Tidak pernah terlintas dalam pikiran Ratih, jika merantau ke tanah seberang akan membawanya dalam malapetaka. Niat suci untuk menuntut ilmu dan menjadi kebanggaan warga desa, kini luntur karena sebuah benda kecil di genggamannya.
Dua garis merah. Dan itu cukup untuk menghancurkan hidupnya beberapa tahun ke depan.
"Aku hamil," ucapnya kala itu.
Hanya delikan tajam yang ia dapat sebagai respon. Tak ada simpati sedikit pun di mata kekasihnya. Malah, lelaki pemilik darah campuran itu mendengus sebelum dengan entengnya menjawab, "Nanti gue beliin obat buat aborsi."
Bukan kalimat itu yang Ratih ingin dengar. Sudah cukup ia termakan janji palsu yang diutarakan Dias. Sudah cukup ia terjebak dalam hubungan tak sehat seperti ini. Dan sekarang laki-laki itu malah menyuruh Ratih untuk membunuh bayinya sendiri?
Sudah gila. Tentu saja Ratih menolak. Dosa yang ia tumpuk mungkin sudah melebihi puncak gunung. Dia tidak berniat menambahnya dengan membunuh janinnya sendiri. Jika kekasihnya tidak mau bertanggung jawab, maka jalan satu-satunya adalah menghubungi orangtua Dias.
Namun ia tidak pernah tahu jika penolakan dari sebuah keluarga akan sangat menyakitkan. Orangtua Dias menolaknya mentah-mentah. Dan lelaki itu menjauh, bertindak seolah hubungan di antara mereka tidak pernah terjadi. Beberapa kali Ratih melihatnya menggandeng perempuan baru. Dan ketika Ratih mengamuk, Dias malah mengusirnya bagaikan benalu.
Putus asa, Ratih teringat perkataan Dias. Ia mencoba melenyapkannya. Berolahraga berlebihan, menenggak beberapa botol alkohol, bahkan memakan buah yang mitosnya dapat menggugurkan kandungan.
Sayangnya, perut Ratih makin membesar. Cibiran dari setiap sudut bisa ia dengar. Makian dari penghuni kost tak bisa dihindari. Bahkan ia mendapat hadiah dari kampus yang menyatakan bahwa ia telah didepak.
Adakah bagian kecil di dunia ini yang masih mau menerima dirinya? Jika tidak, maka lebih baik ia mati saja.
"Jangan khawatir. Kalau ada apa-apa, aku janji bakal nikahin kamu."
Pembual ulung. Perkataan Dias kala itu masih terngiang di telinganya. Seharusnya ia tidak boleh terjerat dalam rayuan Dias sejak awal. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan itu membuat ia semakin frustrasi.
Seutas tali tambang sudah mengalung indah di sekitar lehernya. Sudah diputuskan, ia akan mati hari ini. Kala kakinya hendak menendang satu-satunya tumpuan, tiba-tiba dering ponsel di ruangan itu terdengar.
Dengan berat hati, Ratih turun dari kursi dan menggapai benda itu. Mungkin ia akan menangguhkan waktu kematiannya beberapa menit ke depan. Saat melihat layar ponsel, beberapa pesan dan panggilan tak terjawab muncul di sana. Penasaran, akhirnya ia membuka kotak pesan sambil berurai air mata.
"Nak, Bunda sudah dengar kabar dari salah satu temenmu. Jangan sedih, jangan nangis. Besok Bunda bakal jemput kamu. Jangan mikir aneh-aneh ya, Sayang? Inget, Ratih masih punya Bunda di sini."
Sesak di dada tak terelakkan. Derasnya air mata tak bisa ia sanggah. Diam-diam ia merasa bersyukur karena masih ada orang yang mau menerimanya.
Bunda .... Berkali-kali ia menggumamkan panggilan itu. Sebersit rasa bersalah menyelimuti hati Ratih. Orang yang selama ini tak pernah ia anggap ada, malah menjadi satu-satunya tujuan untuk ia kembali.
Ratih kembali membaca pesan tersebut untuk kemudian tenggelam dalam tangis.
"Nak, darah kita boleh tidak sama. Tapi sampai kapan pun, kamu akan tetap jadi putri kesayangannya Bunda."
note : cerita ini sempat diikutsertakan dalam kompetisi menulis Koru.