Senin, 14 September 2015

LOMBA CERPEN THE DEAD RETURNS



Diikutkan Dalam Lomba Cerpen 'The Dead Returns'.
 
The Black Grudge
Oleh: Annisa Febriyati Sari
Seorang siswi SMA ditemukan tewas bunuh diri.
“Apa-apaan ini! Kenapa berita ini menjadi headline di setiap koran?” Lily bangkit dari duduknya seraya mengempaskan surat kabar itu ke atas meja perpustakaan.
Mia yang duduk di hadapannya hanya bisa menghela napas. Memang, sejak kasus bunuh diri yang terjadi di sekolahnya, proses pembelajaran tidak dapat berjalan lancar karena pihak kepolisian masih menyelidiki kasus tersebut.
“Aku tidak menyangka gadis  itu mati,” desis Lily. “Aku bersyukur dia pergi dengan cara yang hina. Tapi setidaknya jangan permalukan sekolah kita.”
“Kau tidak boleh begitu Lily,” ujar Mia pelan. “Bagaimanapun, dia aset penting bagi sekolah ini.”
Lily sedikit tersentak, tidak setuju. “Aset penting katamu? Kau terlalu baik padanya, Mia!”
Mia hanya mengedikkan bahu lalu kembali membaca buku yang berada di pangkuannya. Sejenak, ia memikirkan perkataan Lily barusan. Kau benar, aku terlalu baik padanya.
***
Debi tidak percaya ini. Apa yang telah ia lakukan? Kenapa pergelangan tangan kirinya dipenuhi oleh darah? Dan, apa yang sudah ia tulis di cermin?
“Aku menyesali perbuatanku. Aku pantas mati?” Suaranya bergetar saat kembali membaca rentetan kata tersebut. Parahnya, kalimat itu ditulis oleh tangannya sendiri dan oleh darahnya sendiri!
Gadis itu mulai mengerang saat rasa nyeri kembali merambahi pergelangan tangannya. Darah yang keluar terlalu banyak. Ini menyakitkan! Tangis yang keluar pun seakan tak cukup untuk mewakili penderitaanya.
Debi melangkah pelan ke arah pintu toilet. Terkunci! Detak jantungnya yang mulai melemah membuatnya harus luruh di hadapan pintu. Dengan segenap kekuatan yang ada, ia menggedor pintu toilet. Tapi nihil. Tak seorang pun yang dapat mendengar ketukan lemah dan tangisan pelannya.
Perlahan, mata Debi kembali melirik ke arah cermin. Tulisan itu, tulisan itu ... tunggu! Debi mengingatnya! Debi mengingat tulisan itu! Itu adalah tulisan yang dibuat oleh Meggi di kaca jendela kelas seni. Benar! Itu adalah tulisan yang dibuat Meggi, sebelum gadis itu tewas dengan cara melompat ... dari kelas seni.
***
Mia mengayunkan kruknya dengan cepat kala melihat kerumunan siswa di depan toilet wanita. Beberapa guru berdiri di sana dengan wajah cemas. Sesekali terdengar teriakkan dari sana. Penasaran, Mia pun berusaha untuk bergabung dengan mereka. Dan saat ia berhasil menyelipkan kepalanya di antara siswa lain, kedua matanya langsung membulat. Tubuhnya terhuyung ke belakang membuat kruk miliknya terjatuh. Bersamaan dengan itu, dua orang polisi keluar dari toilet dengan membawa seseorang. Mayat Debi.
***
“Meggi, Debi.” Alice meringkuk di antara rak-rak buku saat mengetahui berita tentang kematian sahabatnya. Mata gadis itu terlihat bengkak. Jemari tangannya yang memucat ia gunakan untuk mencengkram buku erat-erat. Ia masih tidak percaya ini. Baru saja tadi pagi Meggi ditemukan tewas, dan sekarang apa? Bahkan ini belum setengah hari. Tapi satu mayat lagi berhasil dievakuasi oleh polisi.
Isakkan gadis itu mulai terdengar jelas. Rasa takut, sedih, khawatir, semuanya berpadu dengan sempurna.
Meggi... ia tidak punya alasan untuk melompat dari kelas seni. Dan Debi, kenapa gadis itu mengakhiri hidupnya dengan cara yang menyakitkan?
Sekilas, kenangan tentang persahabatan mereka kembali berputar di kepala Alice. Alice ingat saat pertama kali mereka masuk ke sekolah ini. Mereka langsung menjadi gadis populer karena nilai akademik mereka yang selalu tinggi. Bukankah itu sesuatu yang menyenangkan? Dipuja oleh semua orang? Lalu, kenapa kalian mati begitu saja?
Alice masih tergugu di antara rak-rak buku. Gadis itu termenung, mencoba mengingat segala hal yang pernah ia lakukan bersama kedua sahabatnya. Sampai akhirnya, ia menemukan suatu titik yang membuat seluruh otot tubuhnya menegang.
Aku menyesali perbuatanku. Aku pantas mati ....
***
“Aaaa ...!” Sebuah teriakkan berhasil menggemparkan gedung sekolah.
Cahaya matahari masih menyorot di atas kepala, tetapi kegaduhan yang terjadi membuat sinar tersebut seakan tak berarti apa-apa.
Sebuah kecelakaan terjadi di depan gerbang SMA 31. Lagi-lagi, seorang siswi menjadi korban dan ditemukan tewas. Tentu saja hal itu membuat seluruh penghuni sekolah menjadi was-was. Dalam satu hari, tiga kematian!
Lily yang menyaksikan pengevakuasian jenazah korban langsung berlari ke dalam gedung. Ia tidak kuat melihatnya. Ini terlalu sadis.
“Lily!”
“Mia!” Lily langsung menghambur dan memeluk Mia dengan erat. “Mia, Alice tertabrak truk. Dia pergi,” lirihnya.
Hening sesaat. “Aku sudah tahu.”
“Apa?” Lily tercekat. Ia langsung melepaskan pelukannya.
“Kau pikir, kematian mereka hanya sebuah kebetulan?” tanya Mia dingin. “Meggi, dia melompat dari kelas seni. Debi, dia mengiris nadinya di toilet. Dan Alice, dia tertabrak truk di depan gerbang sekolah.”
“Apa yang sedang kau bicarakan?” Dahi Lily mengerut. Mia hanya tersenyum saat mendapati ekspresi bingung dari sahabatnya. Perlahan, kedua mata Lily melebar.
Kelas seni! Saat di mana Meggi menumpahkan cat ke wajah Mia. Toilet! Saat di mana Debi mengguyur Mia dengan kejam. Dan gerbang sekolah! Saat di mana Alice mendorong Mia sehingga membuat gadis itu tertabrak mobil dan menyebabkan kakinya patah. Ya. Lily ingat semuanya. Itu berarti, “Kau yang membunuh mereka?”
Mia hanya tersenyum seraya menjauh dari sahabatnya. “Kau tahu, Lily? Dendam dapat membuat jiwa seseorang menjadi gelap. Bahkan, jiwa gelap tersebut dapat mengendalikan raga lain dengan leluasa. Itulah yang aku lakukan. Merasukki raga mereka dan membuatnya menjadi sirna.”
                      
                                                               *FIN*

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo