Diikutkan Dalam Lomba Cerpen 'The
Dead Returns'.
The Black Grudge
Oleh:
Annisa Febriyati Sari
Seorang siswi SMA ditemukan
tewas bunuh diri.
“Apa-apaan
ini! Kenapa berita ini menjadi headline di
setiap koran?” Lily bangkit dari duduknya seraya mengempaskan surat kabar itu
ke atas meja perpustakaan.
Mia
yang duduk di hadapannya hanya bisa menghela napas. Memang, sejak kasus bunuh
diri yang terjadi di sekolahnya, proses pembelajaran tidak dapat berjalan lancar
karena pihak kepolisian masih menyelidiki kasus tersebut.
“Aku
tidak menyangka gadis itu mati,” desis
Lily. “Aku bersyukur dia pergi dengan cara yang hina. Tapi setidaknya jangan
permalukan sekolah kita.”
“Kau
tidak boleh begitu Lily,” ujar Mia pelan. “Bagaimanapun, dia aset penting bagi
sekolah ini.”
Lily
sedikit tersentak, tidak setuju. “Aset penting katamu? Kau terlalu baik
padanya, Mia!”
Mia
hanya mengedikkan bahu lalu kembali membaca buku yang berada di pangkuannya. Sejenak,
ia memikirkan perkataan Lily barusan. Kau
benar, aku terlalu baik padanya.
***
Debi
tidak percaya ini. Apa yang telah ia lakukan? Kenapa pergelangan tangan kirinya
dipenuhi oleh darah? Dan, apa yang sudah ia tulis di cermin?
“Aku
menyesali perbuatanku. Aku pantas mati?” Suaranya bergetar saat kembali membaca
rentetan kata tersebut. Parahnya, kalimat itu ditulis oleh tangannya sendiri
dan oleh darahnya sendiri!
Gadis
itu mulai mengerang saat rasa nyeri kembali merambahi pergelangan tangannya. Darah
yang keluar terlalu banyak. Ini menyakitkan! Tangis yang keluar pun seakan tak
cukup untuk mewakili penderitaanya.
Debi
melangkah pelan ke arah pintu toilet. Terkunci! Detak jantungnya yang mulai
melemah membuatnya harus luruh di hadapan pintu. Dengan segenap kekuatan yang
ada, ia menggedor pintu toilet. Tapi nihil. Tak seorang pun yang dapat
mendengar ketukan lemah dan tangisan pelannya.
Perlahan,
mata Debi kembali melirik ke arah cermin. Tulisan
itu, tulisan itu ... tunggu! Debi mengingatnya! Debi mengingat tulisan itu!
Itu adalah tulisan yang dibuat oleh Meggi di kaca jendela kelas seni. Benar! Itu
adalah tulisan yang dibuat Meggi, sebelum gadis itu tewas dengan cara melompat
... dari kelas seni.
***
Mia
mengayunkan kruknya dengan cepat kala melihat kerumunan siswa di depan toilet
wanita. Beberapa guru berdiri di sana dengan wajah cemas. Sesekali terdengar
teriakkan dari sana. Penasaran, Mia pun berusaha untuk bergabung dengan mereka.
Dan saat ia berhasil menyelipkan kepalanya di antara siswa lain, kedua matanya
langsung membulat. Tubuhnya terhuyung ke belakang membuat kruk miliknya terjatuh.
Bersamaan dengan itu, dua orang polisi keluar dari toilet dengan membawa
seseorang. Mayat Debi.
***
“Meggi,
Debi.” Alice meringkuk di antara rak-rak buku saat mengetahui berita tentang
kematian sahabatnya. Mata gadis itu terlihat bengkak. Jemari tangannya yang
memucat ia gunakan untuk mencengkram buku erat-erat. Ia masih tidak percaya
ini. Baru saja tadi pagi Meggi ditemukan tewas, dan sekarang apa? Bahkan ini
belum setengah hari. Tapi satu mayat lagi berhasil dievakuasi oleh polisi.
Isakkan
gadis itu mulai terdengar jelas. Rasa takut, sedih, khawatir, semuanya berpadu
dengan sempurna.
Meggi...
ia tidak punya alasan untuk melompat dari kelas seni. Dan Debi, kenapa gadis itu
mengakhiri hidupnya dengan cara yang menyakitkan?
Sekilas,
kenangan tentang persahabatan mereka kembali berputar di kepala Alice. Alice
ingat saat pertama kali mereka masuk ke sekolah ini. Mereka langsung menjadi
gadis populer karena nilai akademik mereka yang selalu tinggi. Bukankah itu
sesuatu yang menyenangkan? Dipuja oleh semua orang? Lalu, kenapa kalian mati begitu saja?
Alice
masih tergugu di antara rak-rak buku. Gadis itu termenung, mencoba mengingat
segala hal yang pernah ia lakukan bersama kedua sahabatnya. Sampai akhirnya, ia
menemukan suatu titik yang membuat seluruh otot tubuhnya menegang.
Aku menyesali
perbuatanku. Aku pantas mati ....
***
“Aaaa
...!” Sebuah teriakkan berhasil menggemparkan gedung sekolah.
Cahaya
matahari masih menyorot di atas kepala, tetapi kegaduhan yang terjadi membuat
sinar tersebut seakan tak berarti apa-apa.
Sebuah
kecelakaan terjadi di depan gerbang SMA 31. Lagi-lagi, seorang siswi menjadi
korban dan ditemukan tewas. Tentu saja hal itu membuat seluruh penghuni sekolah
menjadi was-was. Dalam satu hari, tiga kematian!
Lily
yang menyaksikan pengevakuasian jenazah korban langsung berlari ke dalam
gedung. Ia tidak kuat melihatnya. Ini terlalu sadis.
“Lily!”
“Mia!”
Lily langsung menghambur dan memeluk Mia dengan erat. “Mia, Alice tertabrak
truk. Dia pergi,” lirihnya.
Hening
sesaat. “Aku sudah tahu.”
“Apa?”
Lily tercekat. Ia langsung melepaskan pelukannya.
“Kau
pikir, kematian mereka hanya sebuah kebetulan?” tanya Mia dingin. “Meggi, dia
melompat dari kelas seni. Debi, dia mengiris nadinya di toilet. Dan Alice, dia
tertabrak truk di depan gerbang sekolah.”
“Apa
yang sedang kau bicarakan?” Dahi Lily mengerut. Mia hanya tersenyum saat
mendapati ekspresi bingung dari sahabatnya. Perlahan, kedua mata Lily melebar.
Kelas
seni! Saat di mana Meggi menumpahkan cat ke wajah Mia. Toilet! Saat di mana Debi
mengguyur Mia dengan kejam. Dan gerbang sekolah! Saat di mana Alice mendorong
Mia sehingga membuat gadis itu tertabrak mobil dan menyebabkan kakinya patah. Ya.
Lily ingat semuanya. Itu berarti, “Kau yang membunuh mereka?”
Mia
hanya tersenyum seraya menjauh dari sahabatnya. “Kau tahu, Lily? Dendam dapat
membuat jiwa seseorang menjadi gelap. Bahkan, jiwa gelap tersebut dapat
mengendalikan raga lain dengan leluasa. Itulah yang aku lakukan. Merasukki raga
mereka dan membuatnya menjadi sirna.”
0 komentar:
Posting Komentar