Rabu, 18 November 2015

UNTUK AYAH...



Untuk Ayah
Oleh: Annisa Febriyati Sari
*Buka cerpen ini jadi galau lagi u,u hiks... enjoy reading guys, and keep your father in your side^^*
Hari ini memang tak secerah hari kemarin. Di mana kemarin, adalah detik terakhir bagiku untuk memijakkan kaki di sebuah kota tempat aku tumbuh dewasa. Kukira, dengan pindah ke kota yang lain, itu akan memberikan efek yang menakjubkan bagi hidupku. Tapi nyatanya, semua sia-sia. Tak ada efek yang menakjubkan. Yang ada, hari-hariku semakin mendung kala kaki ini berpijak di sebuah tempat bersama orang-orang asing. Yang nantinya, orang-orang asing itu harus kusebut sebagai... ‘keluarga’.
Pada malam di penghujung tahun 2011 ini, mataku menolak untuk terpejam. Rasa gundah yang menyelimuti asa, terus saja mengguncang jiwa. Entah kenapa, tapi tabi’at ‘cuek’ yang mengalir dalam darahku, kali ini tak bisa mengalahkan kegundahan itu. Biasanya, jika aku merasa resah atau pun bingung, pasti aku akan melampiaskannya dengan melakukan hal yang lain. Bahkan, aku jadi lebih sering tidur jika perasaan gundah itu menyapaku. Tapi kurasa, kali ini rasa gundah itu tak sekedar hanya ingin menyapa. Ia ingin lebih dekat denganku. Merengkuhku, menggelayuti dan membebani pikiranku, hingga akhirnya ia berhasil membuatku jatuh dalam keterpurukan.
Argh..., mata ini, kenapa tak mau menutup?
Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 02:13. Tapi kelopak mata ini seakan enggan untuk merapat. Hembusan angin malam yang menembus lewat celah-celah dinding yang berbahankan anyaman bambu, membuat kepalaku semakin tenggelam dalam balutan selimut. Aku kedinginan. Terlebih, dingin ini menusuk hatiku. Membuat luka yang belum pulih dengan sempurna itu seakan kembali tersayat.
Tanpa diperintah, tiba-tiba saja pandanganku buram. Mataku kembali banjir oleh cairan hangat yang seakan menjadi teman mainku kala sepi datang.
Tiba-tiba saja, sebuah rasa rindu melandaku. Membuat mesin di otakku memutar kembali rekaman-rekaman masa kecil, yang mungkin tak akan pernah bisa lagi kumiliki. Kenangan-kenangan itu selalu menghantuiku. Lazimnya, mungkin kebahagiaanlah yang akan selalu diingat oleh seorang anak yang baru menginjak usia remaja. Tapi tidak denganku. Tidak dengan semua kenangan indah itu.
Aku meraih ponsel yang tergolek di samping kepalaku. Entah kenapa, jari ini terus menari-nari di atas layar untuk mendapatkan ikon pesan. Dengan sigap, kini jariku menekan ikon kotak masuk dan mencari pesan yang berada di list paling bawah. Dengan tangan yang bergetar, aku membuka pesan itu. Dan seketika, air mataku kembali luruh. Aku tak bisa lagi menahan isakkan ini.
Message from: Ayah
07/10/2011
Neng, gimana kabarnya? Ayah disini baik2 aja.  Neng dapet ranking berapa di sekolah? Belajar yang rajin ya, nak. Jangan main hp terus. Ayah akan selalu mendo’akan neng. Neng harus baik2 di sana. Kemarin ayah liat di fb, kok status neng marah2? Emang kenapa sampe marah2 gitu? Gak baik loh marah2 diliatin ke orang.
Perih. Rasa itulah yang kerap membuatku marah, Yah. Aku tak tahu bagaimana caranya untuk melampiaskan kepedihan ini. Yang jelas, aku merutukki sikap bodohku. Aku menyesali ketidaktahuan yang membuatku¾sekarang¾harus hidup dalam keadaan pilu.
Aku masih ingat, saat itu  adalah Bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan Ayah, melambaikan tangan di pintu teras seraya berkata, “Ayah pergi dulu...”
Aku yang tak mengerti, hanya bisa menatap heran atas kepergian Ayah. Anehnya, Ibuku juga hanya terdiam. Ia bergeming sama sekali.
Berbulan-bulan aku menjalani hidup tanpa seorang pencari nafkah. Kala itu, aku yang masih duduk di bangku kelas lima SD, sama sekali tak mengerti kenapa kakakku sering uring-uringan, dan aku tak mengerti kenapa Ibu sering mengajakku piknik bersama pria lain.
Semua tanda tanya itu menumpuk di dalam ubun-ubunku. Dalam hati ingin bertanya, tapi lidah ini sama sekali kaku untuk bicara. Sampai akhirnya, aku naik ke kelas enam dan semua pertanyaan itu terjawab. Ternyata, penyebab Ayah pergi, penyebab kakak sering uring-uringan, dan penyebab Ibu sering berjalan dengan pria lain adalah karena Ayah dan Ibu telah bercerai. Dan saat Ayah berkata, “Ayah pergi dulu...” ternyata itu adalah kesempatan terakhirku untuk melihat Ayah.
Jika aku sudah mengerti apa arti perceraian, mungkin bisa saja waktu itu aku mencegah kedua orang tuaku untuk berpisah. Bisa saja aku menggertak, menangis, memelas, bahkan memohon agar mereka tetap bersatu. Tapi sialnya, saat itu aku dalam keadaan bodoh. Aku tidak tahu apa-apa. Jika aku mengerti, mungkin aku juga akan uring-uringan seperti kakak. Bahkan, bisa saja lebih dari uring-uringan.
Sekarang, hidupku terasa hampa. Keluargaku hancur, impianku pun perlahan lebur. Aku sempat marah kepada Tuhan atas takdir yang pahit ini. Aku sempat frustasi. Pun, aku pernah mogok beribadah, mogok makan, bahkan aku pernah melukai diriku sendiri. Ya, aku adalah korban kekejaman problematika rumah tangga. Jika disebut anak broken home, itu memang aku! Tapi aku selalu menapikan keadaan. Aku berlagak ceria di depan khalayak, tapi sebenarnya hatiku sakit! Hatiku pedih dengan semua kebohongan ini. Aku tidak ingin terus berada dalam pusar kemunafikan!
Tadinya, aku bisa sedikit menarik napas lega karena Ibu membawakan ‘Ayah baru’ dan saudara baru untukku. Aku sempat berpikir, bahwa hidupku akan lebih bahagia dengan mereka. Tapi ternyata, dugaanku salah. Hidup bersama saudara baru memang tak seindah hidup bersama saudara sedarah. Pun, hidup bersama Ayah baru jelas berbeda saat hidup bersama Ayah yang membuatku ada di muka bumi ini.
Awalnya, Ayah baru memang bersikap baik. Membelikanku mainan, alat-alat sekolah, apa pun yang kuinginkan, ia selalu memberikannya. Dan seiring berputarnya waktu, sikap baik itu perlahan pudar. Ayah baru, tak lagi baik padaku. Sikap kasar, bengis, atau apa pun itu¾yang menurutku kejam¾semakin ia tampakkan. Bahkan, ia pernah membuat Ibuku menangis.
Sebagai anak yang sudah mengerti dengan arti perceraian dan kekerasan, tentu saja aku merasa menderita. Hidup satu kubu dengan orang yang selalu menyiksa batin, tentu sangat tidak diinginkan oleh semua orang. Dan hal itulah yang aku alami selama ini! Hidup bersama orang yang tak diinginkan, dan hal itu selalu membuatku depresi sampai pernah bertekad untuk mengakhiri perjalanan hidup ini.
Aku memang bodoh. Tak seharusnya aku membiarkan Ayah pergi. Tak seharusnya perpisahan ini terjadi. Ayah baru, memang sangat berbeda dengan Ayah. Kasih sayangnya pun sangat berbeda dengan Ayah. Bahkan, aku rasa kasih sayang dari Ayah baru itu palsu.
Aku merindukan Ayah. Aku merindukan perhatian Ayah. Aku merindukan kasih sayang Ayah. Aku ingin Ayah. Bukan Ayah baru! Pulang lah, Ayah. Kembalilah bersama kami. Marilah kita bangun kembali puing-puing cinta yang sempat retak. Karena rasa perihku akan sembuh, jika melihat Ayah kembali bersama aku, kakak dan Ibu.
Ayah..., tegakah engkau melihat anakmu tersiksa dalam keterpurukan? Tegakah engkau membiarkan anakmu hidup dalam linangan air mata?
Tidak, Ayah! Bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin kau kembali, bersama Ibu! Tak bisakah kau lakukan itu untukku? Untuk anakmu? Tak bisakah Tuhan mengabulkan desis permohonan ini? Atau aku harus mati untuk membuat semuanya kembali?
Kembalilah Ayah... Aku merindukanmu...

2 komentar:

Fitraya mengatakan...

good.. :)
terus berkarya!

Unknown mengatakan...

thankyou olippppp^^

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo