Love
Hypothesis
Saat cinta datang menghampirimu,
aku yakin, kau tak akan pernah bisa menolak. Meskipun kau tahu, cinta itu
takkan pernah abadi bagimu. Tapi, kasih sayanglah yang membuatmu yakin untuk
memiliki cinta itu, walau hanya sesaat. Hingga sang waktu, tak mengizinkan lagi
cinta itu untuk kau miliki.
***
“Setiap
raga, pasti punya jiwa. Dan setiap jiwa, pasti membutuhkan energi untuk
menghidupkannya.” Begitulah yang aku dengar dari training motivasi beberapa hari lalu. Entah mengapa, kalimat itu
seakan menggantung di atas kepalaku. Untaian kata dari sang motivator begitu
membuatku bersemangat kala itu. Tapi hanya kata-kata itulah yang sampai
sekarang masih kuingat, meskipun aku sendiri belum mengetahui secara pasti apa
maknanya.
Aku
memang membutuhkan suntikkan motivasi. Karena itu, aku selalu menyempatkan diri
untuk menghadiri berbagai training
motivasi. Entah mengapa, tapi alasannya bukan karena aku ingin menjadi seorang
motivator. Terlebih, karena psikologisku memang mudah terguncang. Apalagi
dengan keadaanku yang¾sekarang¾sebatang kara,
membuatku selalu merasa sepi dan ketakutan.
Sekarang,
aku duduk di bangku kuliah semester tiga, dengan jurusan yang paling kukagumi,
yaitu Kimia. Aku masih ingat perkataan teman-teman SMA-ku yang menganggap bahwa
Kimia itu adalah pelajaran yang sulit. Tapi menurutku, mereka salah. Kimia tak
sesulit yang mereka bayangkan. Menurutku, Kimia itu adalah mata pelajaran yang
jujur. Karena terbukti, unsur-unsur yang ada pada tabel periodik itu
benar-benar ada di bumi. Bahkan, mereka bisa direaksikan dan membentuk zat
baru. Terkadang, unsur-unsur dan zat-zat itulah yang selalu berhasil
menghilangkan rasa sepiku. Sampai pada suatu hari, aku menemukan sebuah zat
yang tak lazim. Sebuah zat yang aku sendiri tak pernah berani untuk
menyentuhnya. Sebuah zat yang berhasil menimbulkan getaran aneh pada seluruh
tubuhku. Ya, zat itu merupakan zat gabungan. Zat padat, gas, dan cair,
bergabung menjadi satu kesatuan. Bahkan, zat itu pernah menyelamatkanku dari
bahaya, sehingga aku jatuh dalam lautan pesonanya.
“Rezim,”
begitulah aku menyebutnya. Aku menemukan zat itu sekitar sembilan bulan silam,
saat aku hendak mengikuti sebuah training
tentang kesehatan. Seperti biasa, aku pergi ke tempat training dengan taksi langgananku.
Masih
terekam jelas dalam ingatanku, saat itu masih pukul tujuh malam. Dengan tenang,
aku melangkah di atas trotoar yang tak lagi dipenuhi oleh para pedagang kaki
lima. Semilir angin malam berhasil membuat tengkukku meremang. Sesaat,
pikiranku kacau. Mengingat betapa kejamnya dunia malam, membuatku sedikit ayal
untuk menghadiri tempat training.
Dan
ternyata, dugaanku benar! Dunia malam memang mengerikan! Secepat kilat,
tiba-tiba saja seseorang menyabet tas lenganku. Sontak, aku langsung berteriak
dan berusaha mengejar. Tapi sial. Langkah wanita memang tidak selebar langkah
pria.
Frustasi,
air mataku luruh. Aku tak bisa lagi mengejar pencuri itu. Aku tak peduli dengan
tas, uang, ponsel, atau apa pun yang menurut pencuri berharga. Tapi aku
membutuhkan dokumen-dokumen yang ada dalam tasku! Dokumen hasil penelitian yang
aku lakukan selama berbulan-bulan. Dokumen yang menentukan apakah aku akan
lulus ujian universitas atau tidak.
Dengan
terisak, aku mendudukkan diri di bangku sebuah halte. Tak peduli lalu lalang
orang yang bertanya, aku tetap tersedu. Impianku seakan hancur karena dokumen-dokumen
itu telah lenyap! Bodohnya, aku tidak mengarsipkan dokumen itu!
Entah
berapa lama aku menangis di halte, sampai kudengar sebuah suara bariton
menyeruku lembut.
“Maaf,
Nona,”
Aku
mendongak. Terlihat jelas sebuah lengkungan indah yang¾aku
yakin¾belum
pernah menemukannya.
“Ini
tas Anda,” ucapnya sembari menyodorkan tasku. “Polisi sudah menangkap pencuri
itu.” lanjutnya.
Sejenak
aku terkesima. Seorang lelaki tegap berdiri di hadapanku, melontarkan senyum,
dan membawakan tas lenganku.
“Darimana
Anda tahu ini milik saya?” tanyaku cepat, sembari menghapus air mata.
“Tidak
sulit. Kartu identitas, dan tadi aku menyaksikan saat tasmu dijambret.”
jawabnya.
“Oh,
terima kasih...,” ucapku menggantung.
“Rezim.
Panggil aku Rezim.” jawabnya cepat.
“Baiklah,
terima kasih... Rezim,”
Lelaki
bernama Rezim itu hanya tersenyum. Sebuah senyum yang sesaat mengalihkan
fokusku.
“Sepertinya
Anda kurang sehat, Nona...?”
“Laila.
Jangan panggil aku nona.” aku menyela.
“Baiklah.
Sepertinya aku harus mengantarmu pulang.” ujar Rezim.
Aku
hanya mengangguk saat menyadari bahwa saat itu sudah jam sembilan malam. Dan aku
yakin, training kesehatan telah
selesai. Aku tak peduli dengan statusku dan Rezim yang saat itu baru saling
mengenal. Yang jelas, aku ingin segera pulang, melepas semua penat sambil
meneguk sedikit alkohol. Tapi saat itu, Rezim¾yang membawaku
dengan mobilnya¾menyimpang ke sebuah rumah makan.
“Anda
terlihat pucat, Nona..., maksudku Laila. Ya, wajahmu pucat. Aku kira kita bisa
makan sebentar untuk menambah energimu.” ujar Rezim seraya melempar senyum.
Aku
pun menyetujui. Aku rasa, aku telah
menemukan objek penelitian baru.
***
Sejak
saat itu, aku dan Rezim menjadi dekat. Dan aku baru menyadari bahwa dia satu
universitas denganku. Ia mengambil Fisika, dan aku Kimia. Maka dari itu, kami
selalu melakukan pertemuan untuk mendiskusikan seputar Fisika atau pun Kimia.
Tapi ada satu hal yang membuatku begitu kagum padanya. Pria itu memiliki
sepasang manik teduh yang berhasil membuatku hanyut dalam buaian keindahan. Pun,
beberapa kali aku mendapati Rezim menatap lekat ke arahku. Dalam hipotesisku,
mungkin tatapan itu adalah sesuatu yang istimewa. Mungkin juga, tatapan itu
mengartikan sebuah rasa yang bisa saja sama dengan perasaanku. Yang jelas, saat
aku menatap Rezim, aku yakin bahwa matanya berbicara¾mengirimkan
sinyal-sinyal yang menggetarkan setiap asa.
Kringg...
Ponselku berdenting. Sebuah pesan dari Rezim! Dan hal itu selalu berhasil
membuat senyumku merekah.
“Datanglah
ke Kedai Kopi di seberang supermarket. Aku akan menunggu.”
Segera,
aku bangkit dari kasur dan mengganti pakaianku, lalu melaju ke tempat yang
telah diberitahukan oleh Rezim.
***
“Kau
terlambat Laila,” ujar Rezim saat aku baru sampai.
“Maaf,
tadi jalanan sedikit macet jadi...,”
“Bodoh.
Aku hanya bercanda! Haha...” Rezim menggelak tawa.
Aku
langsung memasang wajah masam. “Dasar!” umpatku.
“Aku
sudah memesankan Ice Mocachinno untuk
kita berdua. Kau tidak keberatan, kan?” tanya Rezim.
Aku
hanya menggeleng seraya tersenyum, lalu duduk bersebrangan dengannya.
Selama
beberapa menit, tak ada pembicaraan di antara kami. Rezim tak melepaskan
pandangannya dariku. Dan hal itu membuatku tak bisa melakukan apa pun selain
membalas tatapannya. Aku yakin. Mata itu
berbicara. Mata itu menyimpan sebuah rasa!
“Dua
Ice Mocachinno.” tiba-tiba seorang
pelayan sudah berdiri di samping meja sambil meletakkan pesanan kami.
“Ekhm..,
jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku kemudian.
