Kamis, 02 April 2015

Love Hypothesis 1 nih!^^



Love Hypothesis

Saat cinta datang menghampirimu, aku yakin, kau tak akan pernah bisa menolak. Meskipun kau tahu, cinta itu takkan pernah abadi bagimu. Tapi, kasih sayanglah yang membuatmu yakin untuk memiliki cinta itu, walau hanya sesaat. Hingga sang waktu, tak mengizinkan lagi cinta itu untuk kau miliki.
***
“Setiap raga, pasti punya jiwa. Dan setiap jiwa, pasti membutuhkan energi untuk menghidupkannya.” Begitulah yang aku dengar dari training motivasi beberapa hari lalu. Entah mengapa, kalimat itu seakan menggantung di atas kepalaku. Untaian kata dari sang motivator begitu membuatku bersemangat kala itu. Tapi hanya kata-kata itulah yang sampai sekarang masih kuingat, meskipun aku sendiri belum mengetahui secara pasti apa maknanya.
Aku memang membutuhkan suntikkan motivasi. Karena itu, aku selalu menyempatkan diri untuk menghadiri berbagai training motivasi. Entah mengapa, tapi alasannya bukan karena aku ingin menjadi seorang motivator. Terlebih, karena psikologisku memang mudah terguncang. Apalagi dengan keadaanku yang¾sekarang¾sebatang kara, membuatku selalu merasa sepi dan ketakutan.
Sekarang, aku duduk di bangku kuliah semester tiga, dengan jurusan yang paling kukagumi, yaitu Kimia. Aku masih ingat perkataan teman-teman SMA-ku yang menganggap bahwa Kimia itu adalah pelajaran yang sulit. Tapi menurutku, mereka salah. Kimia tak sesulit yang mereka bayangkan. Menurutku, Kimia itu adalah mata pelajaran yang jujur. Karena terbukti, unsur-unsur yang ada pada tabel periodik itu benar-benar ada di bumi. Bahkan, mereka bisa direaksikan dan membentuk zat baru. Terkadang, unsur-unsur dan zat-zat itulah yang selalu berhasil menghilangkan rasa sepiku. Sampai pada suatu hari, aku menemukan sebuah zat yang tak lazim. Sebuah zat yang aku sendiri tak pernah berani untuk menyentuhnya. Sebuah zat yang berhasil menimbulkan getaran aneh pada seluruh tubuhku. Ya, zat itu merupakan zat gabungan. Zat padat, gas, dan cair, bergabung menjadi satu kesatuan. Bahkan, zat itu pernah menyelamatkanku dari bahaya, sehingga aku jatuh dalam lautan pesonanya.
“Rezim,” begitulah aku menyebutnya. Aku menemukan zat itu sekitar sembilan bulan silam, saat aku hendak mengikuti sebuah training tentang kesehatan. Seperti biasa, aku pergi ke tempat training dengan taksi langgananku.
Masih terekam jelas dalam ingatanku, saat itu masih pukul tujuh malam. Dengan tenang, aku melangkah di atas trotoar yang tak lagi dipenuhi oleh para pedagang kaki lima. Semilir angin malam berhasil membuat tengkukku meremang. Sesaat, pikiranku kacau. Mengingat betapa kejamnya dunia malam, membuatku sedikit ayal untuk menghadiri tempat training.
Dan ternyata, dugaanku benar! Dunia malam memang mengerikan! Secepat kilat, tiba-tiba saja seseorang menyabet tas lenganku. Sontak, aku langsung berteriak dan berusaha mengejar. Tapi sial. Langkah wanita memang tidak selebar langkah pria.
Frustasi, air mataku luruh. Aku tak bisa lagi mengejar pencuri itu. Aku tak peduli dengan tas, uang, ponsel, atau apa pun yang menurut pencuri berharga. Tapi aku membutuhkan dokumen-dokumen yang ada dalam tasku! Dokumen hasil penelitian yang aku lakukan selama berbulan-bulan. Dokumen yang menentukan apakah aku akan lulus ujian universitas atau tidak.
Dengan terisak, aku mendudukkan diri di bangku sebuah halte. Tak peduli lalu lalang orang yang bertanya, aku tetap tersedu. Impianku seakan hancur karena dokumen-dokumen itu telah lenyap! Bodohnya, aku tidak mengarsipkan dokumen itu!
Entah berapa lama aku menangis di halte, sampai kudengar sebuah suara bariton menyeruku lembut.
“Maaf, Nona,”
Aku mendongak. Terlihat jelas sebuah lengkungan indah yang¾aku yakin¾belum pernah menemukannya.
“Ini tas Anda,” ucapnya sembari menyodorkan tasku. “Polisi sudah menangkap pencuri itu.” lanjutnya.
Sejenak aku terkesima. Seorang lelaki tegap berdiri di hadapanku, melontarkan senyum, dan membawakan tas lenganku.
“Darimana Anda tahu ini milik saya?” tanyaku cepat, sembari menghapus air mata.
“Tidak sulit. Kartu identitas, dan tadi aku menyaksikan saat tasmu dijambret.” jawabnya.
“Oh, terima kasih...,” ucapku menggantung.
“Rezim. Panggil aku Rezim.” jawabnya cepat.
“Baiklah, terima kasih... Rezim,”
Lelaki bernama Rezim itu hanya tersenyum. Sebuah senyum yang sesaat mengalihkan fokusku.
“Sepertinya Anda kurang sehat, Nona...?”
“Laila. Jangan panggil aku nona.” aku menyela.
“Baiklah. Sepertinya aku harus mengantarmu pulang.” ujar Rezim.
Aku hanya mengangguk saat menyadari bahwa saat itu sudah jam sembilan malam. Dan aku yakin, training kesehatan telah selesai. Aku tak peduli dengan statusku dan Rezim yang saat itu baru saling mengenal. Yang jelas, aku ingin segera pulang, melepas semua penat sambil meneguk sedikit alkohol. Tapi saat itu, Rezim¾yang membawaku dengan mobilnya¾menyimpang ke sebuah rumah makan.
“Anda terlihat pucat, Nona..., maksudku Laila. Ya, wajahmu pucat. Aku kira kita bisa makan sebentar untuk menambah energimu.” ujar Rezim seraya melempar senyum.
Aku pun menyetujui. Aku rasa, aku telah menemukan objek penelitian baru.
***
Sejak saat itu, aku dan Rezim menjadi dekat. Dan aku baru menyadari bahwa dia satu universitas denganku. Ia mengambil Fisika, dan aku Kimia. Maka dari itu, kami selalu melakukan pertemuan untuk mendiskusikan seputar Fisika atau pun Kimia. Tapi ada satu hal yang membuatku begitu kagum padanya. Pria itu memiliki sepasang manik teduh yang berhasil membuatku hanyut dalam buaian keindahan. Pun, beberapa kali aku mendapati Rezim menatap lekat ke arahku. Dalam hipotesisku, mungkin tatapan itu adalah sesuatu yang istimewa. Mungkin juga, tatapan itu mengartikan sebuah rasa yang bisa saja sama dengan perasaanku. Yang jelas, saat aku menatap Rezim, aku yakin bahwa matanya berbicara¾mengirimkan sinyal-sinyal yang menggetarkan setiap asa.
Kringg... Ponselku berdenting. Sebuah pesan dari Rezim! Dan hal itu selalu berhasil membuat senyumku merekah.
“Datanglah ke Kedai Kopi di seberang supermarket. Aku akan menunggu.”
Segera, aku bangkit dari kasur dan mengganti pakaianku, lalu melaju ke tempat yang telah diberitahukan oleh Rezim.
***
“Kau terlambat Laila,” ujar Rezim saat aku baru sampai.
“Maaf, tadi jalanan sedikit macet jadi...,”
“Bodoh. Aku hanya bercanda! Haha...” Rezim menggelak tawa.
Aku langsung memasang wajah masam. “Dasar!” umpatku.
“Aku sudah memesankan Ice Mocachinno untuk kita berdua. Kau tidak keberatan, kan?” tanya Rezim.
Aku hanya menggeleng seraya tersenyum, lalu duduk bersebrangan dengannya.
Selama beberapa menit, tak ada pembicaraan di antara kami. Rezim tak melepaskan pandangannya dariku. Dan hal itu membuatku tak bisa melakukan apa pun selain membalas tatapannya. Aku yakin. Mata itu berbicara. Mata itu menyimpan sebuah rasa!
“Dua Ice Mocachinno.” tiba-tiba seorang pelayan sudah berdiri di samping meja sambil meletakkan pesanan kami.
“Ekhm.., jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku kemudian.
“Sangat sederhana,” ucap Rezim. “Aku hanya ingin memberikan ini.” lanjut Rezim, sambil memberikan sebuah kotak kecil merah hati.
“Apa ini?” dahiku bertaut.
“Itu..., isi hatiku,”
Deg. Sesaat detak jantungku terhenti. Aliran darahku berdesir cepat. Kurasakan hawa panas yang menerpa pipiku, dan hal itu membuat tanganku gemetar.
“Bukalah.” lanjut Rezim.
Saat aku membuka kotak itu, mataku berbinar. Sebuah cincin dengan hiasan bentuk hati, tersimpan indah di dalam kotak itu.
“Demi Tuhan. Rezim..., apa maksudnya ini?” gelagatku mulai gugup.
“Itu isi hatiku, Laila. Pakailah. Jika tiba saatnya, kita akan bisa bersama, membangun sebuah dermaga cinta.” Perkataan Rezim membuat hatiku bergetar.
“Kau..., mencintaiku?” tak sadar, mulutku bertanya.
Rezim mengangguk, lalu tersenyum. “Nantikan aku, di batas waktu.”
Seandainya jarak kami tidak terhalang oleh meja, mungkin saja aku sudah memeluk Rezim. Ia benar-benar membuat hatiku merekah. Bahkan, lebih merekah dari sekuntum bunga. Ternyata, hipotesisku benar! Tatapan Rezim memang menunjukkan sebuah rasa. Aku kira, aku sudah mendapatkan kesimpulan dari penelitianku.
Kami berpandangan sekali lagi. Dan tak terasa, waktu kami habis hanya dengan sekedar bertatapan. Ice Mocachinno yang ada di meja pun tak tersentuh sama sekali. Mungkin, minuman itu sudah tak dingin. Akhirnya, Rezim angkat bicara dan mengajakku pulang. Ia membayar minuman kami yang tak sempat kami cicipi.
Baru saja selangkah keluar dari pintu kedai, tiba-tiba awan cumulus menumpahkan bebannya. Rinaian air hujan yang dibawa angin berhasil menerpa wajahku, membuatku sedikit menggerutu. Berbeda denganku, Rezim malah membiarkan partikel kristal dingin itu menerpa wajahnya.
“Rezim, ayo masuk ke kedai! Di luar hujan!” ujarku.
“Tidak, Laila. Hujan tak patut kita takuti. Kau belum tahu kenikmatan-Nya, kan? Maka, resapilah...” sekali lagi, perkataan Rezim berhasil membuat hatiku bergetar. Entah kenapa, perkataan pria ini selalu berhasil membuatku luluh. Mungkin, aku memang mencintainya.
Aku pun berdiri di samping Rezim yang sedang menikmati terpaan hujan.
“Kau suka hujan?” tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
“Kalau begitu, sukailah ia mulai sekarang. Karena hujan, juga menyukaimu.” Rezim berpaling padaku. Kulihat sebuah ketulusan dari sepasang matanya.
“Aku tidak mengerti...,” lirihku.
“Coba pejamkan matamu,” ujar Rezim.
Aku pun mengikuti instruksinya. Samar, kudengar lanjutan dari instruksi Rezim.
“Resapilah aromanya, biarkan bulir-bulir penyejuk itu menerpamu. Sekarang, tengadahkanlah tanganmu. Biarkan aliran hujan memberimu segenap energi, di saat aku tak bisa lagi berdiri di sampingmu,”
“Apa maksudmu?” selaku cepat. Aku tersentak saat mendengar perkataan Rezim, lalu aku membuka mata dan menatapnya lekat. Kudapati sebuah sorotan yang tak biasa. Sebuah sorotan cinta, tapi lebih mengarah kepada sebuah perpisahan.
“Laila,” lirih Rezim. “cinta tak akan selamanya abadi. Aku mengatakan ini, karena aku percaya akan kematian,”
Aku terbungkam, sama sekali tak mengerti kemana arah pembicaraan Rezim.
“Kau sering mengeluh karena kesepian. Dan kau pernah berkata, bahwa akulah orang yang selalu berhasil meramaikan hatimu. Jadi, jika ajalku mendahuluimu, maka ramaikanlah hatimu, dengan hujan ini.” lanjut Rezim.
“Rezim...”
“Aku menyukaimu, dan menyukai hujan. Jadi jika aku tak ada, anggaplah hujan itu sebagai Rezim, yang selalu menyukaimu. Biarkanlah hujan itu menemani dan meramaikan harimu. Kau tidak dengar suara gemericik itu? Mereka cerewet, bukan? Ya.., hampir sama denganku.” ujarnya tertawa.
“Rezim,” seruku. “kau bodoh!”
“Haha... aku hanya bercanda, Laila. Waaah, wajahmu memerah! Sudahlah, ayo kita pulang! Oh iya, aku serius dengan kalimat sebelum kalimat terakhir!” seru Rezim lalu berlari memasukki mobilnya. Ia tak peduli dengan air yang ditumpahkan oleh sang cumulus.
***
Hari ini aku bisa menghela napas lega. Sebab, aku bisa lulus dari universitas dengan nilai yang hampir cumlaude. Tak bisa kubayangkan akan secepat ini. Kini, aku menjadi seorang sarjana Kimia. Dan aku berharap, impianku untuk menjadi ahli Kimia akan segera terwujud.
Aku menatap sebuah benda mengilat yang melingkari jari manisku. Sesaat, aku tersenyum, lalu buru-buru meraih ponsel dan menekan ikon kontak. Aku lupa menghubungi Rezim! Ya, setelah kejadian di Kedai Kopi itu, aku harus disibukkan kembali dengan tugas-tugas kampus yang menumpuk. Tak lupa, aku merangkai semua penelitianku sehingga bisa menghasilkan laporan yang utuh. Karena hal itulah, aku jarang menghubungi Rezim. Anehnya, Rezim pun tak pernah menghubungiku. Mungkin dia juga sibuk.
Setelah mendapatkan nama Rezim, aku mencoba menghubunginya. Tapi tak ada sambungan! Nomor Rezim tak terdaftar! Aku merasa gusar dan membantingkan tubuhku ke atas kasur. Tiba-tiba, perkataan Rezim tentang kematian kembali terngiang di telingaku. Jika ajalku mendahuluimu... Tidak! Rezim tidak mungkin mati!
Aku segera menjelejahi kontak di ponselku, berharap aku menyimpan nomor teman Rezim. Tapi sial. Yang ada hanyalah nomor Rezim dan nomor dosen-dosenku. Aku mulai merasa frustasi. Sejenak, pikiranku dilanda hal-hal negatif. Tapi buru-buru aku menepis hal itu. Aku tidak mau prasangkaku akan memberikan dampak buruk pada Rezim.
Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju dapur dan meneguk segelas air. Lalu aku menelan dua pil obat penenang. Aku tak boleh stress! Aku tak boleh depresi! Sesaat setelah rasa gelisahku hilang, aku melangkah ke ruang TV lalu menonton acara favoritku.
Sepertinya, ada sesuatu yang aku lupakan. Aku pun memeriksa dapur, kamar, toilet, dan beberapa ruangan lain sampai akhirnya berujung di halaman depan. Tak ada apa pun. Saat hendak masuk kembali ke dalam rumah, tiba-tiba mataku menangkap sebuah benda berbentuk balok. Ya, itu kotak suratku. Perlahan, aku membukanya dan mendapati setumpuk kertas di dalam sana. Aku memeriksa setiap kertas. Tapi yang membuatku terpaku adalah saat aku mendapati kertas agak tebal berwarna peach. Penasaran, aku pun membuka surat itu. Dan deg! Jantungku seakan berhenti memompa saat kudapati, “Rezim Ahmad Kareem & Aisyah Najwa Firdaus... menikah??”
***
Aku tahu tindakkanku bodoh. Tapi aku hanya ingin memastikan apakah hal itu benar? Perlahan, aku mengetuk pintu. Keringat dingin tiba-tiba saja merambahi tengkukku. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita dengan jilbab putih tersenyum ke arahku.
“Maaf, Anda mencari siapa?” tanyanya lembut. Tapi entah mengapa, suara itu menyakitiku.
“Rezim. Saya mencari Tuan Rezim.” ujarku cepat.
“Silakan menunggu di dalam.” Sahutnya.
Aku pun masuk ke dalam rumah itu dan duduk di sofa. Jantungku mulai berdebar tak enak. Tak lama, seorang pria keluar dari sebuah ruangan. Ternyata benar! Ia pun terpaku saat melihatku.
“Laila?” ujar Rezim tak percaya. Suara itu, suara bariton yang selalu aku rindukan.
Aku ingin berteriak. Sebisa mungkin aku ingin berteriak! Air mataku terus menggenang saat kudapati Rezim dan istrinya duduk di hadapanku. Tidak! Air mata ini tak boleh jatuh! Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan mereka!
“Maaf, Anda ini siapa?” tanya istri Rezim. Dan lagi, suara itu membuatku sakit.
Sebisa mungkin aku bersikap biasa. “Saya ke sini untuk mendiskusikan beberapa hal tentang penelitian. Saya sudah menunggu di tempat yang telah disepakati. Tapi Anda tak kunjung datang, Tuan Rezim,” paparku dusta, meski kutahu hal itu semakin menorehkan luka. “Jadi saya menyusul ke sini karena saya tak punya waktu senggang selain hari ini.”
Entah mengerti atau tidak, Aisyah¾istri Rezim¾hanya mengangguk.
“Maaf,” sahut Rezim cepat. Suara itu, suara bariton yang sangat aku rindukan. “Saya lupa kalau kita punya janji. Tadi saya disibukkan dengan beberapa hal. Jadi, bersediakah Anda untuk berdiskusi sekarang? Mungkin, sambil minum kopi,” ujar Rezim.
Aku hanya mengangguk.
“Aisyah, aku harus pergi. Ini pekerjaan penting.” Ujar Rezim kepada istrinya.
Aisyah hanya mengangguk lalu tersenyum.
***
“Kau menghianatiku!” gertakku, menumpahkan segala beban yang sedari tadi menggenangi kelopak mataku. “Kenapa kau setega itu, Rezim? Kenapa kau melakukannya padaku?” bentakku di dalam mobil Rezim.
Rezim membungkam.
“Sekarang, semuanya sudah jelas. Kau seorang pembohong! Kau telah menipu hatiku! Turunkan aku di sini! Hentikan mobilnya!” jeritku seraya tersedu.
“Tidak, Laila. Di luar hujan!” cegah Rezim di balik kemudi.
“Hentikan, atau aku akan lompat!” ancamku.
Rezim segera menepikan mobilnya. Tanpa dikomando, kakiku langsung melangkah keluar dari mobil. Aku tak peduli dengan terjangan hujan yang menusuk seluruh tubuhku. Aku sudah tak peduli dengan apa pun lagi!
Grep. Langkahku terhenti saat sebuah tangan menggenggam lenganku. Perlahan, aku menoleh. Rezim! Dia mengejarku!
“Jangan begini, Laila...” lirihnya, di balik gemuruh suara hujan.
“Kau menghianatiku!” bentakku lagi.
“Aku tidak bermaksud seperti itu! Orangtuaku, menginginkan menantu yang shalihah. Mengingat keadaan kita yang berbeda agama, aku menyadari tak memiliki kesempatan untuk meminangmu. Maafkan aku, Laila... Maafkan aku...”
Ternyata, hanya karena perbedaan agama? Dunia ini kejam! Jika hanya karena hal itu, aku bisa saja berpindah pada agamamu, Rezim! Mengapa Tuhan bersikap keji padaku? Mengapa Dia tak memberiku kesempatan untuk bersamamu?
“Biarkan aku pergi...” lirihku. Air mataku tak berhenti tumpah. Rasa sakit, benci, murka, semuanya tercampur menjadi satu. Tapi aku menyadari satu hal. Aku tak akan pernah memiliki Rezim, selamanya.
***
Di sini, aku melangkah bersama hujan. Merintih di tengah sepinya malam. Tanpa kehangatan, tanpa kasih sayang, dan tanpa cinta yang dulu kunanti. Sekarang, hujan bukanlah energi bagiku. Melainkan, seutas tali kenangan, di mana untaian kata itu terucap.
Bolehkah aku jujur? Ya, hatiku sakit. Bahkan lebih sakit dari sayatan pedang.
Hujan seakan mengerti keadaanku sekarang. Ia menangis, merintih, menggertak, bahkan  meraung bersamaku.
Biarlah aku sendiri, menyepi dalam derita ini, hingga aku menemukan kembali sebuah objek yang bisa merubah hujan, menjadi energiku lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo