Rabu, 23 Desember 2015

Hari Penyucian



Hai ...! I’m comeback with a new short story. Yap, cerpen ini terinspirasi dari salah satu film horor thriller Amerika yang berjudul “The Purge” atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti penyucian. Namun yang namanya terinspirasi pasti ingin memunculkan atau menciptakan sesuatu yang baru. So, gue buat cerita ini sebisa mungkin tanpa unsur ‘plagiat’ atau ‘nyama-nyamain’ sama film aslinya. Well, cekidot aja ya~ I hope you’ll like my story.
Kritik dan saran sangat dibutuhkan! So, enjoy reading and put a comment below~^^ *bow*
.
Hari Penyucian
Oleh: Annisa Febriyati Sari
(Cr pict: www.craveonline.com)
Semua pasukan berseragam hitam kebiruan itu turun dari belasan mobil patroli diikuti dengan dua buah truk tentara. Seruan dari seorang komandan berhasil membuat mereka bergerak lebih cepat. Menapaki tiap-tiap genangan air  hujan yang sedari tadi mengguyur, mengacungkan senjata dan meneriakkan makian-makian yang mampu menyayat jiwa.
Jeritan demi jeritan bergelimpangan. Di setiap sudut, di tumpukan sampah, di penghujung jalan, semua seakan ikut bersenandung bersama kerasnya suara hujan. Sayang. Deraian hujan tersebut seolah hanya menjadi melodi indah. Mengalun bersama kesedihan, tanpa mampu meredam penderitaan.
“Pasukan 54! Bergerak ke arah timur kota! Jangan lewatkan setiap jalan buntu, gang-gang dan tempat-tempat sampah! Kerahkan kemampuan kalian!” teriak seorang Inspektur dengan lantang.
Pasukan berseragam hitam kebiruan itu semakin bergerak cepat, menodongkan senjata mereka, serempak menerjang hujan, demi memburu manusia yang tinggal di jalanan.
“Pasukan 49! Masuklah ke toko-toko! Pastikan mereka tidak bersembunyi dan tetaplah membuat pemilik toko aman! Ayo, bergerak! Keluarkan kemampuan kalian semua ...!” Lagi, teriakkan itu berhasil memecah rinaian air hujan.
Seseorang yang berteriak itu berdiri di dekat mobil patroli. Memegang senjatanya dengan erat, seraya menunduk dalam-dalam.
“Ya, ini sudah benar,” gumamnya. “Ini adalah keputusan yang benar!”
Begitulah hatinya berteriak. Mencoba menepis seluruh kerikil kecil yang entah kapan akan meruntuhkan pendiriannya. Bukankah ini bagus? Membasmi hama-hama yang merugikan negara? Andaikan ia menjadi hama itu, mungkin ia sudah membunuh dirinya sendiri agar kehidupan dunia ini menjadi lebih tentram.
“Tidak ...! Ibu ...! Ibu ...!” Jeritan seorang gadis kecil berhasil memekakkan gendang telinganya. Kedua bola mata pria itu menoleh, mencoba menembus air hujan.
Di sana, di sudut jalanan Kota Boston, seorang gadis kecil sedang menjerit seraya memeluk erat tiang lampu. Ibu ... Ibu .... Sudah lama pria itu tidak menggumamkan hal seperti itu. Hatinya seakan teriris. Ikut merasakan pedih yang mendalam.
“Aku ... juga merindukan seorang ibu,” gumam Inspektur itu tak sadar.
Suara petir seakan menyambar di atas kepala. Suasana sore yang menyedihkan kini semakin buruk saat sepasang mata emerald itu menangkap sosok renta yang berdiri di balik kegelapan sebuah gang.
“I ... ibu?”
***
Abad ke-18 merupakan masa kegelapan bagi masyarakat Kota Boston. Tepatnya, bagi masyarakat miskin di kota tersebut. Mereka yang tidak bisa bekerja, atau mereka yang tidak bisa membayar uang cicilan rumah terpaksa harus berakhir di sudut-sudut jalan. Mengoreh makanan di tempat-tempat sampah, berebut gang-gang yang gelap untuk berlindung, dan terpaksa mencuri barang-barang orang lain demi memenuhi kebutuhan finansial.
Inspektur Lombard menghela napas gusar. Rasa lelah yang menerpanya saat operasi “penyucian” tadi kini harus bertambah karena pemandangan aneh yang ada di depan matanya. Aneh? Ia bergumam dalam hati. Bagaimana mungkin hal ini bisa disebut aneh? Semuanya biasa-biasa saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia duduk di balik meja mewahnya dengan satu cup besar americano yang masih mengepul. Juga, pemandangan dari TV kecil di sudut ruangan, dan hembusan dari kipas angin yang terkadang bisa berhenti sendiri. Semua sama, seperti biasa.
Namun, satu hal yang kini berhasil mengunci indra penglihatannya.
Mama!
Kedua bola mata emerald itu terus mengawasi wanita tua yang sedang duduk di hadapannya. Rambut putih wanita tersebut diikat berantakan ke belakang. Wajahnya dipenuhi dengan keriput sedang bibir kerutnya begitu pucat. Jas hujan hitam yang ia kenakan terlihat robek di bagian pinggang. Dan ... bau anyir yang menguar dari wanita itu benar-benar membuat sang Inspektur harus menahan napasnya untuk beberapa saat. Untung saja kipas angin di ruangannya masih berfungsi. Jika tidak? Mungkin saja ia akan terkena serangan asma saat itu juga.
Inspektur Lombard berdecak kemudian menyodorkan cup americanonya ke arah wanita tersebut.
“Minumlah. Di luar pasti sangat dingin,” ujarnya datar.
Wanita tua tersebut memandang Inspektur Lombard. Entahlah, pandangannya seolah berkata bahwa kau baik sekali! Ya, pandangan yang selalu sama saat seseorang melakukan hal baik terhadapnya.
“Jangan memandangku seperti itu, Mama. Apa kau begitu merindukan anakmu?” gurau Inspektur Lombard, mencoba mencairkan suasana. Namun wanita di hadapannya tetap bergeming sehingga membuat Inspektur merasa canggung kembali.
“Mama, dengar,” pria itu menghela napas pelan, “maafkan aku. Seharusnya aku menjengukmu dan Ailee. Tapi seperti yang kau lihat sekarang, Mama, aku sudah menjadi seseorang yang besar. Aku sudah menjadi seseorang yang sukses dan dapat membanggakan negara kita. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini begitu saja karena mereka mempercayaiku. Mereka mengandalkanku untuk menjadi seorang pemimpin. Jadi Mama, bagaimana jika kau dan Ailee pindah saja ke apartemenku? Mungkin aku akan jarang berada di sana, tapi setidaknya aku bisa menjengukmu sesering mungkin. Jadi ...”
“Jadi apa yang akan kau lakukan?” sela wanita itu dengan suara parau. Pandangan kagum yang sesaat tadi terpancar kini berubah menjadi tatapan yang menyiratkan sebuah kesedihan. Apakah ini hanya perasaan Inspektur Lombard saja? Hah, semoga saja.
“Mama, apa maksud ....”
“Kami sudah menunggumu selama tiga tahun, tapi kau tidak pernah datang menyelamatkan kami,” desis wanita itu. “Kami hampir kehilangan semuanya. Barang-barang, kebun, semuanya harus kami jual agar kami tak terjatuh ke dalam daftar hitam penduduk. Tapi itu percuma! Ailee jatuh sakit dan aku tidak bisa membiayainya.” Sebuah isakkan berhasil lolos dari bibirnya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu mulai menangis dengan keras.
“Aku ... tidak bisa membiayai Ailee! Dia menderita!” pekiknya tertahan.
“Mama, calm down! Aku takut bawahanku akan berpikir yang tidak-tidak jika kau berteriak. Tenang, Mama. Apa yang terjadi dengan Ailee? Apa istriku baik-baik saja? Di mana dia sekarang?”
