu, dan orang asing
yang harus kupanggil Ayah. Sampai pada suatu hari, aku harus dihadapkan dengan
sebuah situasi yang tidak akan bisa aku hindari. Pindah! Ya, aku harus hengkang
dari kota dodol ini.
***
Seandainya
aku menolak untuk pindah, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Aku tidak
akan nekat untuk mengakhiri lintas kehidupan. Aku tidak akan membekap mulutku dengan
bantal, tidak pula menggoreskan sebuah pecahan kaca pada urat nadiku. Ya, itu
semua tak akan pernah terjadi jika aku tidak pindah! Itu semua tak akan pernah
terjadi jika aku tak memanggilnya sebagai ‘Ayah’.
***
Cerai? Apa arti kata
tersebut?
Aku
mulai beranjak dewasa. Hidupku mulai dipenuhi dengan lika-liku cinta. Tapi
benarkah ciri kedewasaan seseorang adalah saat orang itu mengenal sesuatu yang
bernama cinta? Kurasa tidak. Nyatanya, aku belum dewasa. Aku belum mengerti
makna dari kata ‘perceraian’.
Saat
aku merenung, terlintas sebuah kegundahan di hatiku. Kata-kata itu¾cerai¾selalu
berhasil membuat air mataku jatuh. Perih. Sesak. Seperti ada sebuah belati yang
menghujamku dari belakang.
Seperti
yang pernah kukatakan. Kehidupan memiliki sebuah siklus arus balik. Bisa
berjalan mulus, tapi bisa juga berjalan sebaliknya. Ya, seperti alur
kehidupanku sekarang. Awalnya aku bahagia hidup bersama ‘ayah baru’. Tapi lama
kelamaan, setelah aku pindah ke kota parahyangan, hidupku berubah seratus
delapan puluh derajat. Aneh, memang. Tapi beginilah hidup. Penuh dengan
teka-teki yang tidak bisa sembarangan untuk dijawab.
Teriakan,
jeritan, tangisan .... Hhh ... mengapa semuanya jadi begini?
Kedok!
‘Ayah baru’ tak lagi baik padaku. Sikapnya berubah! Apa yang aku inginkan tak
pernah lagi dibelikannya. Ia jadi sering marah-marah. Dan Ibu ... ‘ayah baru’
itu selalu bertengkar dengan Ibu. Sedang aku? Hanya bisa meringkuk. Meratapi ke
arah sana, di mana suara mereka saling meninggi. Menyakitkan.
***
Semenjak
kejadian itu, tahukah kau, Bu bahwa aku terluka? Tahukah kau bahwa aku
menyimpan rasa marah yang besar? Ya! Aku marah karena Ibu disakiti olehnya. Aku
marah karena Ibu selalu berlinang air mata. Aku marah karena hidup kita berubah
menderita. Dan itu semua karena dia! Seseorang yang harus kupanggil sebagai
‘Ayah’.
Cih!
Aku tak kuasa melontarkan panggilan itu lagi kepadanya. Rasa benciku terlalu
menggebu, menderu di setiap hembus napasku. Karena dia, Ibu terluka. Karena
dia, Ibu menangis. Dan karena dia, Ibu harus berpisah dengan ayahku. Ayah ...,
yang telah melahirkanku!
Argh,
kurasa aku sudah tahu makna dari kata ‘cerai’. Perpisahan? Begitulah maknanya,
bukan? Yang jelas, penyesalan tiba-tiba menelusup ke dalam otakku. Menggelitik
jiwaku untuk melakukan sebuah pemberontakan. Sehingga membuat mulutku tak henti
meracau, menyesali akan pedihnya jalan kehidupan yang kualami sekarang.
Aku
marah. Aku marah pada Tuhan! Karena Dia telah memberiku sebuah rasa penyesalan
di ujung alur kehidupanku. Jika Tuhan membuatku mengerti akan arti dari
perceraian lebih awal, mungkin dulu aku akan mencegah Ayah untuk pergi. Aku akan
mencegah supaya kata-kata “Ayah pergi dulu ...” tidak terucap dari
bibirnya.
Pipiku
banjir. Isakkanku semakin jelas terdengar. Jarak selama tujuh tahun ternyata
tidak cukup untuk membuatku menjadi amnesia. Ingatan itu terus bersarang.
Terngiang! Membuatku muak! Aku ingin mengakhirinya!
***
Cukup!
Jangan lakukan ini lagi padaku, Bu. Jangan perceraian lagi!
Aku
meringkuk dalam selimut. Kamarku sekarang bak tempat isolasi. Pintu aku kunci
dengan rapat. Jendela pun aku rekat dengan lakban dan koran. Aku hanya ingin
sendiri. Biarlah luka ini terus menguliti hingga akhirnya aku bisa keluar dan kembali
menyapa dunia dengan segala kemunafikanku.
Ibu
berkata bahwa ia akan bercerai lagi dengan ‘ayah baru’. Aku merasa bahagia.
Karena secara tidak langsung penderitaanku akan langsung sirna.
Tapi
ternyata, belum sempat perceraian itu dilakukan Ibu sudah mempunyai calon baru.
Calon ayah baru (lagi) ... untukku.
***
Aku
bisa saja menerimanya, Bu. Tapi bagaimana dengan Kakak? Apakah mereka akan
menerimanya juga? Sudah cukup aku menanggung semua derita ini. Jangan kau
tambah lagi. Jangan kau berikan lagi ayah baru untukku. Karena ayahku hanya
satu! Dia ... yang dulu berucap, “Ayah pergi dulu ...”.
Tak
bisakah kau rasakan perih ini, Bu? Aku ingin meluapkan segala emosiku. Aku
ingin marah pada Ibu. Tapi aku tak bisa! Aku terlalu lemah untuk melakukan
semuanya. Mengingat betapa besar kasih sayangmu padaku, membuatku enggan ...
bahkan urung untuk melakukan lagi pemberontakan.
Tapi
sisi lain dari diriku mulai menghantui. Ia berbisik, merintih, meraung, bahkan
terus mendorongku agar kemarahan ini bisa terungkap. Aku ingin berteriak, Bu.
Aku ingin berteriak!
“Cukup!
Jangan lakukan itu lagi! Cukup ...!”
Lagi.
Aku berteriak. Tapi hanya bisa dalam hati.
Argh,
Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus diam? Ataukah aku harus
melakukan pemberontakan seperti dulu? Membekap mulutku dan menggoreskan pecahan
kaca pada nadiku? Bodoh!
Air
mata ini adalah tanda dari ketidakberdayaanku dalam meniti pahitnya kehidupan.
Jika itu yang terbaik bagi ibuku, maka aku rela. Jika ibuku bisa bahagia dengan
menikah lagi, aku ikhlas, Tuhan.
Tapi
sisi lain dari diriku terus meronta, meminta keadilan! Sisi lain dari diriku
sangat menolaknya! Ia menolak untuk menerima ‘ayah baru’ lagi. Karena baginya,
ayah itu hanya ada satu. Ayah yang telah melahirkannya, dan ayah yang dulu
mengucapkan kalimat, “Ayah pergi dulu...”.
Jika orang tua bisa
egois demi kebahagiaan dirinya, lantas bagaimana dengan seorang anak? Bisakah
ia bersikap egois juga? Jika bisa, maka aku ingin mengakhirinya sekarang. Di
sin i... tempat di mana dulu kita hidup bersama. Dalam buaian kasih yang harus
berakhir dengan tombak derita.
Cukup
....
0 komentar:
Posting Komentar