Untuk
Ayah
Oleh: Annisa
Febriyati Sari
*Buka cerpen ini jadi galau lagi u,u hiks... enjoy reading guys, and keep your father in your side^^*
Hari ini memang tak
secerah hari kemarin. Di mana kemarin, adalah detik terakhir bagiku untuk
memijakkan kaki di sebuah kota tempat aku tumbuh dewasa. Kukira, dengan pindah
ke kota yang lain, itu akan memberikan efek yang menakjubkan bagi hidupku. Tapi
nyatanya, semua sia-sia. Tak ada efek yang menakjubkan. Yang ada, hari-hariku
semakin mendung kala kaki ini berpijak di sebuah tempat bersama orang-orang
asing. Yang nantinya, orang-orang asing itu harus kusebut sebagai...
‘keluarga’.
Pada malam di
penghujung tahun 2011 ini, mataku menolak untuk terpejam. Rasa gundah yang
menyelimuti asa, terus saja mengguncang jiwa. Entah kenapa, tapi tabi’at ‘cuek’
yang mengalir dalam darahku, kali ini tak bisa mengalahkan kegundahan itu.
Biasanya, jika aku merasa resah atau pun bingung, pasti aku akan
melampiaskannya dengan melakukan hal yang lain. Bahkan, aku jadi lebih sering
tidur jika perasaan gundah itu menyapaku. Tapi kurasa, kali ini rasa gundah itu
tak sekedar hanya ingin menyapa. Ia ingin lebih dekat denganku. Merengkuhku,
menggelayuti dan membebani pikiranku, hingga akhirnya ia berhasil membuatku
jatuh dalam keterpurukan.
Argh..., mata ini,
kenapa tak mau menutup?
Jam di ponselku sudah
menunjukkan pukul 02:13. Tapi kelopak mata ini seakan enggan untuk merapat. Hembusan
angin malam yang menembus lewat celah-celah dinding yang berbahankan anyaman
bambu, membuat kepalaku semakin tenggelam dalam balutan selimut. Aku
kedinginan. Terlebih, dingin ini menusuk hatiku. Membuat luka yang belum pulih
dengan sempurna itu seakan kembali tersayat.
Tanpa diperintah,
tiba-tiba saja pandanganku buram. Mataku kembali banjir oleh cairan hangat yang
seakan menjadi teman mainku kala sepi datang.
Tiba-tiba saja, sebuah
rasa rindu melandaku. Membuat mesin di otakku memutar kembali rekaman-rekaman
masa kecil, yang mungkin tak akan pernah bisa lagi kumiliki. Kenangan-kenangan
itu selalu menghantuiku. Lazimnya, mungkin kebahagiaanlah yang akan selalu
diingat oleh seorang anak yang baru menginjak usia remaja. Tapi tidak denganku.
Tidak dengan semua kenangan indah itu.
Aku meraih ponsel yang
tergolek di samping kepalaku. Entah kenapa, jari ini terus menari-nari di atas
layar untuk mendapatkan ikon pesan. Dengan sigap, kini jariku menekan ikon
kotak masuk dan mencari pesan yang berada di list paling bawah. Dengan tangan yang bergetar, aku membuka pesan
itu. Dan seketika, air mataku kembali luruh. Aku tak bisa lagi menahan isakkan
ini.
Message
from: Ayah
07/10/2011
Neng,
gimana kabarnya? Ayah disini baik2 aja. Neng
dapet ranking berapa di sekolah? Belajar yang rajin ya, nak. Jangan main hp
terus. Ayah akan selalu mendo’akan neng. Neng harus baik2 di sana. Kemarin ayah
liat di fb, kok status neng marah2? Emang kenapa sampe marah2 gitu? Gak baik
loh marah2 diliatin ke orang.
Perih. Rasa itulah yang
kerap membuatku marah, Yah. Aku tak tahu bagaimana caranya untuk melampiaskan
kepedihan ini. Yang jelas, aku merutukki sikap bodohku. Aku menyesali
ketidaktahuan yang membuatku¾sekarang¾harus hidup dalam keadaan pilu.
Aku masih ingat, saat
itu adalah Bulan Ramadhan. Dan aku
menyaksikan Ayah, melambaikan tangan di pintu teras seraya berkata, “Ayah pergi
dulu...”
Aku yang tak mengerti,
hanya bisa menatap heran atas kepergian Ayah. Anehnya, Ibuku juga hanya
terdiam. Ia bergeming sama sekali.
Berbulan-bulan aku
menjalani hidup tanpa seorang pencari nafkah. Kala itu, aku yang masih duduk di
bangku kelas lima SD, sama sekali tak mengerti kenapa kakakku sering
uring-uringan, dan aku tak mengerti kenapa Ibu sering mengajakku piknik bersama
pria lain.
Semua tanda tanya itu
menumpuk di dalam ubun-ubunku. Dalam hati ingin bertanya, tapi lidah ini sama
sekali kaku untuk bicara. Sampai akhirnya, aku naik ke kelas enam dan semua
pertanyaan itu terjawab. Ternyata, penyebab Ayah pergi, penyebab kakak sering
uring-uringan, dan penyebab Ibu sering berjalan dengan pria lain adalah karena
Ayah dan Ibu telah bercerai. Dan saat Ayah berkata, “Ayah pergi dulu...”
ternyata itu adalah kesempatan terakhirku untuk melihat Ayah.
Jika aku sudah mengerti
apa arti perceraian, mungkin bisa saja waktu itu aku mencegah kedua orang tuaku
untuk berpisah. Bisa saja aku menggertak, menangis, memelas, bahkan memohon
agar mereka tetap bersatu. Tapi sialnya, saat itu aku dalam keadaan bodoh. Aku
tidak tahu apa-apa. Jika aku mengerti, mungkin aku juga akan uring-uringan
seperti kakak. Bahkan, bisa saja lebih dari uring-uringan.
Sekarang, hidupku
terasa hampa. Keluargaku hancur, impianku pun perlahan lebur. Aku sempat marah
kepada Tuhan atas takdir yang pahit ini. Aku sempat frustasi. Pun, aku pernah mogok
beribadah, mogok makan, bahkan aku pernah melukai diriku sendiri. Ya, aku
adalah korban kekejaman problematika rumah tangga. Jika disebut anak broken home, itu memang aku! Tapi aku
selalu menapikan keadaan. Aku berlagak ceria di depan khalayak, tapi sebenarnya
hatiku sakit! Hatiku pedih dengan semua kebohongan ini. Aku tidak ingin terus
berada dalam pusar kemunafikan!
Tadinya, aku bisa
sedikit menarik napas lega karena Ibu membawakan ‘Ayah baru’ dan saudara baru
untukku. Aku sempat berpikir, bahwa hidupku akan lebih bahagia dengan mereka.
Tapi ternyata, dugaanku salah. Hidup bersama saudara baru memang tak seindah
hidup bersama saudara sedarah. Pun, hidup bersama Ayah baru jelas berbeda saat
hidup bersama Ayah yang membuatku ada di muka bumi ini.
Awalnya, Ayah baru
memang bersikap baik. Membelikanku mainan, alat-alat sekolah, apa pun yang
kuinginkan, ia selalu memberikannya. Dan seiring berputarnya waktu, sikap baik
itu perlahan pudar. Ayah baru, tak lagi baik padaku. Sikap kasar, bengis, atau
apa pun itu¾yang menurutku
kejam¾semakin ia
tampakkan. Bahkan, ia pernah membuat Ibuku menangis.
Sebagai anak yang sudah
mengerti dengan arti perceraian dan kekerasan, tentu saja aku merasa menderita.
Hidup satu kubu dengan orang yang selalu menyiksa batin, tentu sangat tidak
diinginkan oleh semua orang. Dan hal itulah yang aku alami selama ini! Hidup
bersama orang yang tak diinginkan, dan hal itu selalu membuatku depresi sampai
pernah bertekad untuk mengakhiri perjalanan hidup ini.
Aku memang bodoh. Tak
seharusnya aku membiarkan Ayah pergi. Tak seharusnya perpisahan ini terjadi.
Ayah baru, memang sangat berbeda dengan Ayah. Kasih sayangnya pun sangat
berbeda dengan Ayah. Bahkan, aku rasa kasih sayang dari Ayah baru itu palsu.
Aku merindukan Ayah.
Aku merindukan perhatian Ayah. Aku merindukan kasih sayang Ayah. Aku ingin
Ayah. Bukan Ayah baru! Pulang lah, Ayah. Kembalilah bersama kami. Marilah kita
bangun kembali puing-puing cinta yang sempat retak. Karena rasa perihku akan
sembuh, jika melihat Ayah kembali bersama aku, kakak dan Ibu.
Ayah..., tegakah engkau
melihat anakmu tersiksa dalam keterpurukan? Tegakah engkau membiarkan anakmu
hidup dalam linangan air mata?
Tidak, Ayah! Bukan itu
yang aku inginkan. Aku hanya ingin kau kembali, bersama Ibu! Tak bisakah kau
lakukan itu untukku? Untuk anakmu? Tak bisakah Tuhan mengabulkan desis
permohonan ini? Atau aku harus mati untuk membuat semuanya kembali?
Kembalilah Ayah... Aku
merindukanmu...
2 komentar:
good.. :)
terus berkarya!
thankyou olippppp^^
Posting Komentar