Rabu, 15 April 2015

ALVIA~



ALVIA
Oleh: Annisa Febriyati Sari

Note: Cerpen ini pernah diikutkan lomba dan gak kepilih -_- Oke, segitu aja :P
***
“Farid...!”
Aku menoleh. Segera kuseka bekas air wudlu yang bercucuran di pelipisku. Ternyata Iwan, teman semejaku di kelas. Ia berlari ngos-ngosan ke arahku.
“Ada apa, Wan?” tanyaku bingung.
“Ini berita bagus, Rid! Kamu harus tahu! Berita ini pasti bakal membuatmu nge-fly!” ujar Iwan sembari menepuk-nepuk pundakku.
“Memang berita apa, sih? Sampai segitunya!” cibirku, bercanda. Lalu aku melengos memasukki pelataran masjid, siap untuk melaksanakan sholat dzuhur.
“Hey, ini bukan hal sepele! Dengerin dulu, dong!” ujar Iwan ngotot, menahanku untuk memasukki masjid.
“Kamu ini! Sudah wudlu belum? Lihat, ini sudah jam berapa!” aku menunjuk jam dinding masjid yang tertempel di dekat tembok mimbar. “Habis ini kita masih ada satu jam pelajaran. Kamu gak mau kena marah Ustadz Halim, kan?”
“Aishh! Dengerin dulu, Rid! Ini penting!” tukas Iwan kekeh.
“Lebih penting dari sholat, begitu?” alis mataku terangkat, disusul oleh cibiran dari bibir Iwan.
“Ya sudah. Aku ambil air wudlu dulu. Jangan dulu sholat!” sergah Iwan. “Aku gak mau masbuk sendirian.”
Aku terkikik kecil. Meski aku mengambil air wudlu di awal waktu, tapi tetap saja akhirnya aku bakalan masbuk gara-gara nungguin Iwan berwudlu. Memang sih, sohibku yang satu ini terkadang suka susah kalau diajak sholat di awal waktu. Pengennya ngobrol, jajan, pokoknya alasannya berjibun.
“Yuk, Rid!” seru Iwan setelah mengambil air wudlu. Kami pun masuk untuk bermunajat kepada-Nya.
***
Usai melaksanakan sholat dzuhur, Iwan yang berada di shaf belakang langsung menghambur ke arahku.
“Rid, kamu tahu nggak?”
“Apa?” tanyaku kalem.
“Tapi kamu jangan kaget, ya! Terus jangan nge-fly juga!” kata Iwan was-was.
Aku hanya mengangguk kalem.
“Ekhm... Jadi gini, kamu terpilih buat ikutan olimpiade,” aku membulatkan mata saat Iwan berkata demikian. “Dan..., Alvia juga kepilih!”
“Apa??? Yang benar kamu, Wan?” kini mataku semakin membulat saat nama ‘Alvia’ terlontar. Mendadak aku merasakan getaran yang membuat pipiku pegal. Ingin rasanya aku tersenyum selebar mungkin. Tapi sayang, ada Iwan! Aku tidak terbiasa untuk meluapkan perasaanku di hadapan orang lain.
“Cieelah. Wajahmu itu lho, Rid, kayak udang rebus! Haha...”
“Aishh... Sudah, sudah. Mending kita ke kelas sekarang, yuk!”
Aku langsung bangkit tanpa menunggu persetujuan Iwan, dan langsung ngacir ke kelas dengan sepatu yang aku tenteng. Dalam hati, perasaan bahagia begitu meletup-letup. Sujud syukurku atas nikmat-Mu Yaa Rabb, karena Engkau telah mengizinkanku untuk menjadi perwakilan sekolah ini dalam mengikuti olimpiade. Pun, tak habis rasa bahagiaku saat gadis yang selama ini mencuri hatiku ternyata juga terpilih untuk mengikuti olimpiade.
Ahh, Alvia... Mungkinkah kita ditakdirkan untuk...? Tidak, tidak! Jangan berpikir seperti itu, Farid! Belum saatnya!
“Hayoo, Rid! Kamu mikirin Alvia lagi, kan?” goda Iwan sambil cengengesan.
“Aihh... Kamu hobi banget ngisengin orang. Siapa juga yang mikirin dia!” sangkalku cepat. Dan Wahai Rabbi, kenapa jantung ini seakan ingin melompat saat namanya disebut?
“Sudahlah, Rid. Aku ini sahabatmu. Aku tahu perasaanmu sekarang.” Iwan menepuk-nepuk bahuku. Senyumnya benar-benar lebar. Ya, kali ini dia berhasil menggodaku.
***
Awan di ufuk barat kini mulai berubah orange. Seiring berputarnya detik sang waktu, lembayung itu pun perlahan mulai berganti pekatnya malam. Lantunan ayat-ayat Illahi menggema indah di setiap sudut masjid. Ya, sholat isya telah selesai ditegakkan. Dan kini, giliran para santri untuk melaksanakan belajar malam.
Aku mengambil tempat paling pojok di beranda masjid. Besok bagaikan hari eksekusi. Jadi aku harus belajar mati-matian malam ini. Argh, sungguh frustasi! Setumpuk buku paket biologi kini berada dalam dekapanku. Bait demi bait wacana itu aku baca dengan teliti. Setelah berita dari Iwan siang tadi, mendadak aku mendapat intruksi dari wali kelasku agar terus menghafal. Karena ternyata olimpiadenya jatuh pada hari esok! Dan na’asnya, aku kebagian pelajaran biologi! Nasib... nasib. Kalau pelajaran kimia dan fisika, sih, gampang! Tinggal otak-atik rumus doang! Lha biologi? Hafalan semua!
“Rid...!” Iwan menghampiriku dan langsung bersila di sampingku.
“Cie yang mau olimpiade! Ngomong-ngomong, Alvia kebagian pelajaran apa?”
Deg. Alvia? Alvia kamu bilang?
“Dia dapet biologi juga,” ujarku mencoba tetap fokus pada buku yang kubaca.
Iwan terkikik. “Pasti kamu senang bisa olimpiade bareng Alvia!” cetusnya bangga.
Aku langsung melirik Iwan tajam. “Wan, tolong jangan ganggu!!!” ujarku geram, aku yakin wajahku pasti memerah. Untung ini malam hari, jadi Iwan tidak bisa melihat wajahku yang tersipu.
“Hahaha..” tawa Iwan meledak. “Oke, oke. Aku gak akan ganggu. Ma’annajah ya! Semoga bisa pedekate tuh, sama si Alvia! Haha...” Iwan langsung lari terbirit.
“IWAAAANNN!!!” hampir saja aku melemparkan buku kepadanya. Tapi untunglah, aku masih bisa menahan amarah. Argh, Rabb, kenapa hati ini selalu gelisah kala namanya disebut?
Besok... Olimpiade... Bersama Alvia? Sungguh, ini tidak bisa dipercaya! Ya Allah... jika ini mimpi, bangunkanlah aku! Tapi jika ini bukan mimpi, bolehkah aku...? Ahh, Alvia. Gadis cantik dengan kerudung putih mengilap. Lengkungan indah yang selalu menghiasi bibirnya. Bola mata dengan siluet cokelat berkilau... Ya Rabb, kenapa dia begitu memikat kalbu ini? Jika aku mengutarakan isi hati ini, akankah dia bersedia untuk menerimanya?
Aihh... Stop! Stop! Ayo fokus, Rid... Besok soal-soal biologi menantimu!
***
Ini dia, hari yang aku tunggu-tunggu! Hari yang membuatku gelisah hingga tak dapat menyuapkan nasi sedikit pun. Tanganku menggenggam kuat buku biologi, sedang mataku menatap lekat pada sederet tulisan di sana. Setiap rentetan huruf kubaca, tapi gagal! Salah fokus! Otakku seakan berhenti berfungsi saat wali kelasku datang menghampiri. Dan dia membawa seorang gadis!