“Sangat
sederhana,” ucap Rezim. “Aku hanya ingin memberikan ini.” lanjut Rezim, sambil
memberikan sebuah kotak kecil merah hati.
“Apa
ini?” dahiku bertaut.
“Itu...,
isi hatiku,”
Deg.
Sesaat detak jantungku terhenti. Aliran darahku berdesir cepat. Kurasakan hawa
panas yang menerpa pipiku, dan hal itu membuat tanganku gemetar.
“Bukalah.”
lanjut Rezim.
Saat
aku membuka kotak itu, mataku berbinar. Sebuah cincin dengan hiasan bentuk
hati, tersimpan indah di dalam kotak itu.
“Demi
Tuhan. Rezim..., apa maksudnya ini?” gelagatku mulai gugup.
“Itu
isi hatiku, Laila. Pakailah. Jika tiba saatnya, kita akan bisa bersama,
membangun sebuah dermaga cinta.” Perkataan Rezim membuat hatiku bergetar.
“Kau...,
mencintaiku?” tak sadar, mulutku bertanya.
Rezim
mengangguk, lalu tersenyum. “Nantikan aku, di batas waktu.”
Seandainya
jarak kami tidak terhalang oleh meja, mungkin saja aku sudah memeluk Rezim. Ia
benar-benar membuat hatiku merekah. Bahkan, lebih merekah dari sekuntum bunga. Ternyata, hipotesisku benar! Tatapan Rezim
memang menunjukkan sebuah rasa. Aku kira, aku sudah mendapatkan kesimpulan dari
penelitianku.
Kami
berpandangan sekali lagi. Dan tak terasa, waktu kami habis hanya dengan sekedar
bertatapan. Ice Mocachinno yang ada
di meja pun tak tersentuh sama sekali. Mungkin, minuman itu sudah tak dingin.
Akhirnya, Rezim angkat bicara dan mengajakku pulang. Ia membayar minuman kami
yang tak sempat kami cicipi.
Baru
saja selangkah keluar dari pintu kedai, tiba-tiba awan cumulus menumpahkan bebannya. Rinaian air hujan yang dibawa angin
berhasil menerpa wajahku, membuatku sedikit menggerutu. Berbeda denganku, Rezim
malah membiarkan partikel kristal dingin itu menerpa wajahnya.
“Rezim,
ayo masuk ke kedai! Di luar hujan!” ujarku.
“Tidak,
Laila. Hujan tak patut kita takuti. Kau belum tahu kenikmatan-Nya, kan? Maka,
resapilah...” sekali lagi, perkataan Rezim berhasil membuat hatiku bergetar.
Entah kenapa, perkataan pria ini selalu berhasil membuatku luluh. Mungkin, aku
memang mencintainya.
Aku
pun berdiri di samping Rezim yang sedang menikmati terpaan hujan.
“Kau
suka hujan?” tanyanya.
Aku
hanya menggeleng.
“Kalau
begitu, sukailah ia mulai sekarang. Karena hujan, juga menyukaimu.” Rezim
berpaling padaku. Kulihat sebuah ketulusan dari sepasang matanya.
“Aku
tidak mengerti...,” lirihku.
“Coba
pejamkan matamu,” ujar Rezim.
Aku
pun mengikuti instruksinya. Samar, kudengar lanjutan dari instruksi Rezim.
“Resapilah
aromanya, biarkan bulir-bulir penyejuk itu menerpamu. Sekarang, tengadahkanlah
tanganmu. Biarkan aliran hujan memberimu segenap energi, di saat aku tak bisa
lagi berdiri di sampingmu,”
“Apa
maksudmu?” selaku cepat. Aku tersentak saat mendengar perkataan Rezim, lalu aku
membuka mata dan menatapnya lekat. Kudapati sebuah sorotan yang tak biasa.
Sebuah sorotan cinta, tapi lebih mengarah kepada sebuah perpisahan.
“Laila,”
lirih Rezim. “cinta tak akan selamanya abadi. Aku mengatakan ini, karena aku
percaya akan kematian,”
Aku
terbungkam, sama sekali tak mengerti kemana arah pembicaraan Rezim.
“Kau
sering mengeluh karena kesepian. Dan kau pernah berkata, bahwa akulah orang
yang selalu berhasil meramaikan hatimu. Jadi, jika ajalku mendahuluimu, maka
ramaikanlah hatimu, dengan hujan ini.” lanjut Rezim.
“Rezim...”
“Aku
menyukaimu, dan menyukai hujan. Jadi jika aku tak ada, anggaplah hujan itu
sebagai Rezim, yang selalu menyukaimu. Biarkanlah hujan itu menemani dan
meramaikan harimu. Kau tidak dengar suara gemericik itu? Mereka cerewet, bukan?
Ya.., hampir sama denganku.” ujarnya tertawa.
“Rezim,”
seruku. “kau bodoh!”
“Haha...
aku hanya bercanda, Laila. Waaah, wajahmu memerah! Sudahlah, ayo kita pulang!
Oh iya, aku serius dengan kalimat sebelum kalimat terakhir!” seru Rezim lalu berlari
memasukki mobilnya. Ia tak peduli dengan air yang ditumpahkan oleh sang cumulus.
***
Hari
ini aku bisa menghela napas lega. Sebab, aku bisa lulus dari universitas dengan
nilai yang hampir cumlaude. Tak bisa
kubayangkan akan secepat ini. Kini, aku menjadi seorang sarjana Kimia. Dan aku
berharap, impianku untuk menjadi ahli Kimia akan segera terwujud.
Aku
menatap sebuah benda mengilat yang melingkari jari manisku. Sesaat, aku
tersenyum, lalu buru-buru meraih ponsel dan menekan ikon kontak. Aku lupa menghubungi Rezim! Ya, setelah
kejadian di Kedai Kopi itu, aku harus disibukkan kembali dengan tugas-tugas
kampus yang menumpuk. Tak lupa, aku merangkai semua penelitianku sehingga bisa
menghasilkan laporan yang utuh. Karena hal itulah, aku jarang menghubungi
Rezim. Anehnya, Rezim pun tak pernah menghubungiku. Mungkin dia juga sibuk.
Setelah
mendapatkan nama Rezim, aku mencoba menghubunginya. Tapi tak ada sambungan!
Nomor Rezim tak terdaftar! Aku merasa gusar dan membantingkan tubuhku ke atas
kasur. Tiba-tiba, perkataan Rezim tentang kematian kembali terngiang di
telingaku. Jika ajalku mendahuluimu...
Tidak! Rezim tidak mungkin mati!
Aku
segera menjelejahi kontak di ponselku, berharap aku menyimpan nomor teman
Rezim. Tapi sial. Yang ada hanyalah nomor Rezim dan nomor dosen-dosenku. Aku
mulai merasa frustasi. Sejenak, pikiranku dilanda hal-hal negatif. Tapi
buru-buru aku menepis hal itu. Aku tidak mau prasangkaku akan memberikan dampak
buruk pada Rezim.
Dengan
langkah gontai, aku berjalan menuju dapur dan meneguk segelas air. Lalu aku
menelan dua pil obat penenang. Aku tak
boleh stress! Aku tak boleh depresi! Sesaat setelah rasa gelisahku hilang,
aku melangkah ke ruang TV lalu menonton acara favoritku.
Sepertinya, ada sesuatu yang aku
lupakan. Aku pun memeriksa dapur, kamar, toilet, dan beberapa
ruangan lain sampai akhirnya berujung di halaman depan. Tak ada apa pun. Saat hendak masuk kembali ke dalam rumah,
tiba-tiba mataku menangkap sebuah benda berbentuk balok. Ya, itu kotak suratku.
Perlahan, aku membukanya dan mendapati setumpuk kertas di dalam sana. Aku
memeriksa setiap kertas. Tapi yang membuatku terpaku adalah saat aku mendapati
kertas agak tebal berwarna peach. Penasaran,
aku pun membuka surat itu. Dan deg! Jantungku seakan berhenti memompa saat
kudapati, “Rezim Ahmad Kareem & Aisyah Najwa Firdaus... menikah??”
***
Aku
tahu tindakkanku bodoh. Tapi aku hanya ingin memastikan apakah hal itu benar? Perlahan, aku mengetuk pintu. Keringat dingin
tiba-tiba saja merambahi tengkukku. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita
dengan jilbab putih tersenyum ke arahku.
“Maaf,
Anda mencari siapa?” tanyanya lembut. Tapi entah mengapa, suara itu
menyakitiku.
“Rezim.
Saya mencari Tuan Rezim.” ujarku cepat.
“Silakan
menunggu di dalam.” Sahutnya.
Aku
pun masuk ke dalam rumah itu dan duduk di sofa. Jantungku mulai berdebar tak
enak. Tak lama, seorang pria keluar dari sebuah ruangan. Ternyata benar! Ia pun
terpaku saat melihatku.
“Laila?”
ujar Rezim tak percaya. Suara itu, suara bariton yang selalu aku rindukan.
Aku
ingin berteriak. Sebisa mungkin aku ingin berteriak! Air mataku terus
menggenang saat kudapati Rezim dan istrinya duduk di hadapanku. Tidak! Air mata
ini tak boleh jatuh! Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan mereka!
“Maaf,
Anda ini siapa?” tanya istri Rezim. Dan lagi, suara itu membuatku sakit.
Sebisa
mungkin aku bersikap biasa. “Saya ke sini untuk mendiskusikan beberapa hal
tentang penelitian. Saya sudah menunggu di tempat yang telah disepakati. Tapi
Anda tak kunjung datang, Tuan Rezim,” paparku dusta, meski kutahu hal itu
semakin menorehkan luka. “Jadi saya menyusul ke sini karena saya tak punya
waktu senggang selain hari ini.”
Entah
mengerti atau tidak, Aisyah¾istri Rezim¾hanya
mengangguk.
“Maaf,”
sahut Rezim cepat. Suara itu, suara bariton yang sangat aku rindukan. “Saya
lupa kalau kita punya janji. Tadi saya disibukkan dengan beberapa hal. Jadi,
bersediakah Anda untuk berdiskusi sekarang? Mungkin, sambil minum kopi,” ujar
Rezim.
Aku
hanya mengangguk.
“Aisyah,
aku harus pergi. Ini pekerjaan penting.” Ujar Rezim kepada istrinya.
Aisyah
hanya mengangguk lalu tersenyum.
***
“Kau
menghianatiku!” gertakku, menumpahkan segala beban yang sedari tadi menggenangi
kelopak mataku. “Kenapa kau setega itu, Rezim? Kenapa kau melakukannya padaku?”
bentakku di dalam mobil Rezim.
Rezim
membungkam.
“Sekarang,
semuanya sudah jelas. Kau seorang pembohong! Kau telah menipu hatiku! Turunkan
aku di sini! Hentikan mobilnya!” jeritku seraya tersedu.
“Tidak,
Laila. Di luar hujan!” cegah Rezim di balik kemudi.
“Hentikan,
atau aku akan lompat!” ancamku.
Rezim
segera menepikan mobilnya. Tanpa dikomando, kakiku langsung melangkah keluar
dari mobil. Aku tak peduli dengan terjangan hujan yang menusuk seluruh tubuhku.
Aku sudah tak peduli dengan apa pun lagi!
Grep.
Langkahku terhenti saat sebuah tangan menggenggam lenganku. Perlahan, aku
menoleh. Rezim! Dia mengejarku!
“Jangan
begini, Laila...” lirihnya, di balik gemuruh suara hujan.
“Kau
menghianatiku!” bentakku lagi.
“Aku
tidak bermaksud seperti itu! Orangtuaku, menginginkan menantu yang shalihah.
Mengingat keadaan kita yang berbeda agama, aku menyadari tak memiliki
kesempatan untuk meminangmu. Maafkan aku, Laila... Maafkan aku...”
Ternyata,
hanya karena perbedaan agama? Dunia ini kejam! Jika hanya karena hal itu, aku
bisa saja berpindah pada agamamu, Rezim! Mengapa Tuhan bersikap keji padaku?
Mengapa Dia tak memberiku kesempatan untuk bersamamu?
“Biarkan
aku pergi...” lirihku. Air mataku tak berhenti tumpah. Rasa sakit, benci,
murka, semuanya tercampur menjadi satu. Tapi aku menyadari satu hal. Aku tak
akan pernah memiliki Rezim, selamanya.
***
Di sini, aku melangkah bersama
hujan. Merintih di tengah sepinya malam. Tanpa kehangatan, tanpa kasih sayang, dan
tanpa cinta yang dulu kunanti. Sekarang, hujan bukanlah energi bagiku. Melainkan,
seutas tali kenangan, di mana untaian kata itu terucap.
Bolehkah aku jujur? Ya, hatiku
sakit. Bahkan lebih sakit dari sayatan pedang.
Hujan seakan mengerti keadaanku
sekarang. Ia menangis, merintih, menggertak, bahkan meraung bersamaku.
Biarlah aku sendiri, menyepi dalam
derita ini, hingga aku menemukan kembali sebuah objek yang bisa merubah hujan,
menjadi energiku lagi.
0 komentar:
Posting Komentar