YOU LOVE ME, YOU LOVE ME NOT
©©©
Author: afPhantom92
Genre: Hurt-Romance(?) yang jelas bukan NC wkwk
Maincast: Jeon Jungkook BTS; Im Nayeon Twice
Othercast: Mina Twice, Find with your self
Happy reading juseyo~~^^
©©©
Sudah malam, jaljayo urineun Nayeon nuna. See you tomorrow~^^
Tak dapat dipungkiri, seulas senyum berhasil terukir di bibirku. Sebuah
pesan ‘ucapan selamat malam’ yang terkirim beberapa menit yang lalu berhasil
membuat jantungku menari gembira. Sempurna, pekikku dalam hati.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela yang belum tertutup
gorden. Seketika semilir angin malam terasa berembus pelan menerpa kulitku. Hhh
dingin memang. Namun ... kenapa rasanya malam ini langit begitu indah?
Dan kenapa malam ini ... perasaan itu semakin mengakar saja?
Jeon Jungkook. Ya, hanya dua kata itu yang kini tengah mengiang di
kepalaku. Seakan-akan semua yang kulakukan hanya untuk dia, seolah semua benda
hidup menjelma dia, serta seperti bumi hanya menceritakan tentang dia. Serakah?
Mungkin saja. Ruang kosong di antara rangkaian tulang rusuk ini mulai menuntut
lebih. Menuntut akan kehangatan, menuntut akan isi, menuntut akan kehadiran
seseorang—lagi.
Namun, apakah semua itu akan terjadi? Mengingat dia; yang dingin,
aku; yang over, apakah semuanya akan berjalan happy ending layaknya
dongeng Cinderella yang sering ibu ceritakan saat aku kecil? Atau
mungkin ... akan ada pangeran yang membangunkanku kala aku tertidur seperti Snow
White?
Haha. Aku mengulum senyum. Konyol sekali jika aku berpikir untuk
memiliki kasta yang sama dengan puteri cantik dalam buku cerita. Namun ...
bolehkah aku terus berpikir—dan berharap¾bahwa kau juga mempunyai perasaan yang sama—untukku?
***
“Nayeon-ah ...!”
Aku mengangkat kepalaku dari atas meja seraya menguap kecil saat
sebuah seruan terdengar. Hoamm ... sekali lagi aku menguap. Dengan malas,
kutatap siluet cantik itu.
“Waeyo Mina-chan?” tanyaku serak. Sesekali kuusap kedua mata agar
dapat melihat lebih jelas.
Tanpa babibu, tiba-tiba saja Mina-chan sudah memelukku erat. Tentu
saja hal itu membuat kinerja otakku yang masih berada dalam fase ‘tidak
sadar’ langsung melompat menuju fase dengan seutas pertanyaan biadab ‘apakah
Momo-chan seorang LGBT?’ Oh tidak!!!
Segera aku menghempaskan pelukannya seraya menelanjanginya dengan
sorotan tajam bercampur takut. Apa-apaan Mina-chan ini? Apakah karena kaum
pelangi sedang laris manis di pasaran maka dia juga berminat untuk melengkapi
warna itu? Oh tidak, Mina-chan~ Kau terlalu cantik untuk menjadi bagian dari
mereka.
“Waeyo? Kenapa kau memelukku seperti itu, eoh?” tanyaku was-was.
Aku masih belum sadar sepenuhnya dari tidur singkatku barusan. Dan melihat
ekspresi Mina-chan yang kini tengah merengut, aku tahu dia sedang tidak
terjebak dalam Rainbow Zone. Melainkan ada sesuatu yang ia ketahui ...
dan entah mengapa hal itu membuat perasaanku tersakiti.
“Nayeon-ah ...,” ujarnya pelan lalu duduk di samping bangkuku. “Aku
tidak ingin memberitahumu dengan cara seperti ini, tapi ... aku juga tidak
mungkin menyembunyikannya darimu. Jadi ...”
Perkataannya menggantung. Beberapa gejolak kecil di dalam sana
tiba-tiba saja muncul, siap berdebum saat menerima kemungkinan terburuk sekali
pun. Namun, mengapa aku tidak ingin menerimanya? Mengapa aku malah berharap
bahwa sosok gadis yang ada di hadapanku sekarang hanyalah potongan dari puzzle
mimpiku yang belum sempurna?
Namun semua itu kandas ketika rasa penasaraan malah mengungguli
semuanya. Membuatku bertanya, meskipun aku tahu itu akan berujung duka.
“Mina-chan,” ucapku pelan, “apa yang ingin kau katakan?” lanjutku, sangat
hati-hati.
Sekilas gadis itu menatap ke arahku kemudian berangsur mengikuti bayangan
yang terlintas di depan jendela kelas. Dan saat pandanganku ikut beralih, maka
saat itu pulalah gejolak itu berhasil berdebum. Menciptakan reaksi dan letupan
dahsyat yang menyesakkan ... hanya di dalam sana; di ruang kosong itu.
Sekali lagi kurasakan dua buah lengan melingkari leherku.
Mina-chan, beginikah caramu menghibur seorang teman? Memeluknya dan ikut
menangis bersamanya?
“Mianhe, Nayeon-ah. Seharusnya aku tidak mengenalkanmu padanya,
seharusnya aku membiarkanmu menunggu saja. Aku bodoh, maafkan aku ... hiks.”
Bergeming. Aku hanya bisa termenung dengan kejadian yang kurang
dari enam puluh detik tadi. Saat di mana kedua siluet itu melintas, saat di
mana keduanya tersenyum satu sama lain, saat di mana jemari itu saling
berkaitan. Saat-saat yang aku berharap ... jemariku lah yang mengait di sana.
Rasa perih yang sempat tertutup kini bahkan terbuka lebih lebar. Ya,
aku kembali tersayat. Setelah sekian lama luka ini kutenggelamkan, kenapa
dengan mudah kau malah mengapungkannya? Tak ada harganya kah usahaku selama
ini? Hanya dengan enam puluh detik yang aku tidak tahu keakuratannya, semua sirna.
Mimpi-mimpi itu, khayalan pangeran dan puteri dongeng itu ... ucapan selamat
malam itu ... apakah semuanya hanya palsu belaka? Bahkan mawar merah yang
hampir layu itu selalu kuusahakan untuk tetap tegak. Karena apa? Ya! Karena aku
takut semua ini akan terjadi. Aku takut jika bunga itu layu ... maka kau akan
ikut pergi.
“Mina-chan ...” suaraku terdengar parau kala menyebut namanya.
“Bolehkah besok aku bolos sekolah?” Dan kala kalimat itu usai terucap, usai
pula pertahananku. Remuk. Tangis itu pecah begitu saja.
***
Aku menatap nanar bunga mawar dengan kelopak yang mulai berjatuhan.
Jeon Jungkook, inikah akhir dari harapanku yang bahkan belum menapaki level
satu? Lagi, air mata ini meluncur begitu saja. Setelah menangis ria dengan
Mina-chan di kampus tadi, entah kenapa nyeri itu masih terasa. Tak mudah bagi
gadis sepertiku untuk melupakan semuanya. Kau ingat? Ya, aku hanyalah seorang
gadis yang selalu berlebihan dalam hal apa pun. Dan kau lihat? Inilah aku
sekarang. Hanya karena menyimpan sebuah harapan pada seorang hoobae, hatiku
remuk begitu saja. Cih, kenapa harus seperti ini? Bukankah aku pernah mengalami
hal serupa—dengan luka yang lebih menyakitkan? Lalu mengapa aku rapuh hanya
dengan satu sayatan saja?
Bergegas aku menutup wajah dengan telapak tangan, membiarkan tangis
itu menggema lagi di antara heningnya malam. Masih terpatri jelas di dalam
ingatanku kala Jeon Jungkook berjalan mesra dengan hoobae-ku yang lain.
Ya ... Tzuyu-chan! Dulu Mina pernah mengenalkanku pada gadis imut itu. Namun
sekarang, mampukah aku untuk membencinya? Membenci Tzuyu-chan? Membenci gadis
baik seperti dia?
Tidak, Nayeon-ssi! Kau terlalu naif jika harus menjadikan Tzuyu
sebagai alasan atas kebencian di dalam hatimu. Tidak dan jangan lagi! Mungkin
... ya, mungkin aku yang terlalu berharap. Bukankah Jungkook termasuk orang
beruntung karena bisa mendapatkan Tzuyu? Akankah dia beruntung juga jika bisa
bersanding bersamaku? Hahaha ... bodoh! Kenapa kau terus mengemis agar dunia ini
memihak kepadamu, Nayeon-ah! Sadarlah! Semuanya sudah jelas! Dia bukan milikku
... ya! Jungkook bukan milikku ....
Tak sampai lima menit jeritan kalbu itu menggema, tangisku
tiba-tiba saja berhenti. Sebuah deritan dari ponsel berhasil membuat semuanya
kembali normal dalam seketika. Namun saat isi ponsel tersebut berbicara, aku
tidak yakin apakah aku masih ingin hidup esok hari. Jungkook-sii ... kenapa?
“Annyeong, nuna! Kenapa kau tidak membalas pesanku, eoh?”
Dengarlah suara itu, betapa rindu ini memekat kala dia berucap.
“Oh iya, tadi di kampus aku tidak melihatmu. Kau ke mana saja,
nuna?”
Bagaimana mungkin kau bisa melihatku, sementara pandanganmu hanya
tertuju pada gadis itu?
“Nuna ... aku punya berita yang sangat membahagiakan! Bagaimana
kalau malam ini kita jalan-jalan? Aku akan meneraktirmu eskrim! Hehe ...”
Persetan. Bolehkah aku berkabung untuk berita itu?
“Nuna, kenapa kau tidak menjawab? Kau baik-baik saja, kan?”
Tidak, Jungkook-ssi. Aku tidak baik-baik saja. Aku sangat tidak
baik-baik saja!
“Nuna?”
Sebisa mungkin aku menetralisirnya, sekuat mungkin aku menahannya,
demi melontarkan sebuah kalimat, “Ne, Jungkook. Waeyo?”
“Syukurlah kau baik-baik saja. Tadinya kukira kau sedang sakit,
nun.”
Aku memang sedang sakit, di dalam sana.
“Waeyo? Kenapa kau mengajakku jalan-jalan selarut ini?” tanyaku
pelan, berusaha ceria ... seperti biasa.
“Aku punya berita besar, nun. Aku ingin merayakan kebahagiaan ini
bersamamu. Sepuluh menit dari sekarang, oke? Aku akan menunggu di kedai eskrim
langganan kita. Annyeong~”
Plip! Sambungan terputus. Aku menjauhkan alat komunikasi tersebut
dari telinga. Bahkan air mata bekas tadi saja belum surut. Dan kau berencana
untuk menambahnya?
Sekali lagi kutatap mawar merah yang hampir layu. Mawar itu ... hal
pertama yang kau berikan padaku, apakah tak berarti apa pun?
***
“You love me, you love me not, you love me, you love me not, you
love me ... you love me not, you love me ....”
Sudah hampir dua puluh menit aku terduduk di bangku halte ini.
Kalimat tak berguna yang sedari tadi terucap nyatanya mampu membuat pendirianku
melemah. Lagi dan lagi, kupetik kelopak kering kemerahan itu hanya demi sesuatu
yang sudah pasti. Mengapa? Mengapa aku seperti ini? Berharap sebuah keajaiban
untuk memutarbalikan keadaan. Mengapa? Mengapa aku sebodoh ini? Menunggu ia
datang ... berharap memiliki pandangannya secara utuh; hanya untukku.
“You love me not, you love me ...” Terus seperti itu, dan saat
jariku sampai di kelopak terakhir ... “you love me not.”
Selesai. Semuanya sudah jelas sekarang. Lalu apa yang masih
kuharapkan? Kenapa mata ini perih? Kenapa bibir ini mengeluarkan isakkan?
Kenapa ruang itu menjadi sesak? Padahal tak ada benda apa pun di dalamnya.
Pedih! Ini menyakitkan!
“Nuna!”
Seseorang menyeru. Segera kuhapus air mata yang membasahi pipi. Dan
saat aku menoleh, tidak salah lagi.
“Jeon Jungkook?” ucapku parau.
Tidak! Jangan menghampiriku! Tetaplah di posisimu, Jungkook-ah.
Jangan membuat semuanya menjadi lebih sulit. Jangan keegoisanku kembali menjelma.
Tidak dan jangan! Kumohon!
“Nuna, waeyo?”
Lihatlah bagaimana perlakuanmu. Kenapa kau menangkup pipiku? Kenapa
kau melemparkan tatapan khawatir itu padaku? Kenapa?
“Nuna, kenapa kau menangis, eoh? Apakah ada orang yang
mengganggumu?”
Bodoh! Jangan tanyakan apa pun! Kau malah membuat tangis ini
semakin menjadi, Jungkook-ah. Bodoh!
“Nuna¾”
“Jungkook-ah ... bisakah kau hentikan perhatian itu?” Meski
terdengar rendahan, meski terdengar menyakitkan, izinkan aku untuk mengakhiri
semuanya. Izinkan aku untuk mengubur mimpi ini, Jungkook-ah.
“Nuna ... wae? Apa yang terjadi denganmu? Bukankah kita berencana
untuk makan eskrim?”
“Cih ...” entahlah, sebuah cibiran meluncur begitu saja. “Itu hanya
rencanamu, Jungkook-ah. Kau selalu bertindak semaumu. Kau selalu mengekangku,
menyebabkanku mau tidak mau harus menuruti segala sesuatu yang kau inginkan!”
Meledak! Gejolak itu berdebum untuk yang kesekian kalinya. “Bahkan kau
memaksaku untuk menerima bunga mawar itu! Kenapa? Kenapa kau melakukan semua
ini padaku, Jungkook-ah? Kenapa kau menyemai perasaan itu tanpa ada niatan
untuk menuainya?” Tercekat. Tangisku kembali pecah. Bahkan setelah
mengungkapkan semuanya, rasa sakit itu tetap aja menancap.
“Nuna ... apa maksudmu? Kenapa kau ...?”
Sejenak aku larut dalam tangis. Tapi aku tahu, aku harus segera
mengakhirinya. Kuatur napas ini demi meredam amarah yang terurai.
“Jungkook-ah ... pergilah,” ujarku pelan. “Jangan menemuiku lagi.”
“Nuna, kenapa kau¾”
“Ini bukan sebuah permintaan,” selaku cepat, “ini sebuah perintah.
Jadi tolong, menghilanglah. Berbahagialah bersamanya.” Sekuat mungkin aku
mengucapkan kalimat bodoh itu, kalimat yang sebenarnya sangat tak ingin aku
lontarkan. Namun, ini demi kebaikan semua. Atau mungkin ... demi kebaikanku
saja?
“Jadi, kau sudah mengetahui semuanya?” tanyanya pelan.
Tentu saja, bodoh! Karena hal itulah yang menyebabkanku menjadi
seperti ini!
“Pergilah, Jungkook-ah, kumohon! Jangan pedulikan aku lagi. Biarkan
aku sendiri ...” Tak kuasa, bendungan air mata itu kembali tumpah. Tetapi kali
ini lebih tenang.
“Nuna ...”
Aku bangkit dari duduk seraya menghapus air mata. Untuk terakhir
kalinya aku menatap setiap inci wajah itu. Hidungnya, matanya, bibirnya, serta
gigi kelinci yang sangat kusuka ... semua akan kuhapus begitu saja.
Seraya tersenyum getir, kulangkahkan kakiku untuk menjauhi halte.
Ya, aku tidak yakin apakah aku ingin hidup untuk esok hari. Aku tidak yakin
apakah aku masih memiliki kapasitas udara untuk esok hari. Aku tidak yakin! Bahkan
yang lebih membuatku tidak yakin adalah ketika tangan seseorang menarikku lalu
membawaku ke dalam pelukannya, membiarkan air mata itu tumpah di sana;
seluruhnya. Satu hal yang aku yakin, ini bukan Jeon Jungkook. Seseorang yang
merelakan dadanya untuk kutangisi ... bukanlah Jeon Jungkook.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~FIN~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Oh God ... akhirnya FF ini selesai juga^^)/
By the way, besok gue masih ada ujian inggris sama fisika. Tapi
karena tangan gue gatel, terus guenya lagi baper(apa hubungannya?), jadi gini
deh hasilnya>,< wkwk.. Alasan gue kenapa gue ngambil cast JungNay atau
KookNay alias Nayeon sama Jungkook itu karena mereka bias gue. Tapi di sini gue
sengaja gak nunjukkin Jungkook banget. Why? Karena gue punya seseorang lagi
yang gue kira bakal cocok kalau dicoupelin sama Nayeon. Wkwk. Oh iya, gue juga
masih bingung kalau pake nick buat author :v mening Phantom, afPhantom92, atau
mening nama asli aja kayak di cerpen-cerpen? Muehehe~
Intinya semoga malam kalian menyenangkan ya~ jangan lupa put a
comment below ©
kritik dan saran readers sangat saya butuhkan© Night~^^
Tag: FF Nayeon
Twice, FF Jungkook BTS, FF Twice, FF BTS, FF Bangtan Boys, FF JungNay, FF
KookNay, FF hurt-romance KookNay, FF hurt-romance JungNay
2 komentar:
Aku kira si Jungkook cuman pura2 jadian sama Tzuyu ...
Tpi kerennn bgtt authorrr kekeke maknae couple :D
annyeong Ayumi^^ kkk engga, waktu itu aku kepikirannya jungkook ceritanya emang jadian sama tzuyu^3^ gomawo untuk commentnya ayumi^^)/ *hug*
Posting Komentar