“Alvia?” ujarku dalam hati.
Aku langsung menunduk. Sekian menit aku menunggu di ruang guru. Dan kini, Alvia hadir di hadapanku!
“Rid, ayo kita berangkat! Lombanya dimulai jam delapan. Mending kalian menghafal di mobil saja,” kata wali kelasku seraya menatap aku dan Alvia bergantian.
Akhirnya, kami pun melangkah keluar dari kantor, beranjak untuk menaiki mobil yang sudah terparkir di depan gedung sekolah. Aku berjalan di depan Alvia. Ahh, bagaimana perasaan gadis itu? Apakah sama gundahnya denganku?
***
Sekuat apa pun iman seseorang, tetap saja ia akan tergoda oleh makhluk yang bernama ‘wanita’. Dan begitulah yang aku rasakan! Aku merasa hidupku tenteram dan damai dalam dekapan-Nya. Sampai aku berjumpa dengan makhluk kiriman-Nya, yang membuat jantungku berdegup kala namanya terucap.
Ahh, kenapa soal-soal ini terasa sulit bagiku? Padahal semalam aku habiskan hanya untuk menghafal. Tapi hasilnya? Nama-nama ilmiah, nama-nama penyakit, kemanakah mereka semua? Kenapa hanya ada nama Alvia di otakku?
Haihh? Alvia? Tunggu! Aku menulis nama Alvia di kertas jawabanku? Tidak, tidak! Otakku benar-benar rusak!
Aku melirik sekeliling, berharap mendapat pinjaman penghapus. Karena bodohnya, aku mengikuti lomba ini hanya bermodalkan otak dan sebatang pensil saja. Tak terlintas sedikit pun di pikiranku bahwa aku akan membuat kesalahan sefatal ini!
Anak-anak dari sekolah lain begitu tekun dengan soal biologi. Dan aku tidak mengenal mereka! Bagaimana aku bisa pinjam penghapus kalau begini keadaannya? Dan satu-satunya orang yang bisa kupinjami penghapus hanyalah gadis berkerudung putih yang duduk di sebelah mejaku. Meski ragu, meski pacu jantung ini menggebu, aku kuatkan hatiku untuk memanggil namanya.
“A...Alvia!” berhasil! Aku memanggilnya! Aku memanggil namanya!
Alvia menoleh dengan tenang. “Iya?”
Aku pun menggerakkan tanganku, sebagai isyarat untuk meminjam penghapus. Tak butuh waktu lama untuk membuat Alvia mengerti. Aku pun menyuruhnya untuk melemparkan penghapus itu.
Setelah menghapus nama Alvia di kertas jawaban, aku merenung sejenak. Merasakan setiap getaran yang berdebum di lubuk hati ini. Kini, bukanlah saatnya aku membalas cintamu... Nantikan ku di batas waktu... Mendadak, alunan lagu nasyid dari Edcoustic bersenandung di telingaku. Aku termenung. Sekilas kulirik Alvia, dan kumainkan penghapusnya dengan jemariku.
Ya, aku tahu caranya! Aku tahu cara ungkapkan perasaan ini!
Perlahan, aku menyobek kertas dari buku yang kujadikan sebagai alas. Pensilku pun meliuk-liuk pada secarik kertas tersebut. Setelah selesai mengukirnya, aku melipat kertas itu bersama penghapus dan segera kukembalikan kepada Alvia.
Saat Alvia menerima kertas tersebut dan membacanya, hatiku benar-benar meleleh! Apakah keputusanku ini benar Yaa Rabb? Kulihat segurat senyum di bibirnya. Dan itu membuat hatiku benar-benar bergetar! Dan apa? Dia juga menulis sesuatu di kertas tadi?
Alvia melempar kertas tersebut ke arahku. Dan saat kubuka, mataku langsung berbinar. Senyumku langsung mengembang!
Alvia, nantikan ku di batas waktu..
Farid, antadziruka~ (Aku menunggumu~)

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo