An Enemy
Cr: google |
“Dasar
asin!”
“Dasar
lekong!”
“Asin
...!”
“Le¾”
“Stop!” sergah seseorang. “Kalian ini
kenapa, sih? Dari tadi kerjaannya adu mulut terus! Kapan bisa selesainya,
coba?” gerutu Mita seraya melempar tatapan tajam ke arahku dan ke arah ... lekong di sampingku.
Aku
memajukan bibirku seraya melipat tangan di depan dada. Ya, kami sedang berada
di rumah Mita untuk mengerjakan tugas kelompok Bahasa Indonesia. Dan aku sangat
tidak beruntung kali ini. Mengapa? Karena kini aku harus berada dalam kelompok
yang sama dengan musuh bebuyutanku.
Lekong! Yup, begitulah aku
memanggilnya. Kalian tahu apa arti dari kata tersebut, kan? Dalam kultur
daerahku, lekong sering diartikan
sebagai anak laki-laki yang memiliki sifat seperti perempuan. Dan kau tahu
kenapa aku memanggil anak laki-laki di sampingku dengan sebutan itu? Ya ...
karena dia sering bergaul dengan anak-anak gadis. Oh, jangan lupakan juga
penampilan ‘rapi’nya setiap datang ke sekolah. Dia benar-benar penerus bangsa
yang terlalu ‘disiplin’.
“Habis,
ini anak ngajak perang mulu!”
Nah,
kan! Yang mulai duluan siapa, yang nyalahin siapa! Aku mendelik ke arah Ahmad
yang sedang membenarkan letak kacamatanya. Dia benar-benar seorang culun yang
tidak tahu malu! Menyalahkan seseorang atas kesalahannya sendiri? Hell, please!
“Apaan,
sih, orang dia yang ngeledek duluan!” belaku tak mau kalah. Mengingat Ahmad
adalah musuh bebuyutanku dari TK, tentu saja perang yang sudah berlangsung
selama hampir sepuluh tahun ini tidak boleh dimenangkan olehnya.
“Makanya
kalau ngerjain tugas itu yang bener! Otak lo disimpen di mana, sih?” seloroh
Ahmad bak anak gadis yang sedang kedatangan bulan. Me-nye-bal-kan.
Aku
hanya merengut menanggapi perkataannya. Sekilas aku melirik Mita—ia hanya
menggelengkan kepala beberapa kali seraya tersenyum kecut.
“Sumpah,
ya! Gue kira hidup gue bakal barokah karena gue sekelompok sama anak-anak
jenius kayak kalian. Tapi nyatanya apa? Kejeniusan kalian itu kelewatan tahu,
gak?” Mita mulai melemparkan amarahnya lagi.
Aku
pun kembali memajukan bibirku seraya meraih laptop yang sedari tadi menganggur
di antara kami. “Iya, iya ... gue kerjain, gue kerjain ...,” gurauku seraya
melanjutkan karya tulis kami yang sempat tertunda.
Kulihat
Ahmad sedikit terkekeh saat menyaksikan ‘kekalahanku’ atas amarah Mita. Ya ...
apa boleh buat. Kali ini aku harus melupakan sejenak status ‘musuh bebuyutan’
kami. Hanya di depan Mita. Ya ... hanya di depan gadis itu. Selebihnya, aku
tidak boleh kalah lagi dari anak laki-laki menyebalkan seperti Ahmad. Tidak boleh!
Sampai kapan pun tidak boleh!
***
Jam
tanganku menunjukkan pukul lima sore. Aku bisa sedikit menghela napas lega
setelah menyelesaikan tugas kelompok kami. Hasilnya, perfect! Bahkan Mita tak melemparkan sorotan tajam lagi setelah
membaca ulang hasil kerja keras kami.
Aku
pun meraih tas punggung yang tergeletak di teras, mengenakan sepatu, lalu
berpamitan kepada Mita untuk pulang. Dan oh, aku melupakan seseorang
yang—menurutku—selalu meniru gayaku.
Ahmad!
Argh ... kenapa rumahku harus satu arah dengannya? Ralat. Kenapa rumahku harus
bersebelahan dengan rumahnya?
“Sin,
besok ada PR Kimia, kan?” tanyanya seraya menyamakan langkah denganku.
“Ada,”
jawabku cuek.
“Pasti
lo gak bisa ngerjain soal nomor delapan! Iya, kan?”
Aku
tersentak. Bagaimana ia bisa tahu?
“Hahaha
....” Tiba-tiba Ahmad menggelak tawanya—yang menurutku terdengar menyebalkan.
“Apaan,
sih, lo!” bentakku.
“Haha
... lucu aja! Masa ranking satu gak bisa ngerjain soal yang begituan!” ujar
Ahmad. Aku tahu, itu adalah sebuah sindiran.
Ya
... harus aku akui, untuk semester ini aku mendapatkan peringkat pertama di
kelas. Tapi entah untuk semester selanjutnya. Karena kau tahu kenapa? Ahmad!
Dialah satu-satunya ancaman terbesarku dalam meniti karir pendidikkan. Sejak
sekolah dasar dulu, posisi peringkat kami selalu berubah-ubah. Terkadang aku
mendudukki peringkat pertama, tapi tak lama kemudian posisi itu akan direbut
oleh anak laki-laki berkacamata di sampingku ini. Sungguh, perang yang tak akan
ada habisnya!
“Lo
ngeledek gue?” Aku melemparkan tatapan tajam ke arah Ahmad.
“Ih
... serem ...! Haha!” ujar Ahmad seraya mengambil langkah seribu.
“Stop laughing, Ahmad!” bentakku. “Stop there! I will kill you!” Aku pun
mengejar anak culun—menyebalkan—itu. Awas saja, aku akan menjadi mimpi buruk
bagimu, Ahmad ....
***
Bukalah lembaran baru. Begitulah
ucapan orang-orang saat menemukan sebuah kehidupan baru yang lebih cerah di
depan mata mereka. Mungkin, aku juga harus mengucapkan kata-kata itu.
Ujian
sekolah menengah pertama telah berakhir, dan libur panjang pun telah kulewati
dengan suka hati. Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri di sebuah bangunan SMA
favorit yang ada di kawasan Banjaran, Bandung.
Masa
orientasi telah berlalu ... teman lama pun telah berlalu. Kini yang ada di
depanku hanyalah segudang rumus yang akan mengantarkanku menuju kehidupan yang
lebih baik; yang selalu aku impikan. Tak
ada waktu untuk mengkhawatirkan apa pun. Begitulah prinsipku saat pertama
kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Aku harus belajar. Aku harus berjuang
lebih keras lagi. Karena apa? Karena musuh bebuyutanku ... masuk ke sekolah
ini. Apakah itu mengejutkan? Tentu saja tidak. Karena yang mengejutkan adalah
... dia berada di kelas yang sama denganku.
Hari-hari
kulewati tanpa terlepas dari buku bacaan. Teman-temanku bilang, aku terlalu
rajin. Tapi ini untuk masa depanku. Untuk membuktikan bahwa aku bisa
mempertahankan posisiku agar tetap menjadi nomor satu. Ambisius? Mungkin. Tapi
sekali lagi, ini demi mengalahkan si anak culun berkacamata itu.
Anyway, aku menemukan sebuah keganjilan
saat menginjak bangku SMA. Ahmad. Laki-laki itu tak pernah menggangguku lagi.
Ia tak pernah mengataiku ‘asin’ lagi. Ia juga tak peduli jika nilai ulangannya
lebih rendah satu angka dariku. Bahkan, kami tak pernah pulang bersama lagi.
Padahal aku sangat merindukan momen itu. Saat-saat di mana kami beradu argumen
di dalam bus, saat di mana kami saling melempar ejekan tiap bertemu di sekolah,
saat di mana kami selalu berlomba untuk menjadi ranking satu. Semua itu lenyap
dalam seketika. Apakah ia sudah mengaku kalah? Oh ... ayolah! Bahkan perang
belum berakhir!
“Mad,
gue mau ngomong sama lo!” ujarku seraya menghampiri bangkunya. Aku sudah tak
bisa menahan ribuan pertanyaan yang semakin menumpuk di dalam otak ini.
Ahmad
melemparkan tatapan bingung ke arahku. Dasar
bodoh. Tak bisakah dia berbicara sedikit saja?
“Kenapa
lo jadi kayak gini?” tanyaku to the
point. Aku tidak mau membuang-buang waktu dengan basa-basi yang biasa
dilakukan oleh orang kebanyakan.
“Maksud
lo?” tanya Ahmad. Suara itu berubah menjadi lebih berat dan ... terdengar
dewasa?
“Kenapa
lo jadi kayak gini, sih? Dulu kita selalu berlomba-lomba buat dapet peringkat
pertama. Dulu kita sering ngelempar ejekan satu sama lain. Tapi semenjak masuk
SMA, kenapa lo jadi kayak gini?” tanyaku bertubi. Ada sebuah lengkungan heran
yang tercipta di dahi Ahmad. “Lo berlagak seakan lo gak kenal sama gue.
Kenapa?” Kini nada bicaraku mulai meninggi, membuat beberapa anak yang ada di
dalam kelas langsung tenggelam dalam bisikkan-bisikkan.
Ahmad
bangkit dari duduknya tanpa melihat ke arahku. “Ikut gue,” ucapnya dingin.
Keningku
mengerut. Sangat tidak bisa dipercaya! Kenapa Ahmad bersikap seperti itu?
Aku
terus mengikuti langkah lebar Ahmad. Sedikit lelah memang. Tapi rasa penasaran
membuatku lupa akan status kami—sebagai musuh—sejenak. Sampai akhirnya, lelaki
di depanku menghentikan langkahnya di halaman belakang gedung sekolah.
“Ngapain
sih, kita ke sini?” tanyaku sembari mengatur ritme pernapasan.
“Maafin
gue, Nis.”
“Hah?
Maksud lo?” Alisku bertaut. Kini sepasang mata Ahmad tertuju ke arahku. Tepat
ke arahku.
“Gue
tahu, gak seharusnya gue ngerasain hal ini. Terutama sama orang jenius kayak
lo. Tapi gue juga baru menyadari hal itu.”
“Lo
ngomong apaan, sih! Gue gak ngerti, tahu!” ujarku ketus seraya melipat kedua
tangan di depan dada.
“Dulu
... selama gue gangguin lo, selama gue jadi musuh lo, entah kenapa gue selalu
pengen ngejailin elo, Nis. Gue gak tahu kenapa. Tapi perasaan itu selalu ada.
Gue pengen terus ada di deket lo.” Terdengar sebuah helaan lembut dari bibir
Ahmad. “Lama-lama, perasaan itu semakin kuat. Gue gak bisa tidur, gue gak bisa
belajar, gue gak bisa ngapa-ngapain selain mikirin gimana caranya supaya gue
bisa deket terus sama lo. Dan lo tahu apa yang gue dapet?”
Aku
menggeleng.
“Gue
... suka sama lo.”
“Apa?”
Suaraku tercekat. “Haha, lo jangan bercanda, Mad! Gak lucu, tahu!” ujarku
seraya tertawa garing.
“Inilah
alasannya kenapa gue ngejauhin elo. Gue gak mau prestasi lo nurun hanya karena
hal bodoh ini,” lanjut Ahmad dengan nada serius. “Sekarang, lo udah tahu
semuanya, kan? So, can we just go on and
forget this stupid conversation?” Sepasang manik kecokelatan di balik
kacamata itu menatap lembut ke arahku. Dan dalam detik berikutnya, tubuh ini
sudah berada dalam dekapan seseorang. Ralat. Tubuh ini ... mendekap seseorang.
“Please, just be my enemy. Jangan jaga
jarak dari gue, Mad. Gue gak suka,” lirihku dalam dekapannya. “Lo cuma perlu
ngeledek dan bersaing sama gue lagi! Jangan pernah menjauh! Lo satu-satunya
orang yang bisa ngertiin gue!”
Kurasakan
anggukan kepala Ahmad di pundakku.
“Yes. I will be your sweet enemy. Lets study
hard and get the top place. I love you ... Asin ....”
Bug!
“Aw
... kenapa lo nonjok perut gue?” ringis Ahmad seraya memegangi perutnya.
“Nama
gue Nisa! N-i-s-a! Bukan A-s-i-n! Ngerti? Dasar lekong! Haha ....” Aku berlari meninggalkan Ahmad seraya tertawa
puas. Kulihat ia juga berusaha mengejarku seraya mengeluarkan umpatan-umpatan khas perempuannya. Ah ... aku merindukan
hal itu. Hidup memang penuh dengan kejutan. Well,
berjanjilah untuk tetap menjadi musuhku, Mad. Sampai lulus nanti ....
FIN
Cerpen ini adalah salah satu cerpen yang tergabung dalam buku antologi Romantic Story yang diterbitin sama AE Publishing taun kemarin. Thankyou for coming^^ Please leave some critics below gomawo!^^ *bow*
0 komentar:
Posting Komentar