Kamis, 02 April 2015

Stupid?



Stupid!
Bug!
Hhh..., apa yang aku lakukan? Tidak. Ini bukan kesalahanku. Ini...
“Ngapain sih, kamu?!”
Oh tidak. Sekarang dia malah membentakku. Kacau! Seharusnya aku tidak melakukan hal itu. Tidak, tidak. Bukan aku yang melakukannya. Tangankulah yang melakukannya. Ya ampun, mengapa aku bisa melakukan ini?
“Dasar cewek gila! Kalau kamu bukan perempuan, tanganku bakalan bikin mukamu bonyok!” desisnya geram, tepat di telingaku.
Aku hanya menunduk setelah ia berlalu. Beberapa pasang mata masih menatap tak percaya ke arahku. Argh, sungguh aura yang aneh!
“Ngapain kalian lihat-lihat?” gertakku dengan tegar. Padahal, jantungku hampir melompat.
“Wuihh, itik buruk rupa kayak lo berani juga, ya!”
Apa? Itik buruk rupa? Dia bilang, aku itik buruk rupa??
Hhh, ingin sekali aku meninju celetukkan tadi. Kalau bisa, sampai sang pemilik mulut tak bisa berbicara lagi! Tapi jika aku melakukannya, itu berarti reputasiku bisa semakin hancur. Mungkin untuk saat ini, aku memang mendapat julukan itik buruk rupa. Tapi nanti, mungkin saja hinaan yang lebih buruk akan semakin bertebaran.
“Bin!” pekik seseorang yang langsung memelukku.
Argh, aku benci keadaan seperti ini. Adegan dramatis seperti di film-film ini membuatku haru. Tidak, air mataku tak boleh jatuh. Aku harus tetap tegar!
“Kenapa kamu nekat, sih? Seharusnya kamu dengerin saran aku dulu!” bisik Vio khawatir.
“Aku cuma sebel aja sama Rizky. Dia mainin perasaan aku, Vi!” oh tidak. Mataku mulai memanas.
“Udah. Still strong, Bin!” ucap Vio berusaha menghibur. Seakan tahu kondisi mataku, ia buru-buru menarikku dari kerumunan siswa di kantin. Sangat jelas terdengar berbagai macam celetukan, cacian, bahkan makian yang diiringi tawa. Benar-benar menyebalkan!
***
“Apa? Dia bilang gitu?” mata Vio membulat tak percaya. Dan aku hanya memasang ekspresi suram. Aku tahu, tindakanku tadi bisa membawaku ke ruang BK. Tapi mana mungkin Rizky melaporkan tindakan kriminalku. Kalau dia melapor, berarti dia banci!
“Terus, terus..?”
“Ya jelas aja aku sakit hati. Kamu tahu kan Vi, kalau aku itu suka sama Rizky,” argh, aku benci saat-saat seperti ini. Kenapa air mata sialan ini harus turun? “Dan aku gak nyangka, ternyata, semua ini cuma pura-pura! Dia gak beneran suka sama aku! Dia pacaran sama aku, cuma karena..., taruhan!”
Sialan. Segmen curhat ini malah membuatku menangis. Ya, aku sadar. Aku terlalu lebay dalam mengartikan makna cinta. Dan lihat? Sekarang aku telah menjadi korban atas kekejamannya.
“Tuh, kan, prediksi aku bener! Kamu sih, terlalu mengagungkan si Rizky itu! Dia emang ganteng. Tapi hatinya gak seganteng mukanya!” umpat Vio. “Duhh, udah dong, Bin. Jangan nangis...”
Merasa telah dibohongi, aku pun menyembunyikan wajahku di balik pelukan Vio. Sekilas, bayangan-bayangan Rizky kembali menyapa. Senyum renyahnya, tingkah konyolnya, wajah tegasnya saat dia main basket, juga ekspresinya saat memainkan gitar, semua itu... mengapa begitu indah?
“Kamu juga sih, Bin! Udah dibilangin si Rizky kurang ajar, eh, kamu masih kekeh aja buat suka sama dia. Sekarang lihat, kamu disakitin, kan?” celoteh Vio.
Ya, aku memang salah. Seharusnya aku tahu diri. Itik buruk rupa sepertiku memang tidak pantas jika harus bersanding dengan seorang pangeran. Kalaupun pangeran memang bersanding dengan itik buruk rupa, itu berarti pangeran terkena kutukan besar! Argh, aku terlalu tenggelam dalam imajiku sendiri. Bodoh! Dasar bodoh!
“Aduh, Bintang... Jangan nangis terus, dong! Kamu gak boleh lemah. Kamu harus balas dendam sama si Rizky itu!” dukung Vio seraya melepas pelukannya.
Karena air mata ini tak kunjung surut, aku pun menenggelamkan wajahku pada bantal. Biarlah tangis ini membanjiri. Yang penting, beban di dadaku bisa lekas berkurang. Dan soal celotehan Vio, aku tak mau menjawabnya. Karena aku tahu, semua jawaban itu menyatakan bahwa akulah yang salah!
“Bin...,” seru Vio lembut.
“....”
“Ya udah. Aku pulang dulu. Jangan mikirin Rizky terus, Bin! Dan inget, kamu gak boleh lemah. Kamu harus nunjukkin ke dia, kalau kamu itu lebih hebat daripada wonder women!”
Wajahku tak beranjak dari bantal. Suara langkah kaki Vio kini menghilang. Dan satu-satunya temanku sekarang adalah, sepi.
“Bin, kita putus. Aku udah bosen sama kamu. Lagian, aku gak suka sama kamu. Apalagi cinta, kayaknya gak mungkin, deh! Aku cuma ngejadiin kamu taruhan doang. Jadi, jangan ngikutin aku lagi. Karena cewek kayak kamu, gak pantes buat aku!”
Bug!
Sialan. Bodoh! Kenapa ingatan itu harus muncul lagi, sih? Kenapa Rizky setega itu?
Aku tahu, aku jelek. Aku memang tidak secantik mantan-mantan Rizky yang berkulit mulus bagaikan Cleopatra. Rambutku juga tidak selembut wanita-wanita yang ada di iklan shampo! Kulitku hitam! Rambutku ngembang! Seharusnya aku menyadari akan hal itu. Bahkan sampai kiamat datang pun, Rizky tidak akan mungkin menyukaiku! Oh, Tuhaann. Bodohnya aku! Mengapa aku harus menyukai cowok sialan itu? Mengapa aku harus mencintainya? Dan mengapa juga waktu itu dia menyanyikan lagu untukku? Rizky...
***
“Ada apa? Gak cukup, ya, kemarin aku permaluin kamu?”
Sudah kusangka. Pasti akan seperti ini. Tapi harga mati! Tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin beban ini terus menggelayuti.
“Aku.., aku mau pindah,” ucapku tertahan. Ekor mataku sempat menangkap raut terkejut dari mata Rizky. Tapi buru-buru kutepis terkaanku itu.
“Terus, apa hubungannya sama gue?” tanya Rizky berlagak cuek.
Berat. Tapi aku harus mengungkapkanya! “Aku tahu, aku memang bodoh,” ucapku getir. “Aku jelek, dan gak seharusnya aku suka sama kamu. Kamu tahu, aku seneng banget waktu kamu nembak aku. Tapi tenyata, semua itu cuma pura-pura. Hampir aja aku ngefly,”
“Lo jangan ceramah, deh!” tukas Rizky.
“Aku, aku cuma mau bilang makasih karena kamu udah mewarnai hari-hariku dalam seminggu ini. Dan aku mau minta maaf atas tonjokkan kemarin. Juga, aku mohon, agar kamu gak ngelakuin hal konyol itu sama cewek lain. Cukup aku aja yang sakit hati. Cukup aku aja yang jadi taruhan. Aku tahu kamu cowok baik, Ky!” aku tak bisa lagi menahan luapan ini. Aku akui, aku lemah di hadapannya! “Setelah aku pindah, gak akan ada lagi yang nguntit kamu. Di hari terakhir ini, kamu boleh ngelakuin apapun sama aku. Kamu boleh ngejek, bully, dan semua permintaan kamu bakal aku penuhi!”
Glek. Apa yang aku ucapkan ini? Dan kenapa mata Rizky mendadak berkaca? Oh Tuhan, kenapa pula tangisku malah semakin manjadi?
“Tapi kamu harus tahu satu hal, Ky. Itik buruk rupa memang gak akan pernah berubah jadi angsa yang cantik. Tapi, itik buruk rupa itu, akan selalu menunggu pangeran yang bisa membawa keajaiban untuk mengubahnya. Dan itulah yang akan aku lakukan. Aku, si itik buruk rupa, akan terus mencintai Rizky Aditya Putra, si pangeran impian. Selamat tinggal...”
“Maaf...,” langkahku terhenti. Lirihan itu, lirihan Rizky!
Tidak. Aku tak boleh lemah. Tekadku sudah bulat. Aku harus meninggalkan Rizky dan kenangan pahit sekolah ini. Maafkan aku, Rizky. Aku...mencintaimu.
Garut, 16 Januari 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo