ALVIA
Oleh: Annisa Febriyati Sari
Note: Cerpen ini pernah diikutkan lomba dan gak kepilih -_- Oke, segitu aja :P
***
“Farid...!”
Aku
menoleh. Segera kuseka bekas air wudlu yang bercucuran di pelipisku. Ternyata
Iwan, teman semejaku di kelas. Ia berlari ngos-ngosan ke arahku.
“Ada
apa, Wan?” tanyaku bingung.
“Ini
berita bagus, Rid! Kamu harus tahu! Berita ini pasti bakal membuatmu nge-fly!” ujar Iwan sembari menepuk-nepuk
pundakku.
“Memang
berita apa, sih? Sampai segitunya!” cibirku, bercanda. Lalu aku melengos
memasukki pelataran masjid, siap untuk melaksanakan sholat dzuhur.
“Hey,
ini bukan hal sepele! Dengerin dulu, dong!” ujar Iwan ngotot, menahanku untuk
memasukki masjid.
“Kamu
ini! Sudah wudlu belum? Lihat, ini sudah jam berapa!” aku menunjuk jam dinding
masjid yang tertempel di dekat tembok mimbar. “Habis ini kita masih ada satu
jam pelajaran. Kamu gak mau kena marah Ustadz Halim, kan?”
“Aishh!
Dengerin dulu, Rid! Ini penting!” tukas Iwan kekeh.
“Lebih
penting dari sholat, begitu?” alis mataku terangkat, disusul oleh cibiran dari
bibir Iwan.
“Ya
sudah. Aku ambil air wudlu dulu. Jangan dulu sholat!” sergah Iwan. “Aku gak mau
masbuk sendirian.”
Aku
terkikik kecil. Meski aku mengambil air wudlu di awal waktu, tapi tetap saja
akhirnya aku bakalan masbuk gara-gara nungguin Iwan berwudlu. Memang sih,
sohibku yang satu ini terkadang suka susah kalau diajak sholat di awal waktu.
Pengennya ngobrol, jajan, pokoknya alasannya berjibun.
“Yuk,
Rid!” seru Iwan setelah mengambil air wudlu. Kami pun masuk untuk bermunajat
kepada-Nya.
***
Usai
melaksanakan sholat dzuhur, Iwan yang berada di shaf belakang langsung
menghambur ke arahku.
“Rid,
kamu tahu nggak?”
“Apa?”
tanyaku kalem.
“Tapi
kamu jangan kaget, ya! Terus jangan nge-fly
juga!” kata Iwan was-was.
Aku
hanya mengangguk kalem.
“Ekhm...
Jadi gini, kamu terpilih buat ikutan olimpiade,” aku membulatkan mata saat Iwan
berkata demikian. “Dan..., Alvia juga kepilih!”
“Apa???
Yang benar kamu, Wan?” kini mataku semakin membulat saat nama ‘Alvia’
terlontar. Mendadak aku merasakan getaran yang membuat pipiku pegal. Ingin
rasanya aku tersenyum selebar mungkin. Tapi sayang, ada Iwan! Aku tidak
terbiasa untuk meluapkan perasaanku di hadapan orang lain.
“Cieelah.
Wajahmu itu lho, Rid, kayak udang rebus! Haha...”
“Aishh...
Sudah, sudah. Mending kita ke kelas sekarang, yuk!”
Aku
langsung bangkit tanpa menunggu persetujuan Iwan, dan langsung ngacir ke kelas
dengan sepatu yang aku tenteng. Dalam hati, perasaan bahagia begitu
meletup-letup. Sujud syukurku atas nikmat-Mu Yaa Rabb, karena Engkau telah
mengizinkanku untuk menjadi perwakilan sekolah ini dalam mengikuti olimpiade.
Pun, tak habis rasa bahagiaku saat gadis yang selama ini mencuri hatiku
ternyata juga terpilih untuk mengikuti olimpiade.
Ahh,
Alvia... Mungkinkah kita ditakdirkan untuk...? Tidak, tidak! Jangan berpikir
seperti itu, Farid! Belum saatnya!
“Hayoo,
Rid! Kamu mikirin Alvia lagi, kan?” goda Iwan sambil cengengesan.
“Aihh...
Kamu hobi banget ngisengin orang. Siapa juga yang mikirin dia!” sangkalku
cepat. Dan Wahai Rabbi, kenapa jantung ini seakan ingin melompat saat namanya
disebut?
“Sudahlah,
Rid. Aku ini sahabatmu. Aku tahu perasaanmu sekarang.” Iwan menepuk-nepuk
bahuku. Senyumnya benar-benar lebar. Ya, kali ini dia berhasil menggodaku.
***
Awan
di ufuk barat kini mulai berubah orange. Seiring berputarnya detik sang waktu,
lembayung itu pun perlahan mulai berganti pekatnya malam. Lantunan ayat-ayat
Illahi menggema indah di setiap sudut masjid. Ya, sholat isya telah selesai
ditegakkan. Dan kini, giliran para santri untuk melaksanakan belajar malam.
Aku
mengambil tempat paling pojok di beranda masjid. Besok bagaikan hari eksekusi.
Jadi aku harus belajar mati-matian malam ini. Argh, sungguh frustasi! Setumpuk
buku paket biologi kini berada dalam dekapanku. Bait demi bait wacana itu aku
baca dengan teliti. Setelah berita dari Iwan siang tadi, mendadak aku mendapat
intruksi dari wali kelasku agar terus menghafal. Karena ternyata olimpiadenya
jatuh pada hari esok! Dan na’asnya, aku kebagian pelajaran biologi! Nasib...
nasib. Kalau pelajaran kimia dan fisika, sih, gampang! Tinggal otak-atik rumus
doang! Lha biologi? Hafalan semua!
“Rid...!”
Iwan menghampiriku dan langsung bersila di sampingku.
“Cie
yang mau olimpiade! Ngomong-ngomong, Alvia kebagian pelajaran apa?”
Deg.
Alvia? Alvia kamu bilang?
“Dia
dapet biologi juga,” ujarku mencoba tetap fokus pada buku yang kubaca.
Iwan
terkikik. “Pasti kamu senang bisa olimpiade bareng Alvia!” cetusnya bangga.
Aku
langsung melirik Iwan tajam. “Wan, tolong jangan ganggu!!!” ujarku geram, aku
yakin wajahku pasti memerah. Untung ini malam hari, jadi Iwan tidak bisa
melihat wajahku yang tersipu.
“Hahaha..”
tawa Iwan meledak. “Oke, oke. Aku gak akan ganggu. Ma’annajah ya! Semoga bisa
pedekate tuh, sama si Alvia! Haha...” Iwan langsung lari terbirit.
“IWAAAANNN!!!”
hampir saja aku melemparkan buku kepadanya. Tapi untunglah, aku masih bisa
menahan amarah. Argh, Rabb, kenapa hati ini selalu gelisah kala namanya
disebut?
Besok...
Olimpiade... Bersama Alvia? Sungguh, ini tidak bisa dipercaya! Ya Allah... jika
ini mimpi, bangunkanlah aku! Tapi jika ini bukan mimpi, bolehkah aku...? Ahh,
Alvia. Gadis cantik dengan kerudung putih mengilap. Lengkungan indah yang
selalu menghiasi bibirnya. Bola mata dengan siluet cokelat berkilau... Ya Rabb,
kenapa dia begitu memikat kalbu ini? Jika aku mengutarakan isi hati ini,
akankah dia bersedia untuk menerimanya?
Aihh...
Stop! Stop! Ayo fokus, Rid... Besok soal-soal biologi menantimu!
***
Ini
dia, hari yang aku tunggu-tunggu! Hari yang membuatku gelisah hingga tak dapat
menyuapkan nasi sedikit pun. Tanganku menggenggam kuat buku biologi, sedang
mataku menatap lekat pada sederet tulisan di sana. Setiap rentetan huruf
kubaca, tapi gagal! Salah fokus! Otakku seakan berhenti berfungsi saat wali
kelasku datang menghampiri. Dan dia membawa seorang gadis!
“Alvia?”
ujarku dalam hati.
Aku
langsung menunduk. Sekian menit aku menunggu di ruang guru. Dan kini, Alvia
hadir di hadapanku!
“Rid,
ayo kita berangkat! Lombanya dimulai jam delapan. Mending kalian menghafal di
mobil saja,” kata wali kelasku seraya menatap aku dan Alvia bergantian.
Akhirnya,
kami pun melangkah keluar dari kantor, beranjak untuk menaiki mobil yang sudah
terparkir di depan gedung sekolah. Aku berjalan di depan Alvia. Ahh, bagaimana
perasaan gadis itu? Apakah sama gundahnya denganku?
***
Sekuat
apa pun iman seseorang, tetap saja ia akan tergoda oleh makhluk yang bernama
‘wanita’. Dan begitulah yang aku rasakan! Aku merasa hidupku tenteram dan damai
dalam dekapan-Nya. Sampai aku berjumpa dengan makhluk kiriman-Nya, yang membuat
jantungku berdegup kala namanya terucap.
Ahh,
kenapa soal-soal ini terasa sulit bagiku? Padahal semalam aku habiskan hanya
untuk menghafal. Tapi hasilnya? Nama-nama ilmiah, nama-nama penyakit, kemanakah
mereka semua? Kenapa hanya ada nama Alvia di otakku?
Haihh?
Alvia? Tunggu! Aku menulis nama Alvia di kertas jawabanku? Tidak, tidak! Otakku
benar-benar rusak!
Aku
melirik sekeliling, berharap mendapat pinjaman penghapus. Karena bodohnya, aku
mengikuti lomba ini hanya bermodalkan otak dan sebatang pensil saja. Tak
terlintas sedikit pun di pikiranku bahwa aku akan membuat kesalahan sefatal
ini!
Anak-anak
dari sekolah lain begitu tekun dengan soal biologi. Dan aku tidak mengenal
mereka! Bagaimana aku bisa pinjam penghapus kalau begini keadaannya? Dan
satu-satunya orang yang bisa kupinjami penghapus hanyalah gadis berkerudung
putih yang duduk di sebelah mejaku. Meski ragu, meski pacu jantung ini
menggebu, aku kuatkan hatiku untuk memanggil namanya.
“A...Alvia!”
berhasil! Aku memanggilnya! Aku memanggil namanya!
Alvia
menoleh dengan tenang. “Iya?”
Aku
pun menggerakkan tanganku, sebagai isyarat untuk meminjam penghapus. Tak butuh
waktu lama untuk membuat Alvia mengerti. Aku pun menyuruhnya untuk melemparkan
penghapus itu.
Setelah
menghapus nama Alvia di kertas jawaban, aku merenung sejenak. Merasakan setiap
getaran yang berdebum di lubuk hati ini. Kini,
bukanlah saatnya aku membalas cintamu... Nantikan ku di batas waktu... Mendadak,
alunan lagu nasyid dari Edcoustic bersenandung di telingaku. Aku termenung.
Sekilas kulirik Alvia, dan kumainkan penghapusnya dengan jemariku.
Ya,
aku tahu caranya! Aku tahu cara ungkapkan perasaan ini!
Perlahan,
aku menyobek kertas dari buku yang kujadikan sebagai alas. Pensilku pun
meliuk-liuk pada secarik kertas tersebut. Setelah selesai mengukirnya, aku
melipat kertas itu bersama penghapus dan segera kukembalikan kepada Alvia.
Saat
Alvia menerima kertas tersebut dan membacanya, hatiku benar-benar meleleh!
Apakah keputusanku ini benar Yaa Rabb? Kulihat segurat senyum di bibirnya. Dan
itu membuat hatiku benar-benar bergetar! Dan apa? Dia juga menulis sesuatu di
kertas tadi?
Alvia
melempar kertas tersebut ke arahku. Dan saat kubuka, mataku langsung berbinar.
Senyumku langsung mengembang!
Alvia, nantikan ku di
batas waktu..
Farid, antadziruka~ (Aku
menunggumu~)
0 komentar:
Posting Komentar