Hening. Wanita yang dipanggil Mama itu tiba-tiba saja menghentikan tangisannya. Sepasang mata emerald yang begitu identik dengan milik Inspektur Lombard kini tak lagi menyorotkan sebuah kesedihan. Namun, sebuah kebencian yang nyata.
“Di saat seperti ini kau baru menanyakan keadaannya? Ch ... kemana saja kau selama ini, Lombard?”
Tajam. Begitulah nada yang terdengar oleh gendang telinga Inspektur Lombard. Hembusan dari kipas angin kini tak terasa lagi. Ya, kipas angin itu mati. Dan dalam seketika suasana ruangan pribadinya terasa seribu kali lebih mencekam.
“Kau tahu bagaimana perjuanganku untuk mempertahankan Ailee?” Suara parau wanita tua itu terdengar kembali. “Kau tidak tahu seberapa menderitanya aku karena harus mengurus wanita sakit seperti dia?”
“Mama, apa yang kau bicarakan?” desis Inspektur Lombard.
Wanita tua itu mulai bangkit dari duduknya. Jubah hitamnya yang masih basah meninggalkan bekas di atas kursi yang tadi ia duduki. Sesaat, tangisnya terhenti. Namun pada detik berikutnya, semua berubah. Wanita itu tiba-tiba menjerit dengan kencang seraya menerjang ke arah Inspektur Lombard. Tentu saja hal itu membuat punggung pria tersebut tersentak ke lantai. Belum lagi americano yang masih mengepul kini tumpah membasahi perutnya.
Panas, shock! Semuanya terasa membingungkan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa perasaannya begitu kacau?
Dengan napas yang naik turun tak beraturan, Inspektur Lombard memberanikan diri untuk memandang wanita yang kini tengah menindih tubuhnya. Rambut putih yang selalu diikat ke belakang, lesung pipi dengan keriput yang begitu banyak, dan rona bibir yang selalu pucat, semuanya sama! Ya, ia yakin bahwa wanita itu adalah ibunya! Ibu yang telah ia tinggalkan selama tiga tahun.
“Ma-mama! Apa yang terjadi? Apa yang sedang kau lakukan?” teriak Inspektur Lombard saat wanita itu mulai mencabut sebilah pisau dari sepatu bootnya.
“Kau ... benar-benar tidak berguna!” desis wanita itu. “Kau sama sekali tidak memiliki hati nurani, Lombard! Bagaimana bisa kau melakukan ini pada kami, huh? Apa kami ini binatang peliharaanmu?”
“Mama ...” Susah payah Inspektur Lombard menelan ludahnya. “Bisakah kita kembali duduk? Mari kita bicarakan hal ini secara baik-baik, Mama ...,” pintanya dalam. Namun wanita tua yang tengah berada di atasnya malah tertawa dengan getir. Tetes demi tetes air mata ikut keluar, mengiringi tawa kering yang menggema di dalam ruangan.
Cleb! Nyeri. Sebilah pisau itu kini berhasil mengoyak dada Inspektur Lombard. Untuk sekejap, pria itu tak bisa bereaski apa-apa. Yang ia rasakan hanyalah sebuah benda dingin yang perlahan tapi pasti mulai menyentuh tulang dadanya. Aliran darah yang keluar seolah menjadi penambah rasa sakit itu sendiri.
“Kenapa?” Rengekan parau terdengar. “Kenapa kau tak menjemputku dari dulu, Lombard? Kenapa?” Suara parau itu kini meninggi. Pisau yang tadi tertancap di dada Inspektur Lombard ia cabut begitu saja. Dan tidak sampai satu detik, kini pisau itu kembali menusuk bagian tubuh lainnya.
Inspektur Lombard tak mampu mengatakan apa pun karena pisau itu telah menghalangi segalanya. Pisau itu berhasil memutuskan pita suaranya!
“Jika kau menjemputku, mungkin aku tidak akan jatuh miskin! Jika kau mengunjungiku, mungkin Ailee tidak akan jatuh sakit! Jika kau menjemputku, mungkin aku tidak akan membunuh Ailee dan menjual organ-organnya! Haaaaa ...!”
Bola mata Inspektur Lombard tak bisa beralih. Apa? Apa yang baru saja ia dengar? Ibunya membunuh istrinya sendiri? Mustahil. Ia yakin ini hanya mimpi. Mana mungkin ibunya tega untuk melakukan hal kejam seperti itu. Ini tidak mungkin!
Ingin sekali Inspektur Lombard berteriak dan memaki mimpi buruk yang tengah ia alami ini. Namun semuanya nihil. Sekeras apa pun, sekuat apa pun ia berusaha untuk bangun, namun semuanya terasa begitu berat. Rasa nyeri yang merambahi dada dan lehernya benar-benar membuat seluruh persendiaannya seakan lumpuh. Tuhan, apakah ini nyata?
“Tiga tahun yang lalu, saat kau pertama kali menjabat menjadi seorang inspektur, saat kau muncul di televisi dengan ratusan prajurit, kau tahu apa yang kurasakan? Aku selalu mengatakan kepada semua orang bahwa itu anakku, dia anakku. Atau pria tampan itu adalah suami dari gadis cantik ini. Kau tidak bisa membayangkan bagaimana manisnya senyum Ailee saat itu, saat mengetahui bahwa kau menemukan tempat yang begitu tinggi,” lirih wanita itu seraya memainkan pisau yang entah sejak kapan sudah berada di antara jemarinya. Sesaat ia menatap sedih ke arah Inspektur Lombard. Namun semua itu tak lama. Sebuah hujaman berhasil membuat Inspektur Lombard mengerang; tanpa suara. Dada kirinya, berhasil tertembus oleh pisau.
“Haha. Aku begitu bangga memiliki anak sepertimu. Namun saat kau mengusulkan ‘Hari Penyucian’ itu, semuanya berubah. Kau bukanlah anakku lagi. Bagaimana mungkin kau memiliki pikiran untuk membantai seluruh warga miskin di negara kita? Kenapa kau melakukan hal itu, Nak? Kenapa?” Jeritan sang wanita tua terdengar begitu menyayat. Hal itu membuat kedua bola mata Inspektur Lombard mau tak mau mengeluarkan cairan ... berwarna merah.
“Semua tetanggaku dibunuh. Mereka dilenyapkan karena mereka tak cukup kaya untuk mempertahankan hidup.” Nada wanita itu kembali merendah seakan penderitaan yang tengah ditanggungnya begitu berat. “Aku takut, Lombard. Hiks. Aku takut akan kehidupan yang seperti itu.” Wanita itu memandang Inspektur Lombard begitu dalam. Perlahan, ia mulai mendekatkan wajahnya ke arah Inspektur Lombard kemudian mengecup lembut kening anaknya.
“Kau tahu betapa aku menyayangi anak sepertimu? Tapi, kenapa kau harus mengecewakanku, Nak? Karena peraturan bodohmu itu, karena ‘Hari Penyucian’ bodohmu itu, aku harus membunuh Ailee! Aku terpaksa menjual tubuhnya, organ dalamnya, segalanya! Aku harus melakukan itu demi bertahan hidup. Aku harus melakukan itu agar aku tak ikut dibunuh seperti orang-orang miskin itu!”
Jeda sesaat. Yang terdengar hanyalah suara tangis sang wanita dan tangisan bisu Inspektur Lombard yang penuh darah.
“Sekarang, aku sudah bertemu denganmu. Aku sudah ada di hadapanmu, Nak. Jadi, mari kita selesaikan ini semua. Akan kutunjukkan apa itu ‘Penyucian’ yang sebenarnya, agar anak-anak di masa depan bisa mengerti bahwa betapa menderitanya hidup seorang ibu tanpa anak mereka, betapa terhinanya seorang ibu yang ditinggalkan oleh anak-anak mereka.
Pisau yang sudah berlumuran darah itu kini kembali terhunus, membuat sepasang mata Inspektur Lombard membulat. Dan dalam sekejap, pandangan mengerikan tersebut lenyap. Pisau itu ... berhasil merobek kedua bola matanya.
FIN

2 komentar:

Lisan Al-Ghaib mengatakan...

:)
:)
:)
keren dahhh suka bikin Cerita Horor yah :)

Unknown mengatakan...

makasih^^ iya kak, lagi coba garap yg horor2 ^^

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo